Bagian 05 | Kau Berharga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bunga yang semestinya mekar, akan mekar bila waktunya tiba. Seperti ketika memasuki musim semi bersama takdir yang dibawa, warna alami bunga sudah tampak menghibur mata. Namun, tidak ada satu pun jenis bunga yang mekar dalam hati Lim Hyunsik.

Ruam di wajah meninggalkan bekas yang telah mengering, sebentar lagi Hyunsik akan sembuh dari cacar air. Hanya saja perasaan kosong melolong minta terisi oleh kehangatan. Gatal yang masih terasa pada kulit, boleh jadi akan cepat mereda jika Hyunsik melihat mereka ada di sini. Di kamar kosong berteman cahaya lampu tidur remang.

Mengeratkan tangan pada selimut yang membungkus tubuh, dalam kepala Hyunsik penuh adegan saat sang ayah memunggunginya. Pergi menjauh beberapa saat lalu, lantas mengunci kamar, demi mempertegas bahwa Hyunsik hanya boleh diam di ruangan itu sendirian.

"Tidak, pokoknya kau tidak ikut. Jangan membantah."

Hyunsik beranjak dari lantai—usai aksi merajuk serta menangis tidak ampuh meluluhkan hati sang ayah.

Tangan kecil menarik ujung belakang jas, kembali dia berlutut. Langkah orang dewasa itu berhenti, tapi kepalanya sama sekali tidak menoleh.

Sempat menemukan secercah harapan; sekali saja ia menatap Hyunsik, mendalami perasaan Hyunsik yang bahkan diri anak itu sendiri tidak bisa menggambarkan secara rinci.

"Tapi aku takut, Ayah...."

Terkecuali 'takut'. Satu rasa itu yang Hyunsik tahu benar.

Menepis tangan Hyunsik dari jasnya, Geun Suk bicara, masih bertahan menatap lurus ke depan. "Laki-laki tidak semestinya takut hanya karena di rumah sendirian."

"Kak Junsuk dan ibu ikut, aku juga..."

Geun Suk memutar tubuh. Meraih lengan berbalut kain piama Hyunsik hingga berdiri, dan menarik si anak ke dalam kamar.

"Jadilah pemberani. Ayah akan segera pulang. Kau tidur."

Punggung yang menjauh, pintu tertutup, dan suara 'ceklek' kunci sangat membekas sebagai kenangan yang entah—Hyunsik harus menaruhnya di tempat bagaimana; kenangan baik, atau buruk?

Seandainya, Geun Suk mengatakan alasan, sedikit saja, bahwa udara malam tidak bagus untuk Hyunsik yang kini belum sepenuhnya sehat, Hyunsik sungguh akan paham. Memahami keadaan bukan sesuatu yang sulit bagi Hyunsik. Bahkan dirinya sudah diajar sejak dini makna pengertian. Atau paling tidak, lebih dulu memberikan tatapan hangat, mengatakan ke mana mereka akan pergi, juga... ucapan selamat ulang tahun.

Hari ini, tepat musim semi datang adalah ulang tahunnya bersama sang kakak. Meski mereka berbeda usia, ayah mengatakan mereka memiliki hari ulang tahun yang sama.

Dari dalam, pintu terketuk lirih. Hyunsik seperti tidak punya tenaga lagi. Suara berisi panggilan untuk sang ayah menyentuh dinding-dinding kamar, tidak pernah terdengar kepada orang yang dimaksud.

Ayahnya sudah pergi.

"Aku ingin ikut. Ayah... jebal."

"Aku takut...."

Meninggalkan Hyunsik sendirian di rumah mungkin terlihat sepele. Geun Suk boleh memikirkan anak berusia enam tahun itu akan baik-baik saja.

Benar, Hyunsik tidak kenapa-kenapa selepas Geun Suk pulang. Tepat pukul dua dini hari, ia melihat putra bungsunya terlelap. Namun, yang terlihat mata tidak sepenuhnya benar, kenyataan anak itu berdarah-darah dari dalam.

Kenangan 'ditinggalkan' memanjang menjadi sejarah; rasa takut, kecewa, dan luka sobek yang tidak terobati terbawa sampai dewasa. Membangun pribadi yang benci ditinggal tanpa alasan.

Lim Hyunsik dewasa memang tidak pernah masalah bila sendirian. Dia hanya tidak suka melihat orang-orang memunggunginya.

Demikian, perasaan manusia lebih rumit dari perkiraanmu, bukan?

Bahkan, tidak sesederhana alur pemikiran Lim Geun Suk.

•••

Suasana pagi di kantor polisi menjadi tidak kondusif, sebab orang yang datang tiba-tiba. Bukan karena datangnya, mengingat siapa pun boleh bertandang, melapor pihak berwajib jika ada situasi genting. Hanya saja, laki-laki ini bikin lelucon yang berpengaruh pada 'menikmati' secangkir kopi manis, lalu rasa itu menjelma hambar.

"Sepertinya kau salah tempat, Nak."

