Bagian 14 | Dalam Turun Salju

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Depan mini market seberang perumahan yang mereka huni, Jimin duduk di bangku kosong hadapan Sangeum. Gadis itu sedang menyeruput mi instan. Busana hoodie, celana panjang training, plus rambut tidak tersisir, Jimin dapat menebak Kim Sangeum belum mandi.

"Proyekmu sudah selesai?"

Sangeum menggeleng sambil menahan panas di lidah, kemudian menyahut—padahal sedang mengunyah. Kebiasaan buruk Kim Sangeum.

"Belum, tentu saja. Memang kau pikir merangkai satu jalan cerita itu seperti menyatakan ‘I love you’ pada gebetan?"

Jimin mengakak, lantas berwajah serius bersama tawa yang tiba-tiba lenyap. Betul, bahwa itu adalah satu ejekan untuk Sangeum.

"Kau pikir mengatakan itu juga gampang? Perlu bertarung sama diri sendiri tahu. Langsung poin utama saja, mengapa kau mengajakku bertemu, padahal kau sedang dalam masa hibernasi?"

"Keterlaluan," desis Sangeum, ia tidak senang akan kalimat akhir Jimin. "Aku ingin tahu kondisi Dokter Lim. Bagaimana? Apakah perkiraanmu awal benar? Atau ada diagnosis lain?"

"Dokter Lim baik-baik saja, dia sedang menjalani terapi diri." Jimin mengambil minuman kaleng milik Sangeum, dan langsung meneguknya sekali sebelum kembali bicara. "Dugaanku awal adalah psikosis, tapi itu hanya bersifat sekunder. Paling dominan anak kecil dalam dirinya yang terluka, juga kecemasan berlebih. Jadi dia tidak bisa nyaman sama diri sendiri."

"Inner child?" tanya Sangeum, ia bahkan rela menghentikan acara mengunyah.

Jimin bergumam 'hm' samar sebagai jawaban sebelum menambahkan dengan kalimat. "Anak dalam dirinya terluka, makanya timbul kecemasan, dari kecemasan jadi halusinasi. Tapi untungnya belum mencapai taraf paling parah, apalagi sekarang sudah dapat penanganan. Untuk Hyunsik hyung, aku sengaja menerapkan terapi diri, jadi tinggal menunggu perkembangannya."

"Begitu, ya... oke, aku percaya padamu," sahut Sangeum. Ia sudah seperti walinya Hyunsik saja. "Tapi... mengapa inner child bisa terluka?"

"Saat ada kejadian tidak mengenakkan, atau keadaan buruk yang cenderung negatif lalu belum tersembuhkan, anak kecil dalam diri bisa membawa luka itu sampai dewasa. Semua orang punya anak kecil dalam dirinya, Sangeum. Tanpa sadar, manusia terus tumbuh dan mengabaikan anak kecil dalam diri yang sebetulnya sedang terluka.

"Mungkin seorang anak tidak pernah membahas kejadian tidak menyenangkan pada saat masanya. Tapi bukan berarti dia lupa. Tidak ada penerimaan diri dari lingkungan, juga bisa membuat anak kecil kita sakit. Itu mengapa, penting untuk sering-sering memberi penghargaan diri sendiri, karena ketika kita kecil belum mengerti apa pun, termasuk efek saat diri menerima cedera batin."

Sangeum mengangguk-angguk. Ia paham pada penjelasan Jimin, terlebih karena anak kecil dalam diri tidak terlihat, maka sering diabaikan.

"Ya ampun, sepertinya aku perlu berterima kasih pada halusinasi Dokter Lim. Ada baiknya juga, 'kan? Jika Dokter Lim tidak berhalusinasi soal si anak, dia tetap tidak akan menyadari dirinya sakit, dan kau tidak cepat bertindak lebih jauh. Benar tidak?"

Jimin buka mulut mirip terowongan lalat berkumpul, lalu menutupnya menggunakan kedua tangan.

Berwajah terkejut yang terlalu dibuat-buat oleh Jimin cocok untuk bikin meme.

"Sangeum, apa aku boleh membelah kepalamu? Aku ingin melihat otakmu yang—"

"Sebelum itu kau mati lebih dulu di tanganku."

Seperti biasa; tidak ribut, maka tidak ada percakapan antara mereka.

•••

"Apa kau ingat foto yang pernah kuberikan dahulu?"

Hyunsik tidak langsung menjawab pertanyaan sang kakak, hanya pikirannya saja yang tertuju pada sebuah momen pembuktian, penguat ucapan Junsuk saat itu. Selembar foto bertenaga bom bagi perasaan kecil Lim Hyunsik.

"Sepertinya aku benar-benar marah kepadamu, sampai aku harus memperlihatkan fotoku bersama Bibi Eun. Di umurku yang masih begitu muda, aku belum bisa memahami arti seorang adik, Hyunsik."

Pantulan cahaya dari danau tanpa riak menjadi pemandangan paling mewah, sehingga arah mata mereka tidak ingin lepas dari sana. Namun, lain netra, lain pula pikiran dan hati yang tengah berkelana.

"Aku iri kepadamu, Hyung." Hyunsik memasang garis senyum sebentar, garis yang mempunyai makna mendalam tentang luka. "Aku iri karena kau selalu mendapat dukungan dari ayah, atas apa pun itu yang kau lakukan. Lalu, saat mengetahui siapa ibuku, dan ternyata kau pernah menghabiskan waktu yang panjang bersama ibuku, aku juga iri, tapi... ibu kita selalu membuatku merasa bersyukur memilikinya. Aku juga bersyukur kau menjadi kakakku. Sungguh, Hyung."

"Kau tidak tahu, Hyunsik. Ayah mendukungku, karena aku bersedia mengikuti keinginannya tanpa bantah, 'bersekolah di sini', atau 'hafalkan pelajaran ini', dan 'kau harus menjadi penerus ayah'. Sebetulnya, kita memiliki luka serupa, tapi tidak sepenuhnya sama.

"Saat pertama kau datang, musim semi lebih murung, hujan selalu turun tiap malam, sama seperti perasaanku. Tapi di tahun-tahun berikutnya, musim semi terasa lebih hangat, kurasa itu karena kehadiranmu sebagai adikku. Sebetulnya, aku sedikit bisa menerimamu, adik lucu. Kau pernah tertawa memperlihatkan gigimu yang baru tumbuh walau aku memasang muka masam."

Junsuk benar mengenang momen itu. Kenangan manis antara ribuan kesan tidak enak bersama Hyunsik. Junsuk simpan seorang diri, tapi untuk kali terakhir, ia ingin Hyunsik tahu kasih miliknya yang bertudung kelabu.

"Paling aku sesali, mengapa aku justru membencimu, mengapa aku tidak tahu lukamu dan hanya melihat lukaku sendiri. Meski begitu, aku tidak bisa benci ayah, apa kau demikian?" Junsuk menoleh Hyunsik, minta pertanyaannya cepat terjawab.

"Entah...." Segera saja, Hyunsik mempertemukan matanya dengan Junsuk. Mata yang tidak lagi menyinarkan kehidupan itu, menguliti perasaan Hyunsik. "Entah cara ayah yang salah, atau penerimaan kita yang keliru terhadap bagaimana beliau mengasuh kita. Walau aku tahu ayah menginginkan yang terbaik. Bagaimana juga, dia membesarkanku sampai seperti ini. Aku tidak membenci ayah, Hyung."

Menyenangkan mendengar itu, tapi ada satu ganjalan lagi, yang kalau dibiarkan kian bertumbuh lebat