Lim Hyunsik masih duduk di kursi plastik yang sama sejak pertama datang. Awalnya dia disambut baik, kemudian ketika menceritakan kronologi masalahnya, polisi itu tertawa, dan menular kepada polisi di sekat sebelah.

"Semestinya kau ke rumah sakit jiwa, bukan ke sini."

Masih dengan tameng tenang sebagai pertahanan, Hyunsik pilih tidak menanggapi kendati polisi di hadapan memasang ekspresi ingin ditampar.

"Mau kuberi alamat rumah sakit jiwa terdekat?" Suara dari orang serupa, dan kembali terdengar tawa rekannya yang mengikuti. Sungguh membuat pusing.

"Aku baru tahu kalau sosok pelindung adalah penghina andal." Hyunsik berdiri dengan kemantapan. "Jika kalian tidak mau membantuku tidak masalah, tapi jangan pernah berpura-pura tidak melihat, apalagi melontarkan hinaan. Memuakkan."

Lim Hyunsik menarik lengan anak laki-laki yang duduk di kursi sisi, lantas menggandengnya keluar.

Poni rambutnya basah akibat keringat. Padahal matahari saja belum tampak, udara di sini bahkan dingin, tidak ada yang tahu alasan Hyunsik mandi keringat pagi-pagi.

"Kau memang merepotkan, tapi petugas kepolisian itu lebih menyebalkan," gumam Hyunsik. Iring-iring bisikan beberapa polisi di sana tidak membuat kaki Hyunsik berhenti melangkah.

Manusia memang amat mudah melontarkan kalimat kejam tanpa mau memosisikan diri sebagai orang lain. Tentu saja, sebab sepatumu tidak bisa dipakai ramai-ramai, bukan?

"Ahjussi...." Anak dalam tuntunan tangan Hyunsik mendongak.

Mereka sudah berada di luar kantor polisi. Hyunsik berhenti melangkah sejenak, memandang anak itu.

"Aku haus."

Buang napas kasar sudah tidak bisa mendeteksi seberapa banyak kekesalan Lim Hyunsik. Di satu detik yang berlalu, Hyunsik merasa menyesal; mengapa dirinya tidak mengabaikan anak ini saja kemarin? Anak yang duduk memeluk lutut di depan pintu unit apartemen, tanpa nama dan tidak tahu ke mana orang tuanya. Detik kedua, Hyunsik masih menyesali keputusan dan rasa; mengapa harus iba kepadanya?

"Mau minum?"

Anak itu menggeleng. "Mau makan."

"Tadi katanya haus?"

"Lalu mengapa Ahjussi  masih bertanya 'mau minum'? Padahal aku sudah bilang haus?"

Bukankah anak ini luar biasa?

Luar biasa pintar bicara. Merasa semakin jengkel, Hyunsik melepas genggaman tangannya pada anak itu. Hyunsik hanya menampilkan kekesalan ketika sendirian, tapi kali ini rasanya dia sudah tidak bisa memandang semua yang dialami akan membaik. Apalagi penolakan secara terang-terangan oleh pihak polisi yang tidak mau membantu mencari orang tua anak ini.

"Aku akan membelikanmu minum. Tunggu sini."

Diam-diam, Hyunsik tersenyum saat memutar tubuh. Sekarang adalah kesempatannya untuk melarikan diri dari anak itu. Yap!

Lagi pula, Hyunsik tidak harus bertanggung jawab atas anak yang kehadirannya masih tidak dapat Hyunsik mengerti. Mengapa dari sekian banyak penghuni di gedung apartemen, ia mesti mengunjungi unit kamar Hyunsik?

Beberapa langkah menjauh, Hyunsik menyimpang, masuk mini market. Membawa sebotol air mineral saat keluar, dan kembali ke tempat yang sama.

Sial.

Lim Hyunsik mengutuk diri yang tidak bisa selaras dengan niat. Tingkat ketegasannya bahkan rendah.

Hyunsik sadar, bahwa seberapa jauh dirinya hendak pergi, takkan pernah tega meninggalkan anak kecil itu sendirian—

"Ahjussi kembali?" Seolah tahu bahwa Hyunsik akan meninggalkannya, anak itu bertanya sambil menggenggam tangan Hyunsik.

—lagi. Hyunsik tidak bisa memalingkan wajah kepada anak ini.

"Mm. Ini minumnya. Ahjussi mau bekerja, kau mau menunggu di tempat kerja Ahjussi? Atau main di..."

"Aku akan menunggu di tempat kerja Ahjussi." Anak tersebut mengambil botol minum dari Hyunsik menggunakan kedua tangan usai melepas genggaman eratnya.

Sekali lagi, agaknya anak ini paham betul alur pikir Hyunsik—dia yang sempat memikirkan childcare untuk menitip sementara. Bagus kalau sementara, kalau langsung ditinggal? Anak tanpa nama sudah berpikir jauh.

"Tapi jangan nakal, ya? Soalnya tempat kerja Ahjussi banyak penyakit, jadi kau tidak boleh kemana-mana selain diam di ruangan Ahjussi."

Anak itu mengangguk takzim, kedua mata fokus menatap botol yang tidak bisa dirinya buka. Merasa menyerah, ia mengulurkan botol ke arah Hyunsik.

"Ahjussi, bisa tolong buka tutupnya untukku?"

Ia sungguh mengingatkan Hyunsik pada masa itu, masa kecilnya yang gembira.

Gembira?

Atau, Hyunsik hanya memakai kata 'gembira', untuk menutupi hal yang telah terlupa, tapi masih membekas? Hyunsik hanya percaya bahwa masa kecilnya menggembirakan. Itu saja.

•••

"Sungguh aneh." Sangeum berkomentar, menatap sisi wajah Jimin seraya melangkah memasuki area parkiran rumah sakit sebelum masuk ke lobi. "Kau mau menemaniku hari ini, padahal kemarin saat aku mengajakmu cari dokter spesialis mata untuk riset, kau terlihat enggan sampai harus kupaksa. Bukankah tidurmu jadi terganggu? Terus, memang kau tidak takut aku memintamu bayar makananku lagi?"

Tanpa menyahut, Jimin terus mengunyah permen karet seolah-olah kalimat Sangeum tidak pernah mampir menyapa kedua telinga. Mau bagaimana lagi, Jimin tidak punya cukup alasan, dirinya cuma ingin.

"Dokter Lim?"

Langkah mereka sudah sampai di lantai dasar rumah sakit, akan bersiap berjalan ke ruangan Hyunsik kalau Sangeum tidak menghentikan langkah—diikuti Jimin—serta gumaman yang tanpa sadar keluar. Arah pandang mereka kompak pada satu objek yang baru saja memasuki pintu putar sebelah kanan.

Hyunsik berjalan mendekat arah mereka, tangan kirinya seperti menggenggam sesuatu.

"Kau... ingin tahu mengapa aku mau ikut dirimu riset hari ini, 'kan?"

Sangeum beralih mata kepada Jimin yang masih menatap arah Hyunsik. Yakin sekali, kalau laki-laki itu melihat mereka, buktinya Hyunsik kian mendekat membawa senyum sempurna.

"Aku ingin menemaninya."

"Maksudmu?" Sangeum sama sekali tidak paham. Ini Park Jimin habis terbentur, ya? Sisi misterius tidak ada dalam kamus Jimin, semestinya ia tidak perlu bersikap begitu.

Park Jimin menarik permen karet dari mulutnya, kemudian ditempelkan pada telapak tangan Sangeum—secara sengaja dan memaksa, sehingga gadis itu ingin mengumpat jika tidak mendengar sapaan hangat.

"Sangeum-ssi, Jimin-ssi." Hyunsik sudah berhadapan dengan mereka. "Kalian datang lebih pagi? Hari pertama riset ya, Sangeum-ssi."

Datang lebih pagi. Ah, Sangeum ingat bahwa kemarin dirinya bersemuka dengan Hyunsik selesainya jam makan siang, akibat harus menemui ketua dokter lebih dulu. Kebetulan beliau tengah ada pasien, dan harus menunggu. Sesudahnya mencari data Lim Hyunsik sebagai dokter spesialis mata yang dapat dipercaya. Meski sedikit memakan waktu dari pagi, tapi Sangeum senang bisa bertemu Hyunsik.

"Hm! Sepertinya aku sangat bersemangat, juga tidak sabar untuk meriset bersama Dokter Lim." Sangeum menanggapi sapaan, sementara Jimin mulai mendirikan suasana seolah hanya dirinya dan Hyunsik yang berada di sini.

"Jimin-ssi. Bukankah panggilan itu terlalu kaku? Kau bisa memanggilku akrab, seperti 'Jimin-ah', atau 'Saeng' juga boleh. Aku ingin punya kakak. Apa aku boleh memanggilmu hyung?"

Sangeum berdecak kagum dalam hati; Jimin yang sok akrab, atau ia memang pandai mendekati orang semudah itu dengan mulutnya?

Senyum kecil terpintas, Hyunsik mengangguk. "Boleh, kenapa tidak?"

Jimin memerhatikan Hyunsik kedua kalinya. Bagaimana cara dia bicara, atau bagaimana tangan kirinya terkepal erat.

"Karena sekarang aku menjadi adikmu, maafkan aku yang tidak tahu diri mengatakan hal begini. Kau begitu berarti untukku, sampai aku akan terus menjagamu, Hyunsik Hyung."

Sangeum memaku pandang Jimin. Hyunsik juga demikian, cuma beda haluan; Sangeum merasa bahwa Jimin berlebihan. Sementara Hyunsik tidak bisa mendeskripsikan perasaannya.

Rasa asing menghantam, tapi rasa itu juga yang Hyunsik damba sekaligus rindukan. Tanpa sadar, genggaman di tangan kiri Hyunsik merenggang, kemudian terlepas lemah.

Jimin berhasil memeluk Hyunsik menggunakan kalimatnya. Karena bagi Jimin, seberapa banyak pun teman yang dirimu punya, kau hanya mesti bersama satu orang yang dapat menghangatkan hatimu, yang menganggap dirimu berharga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro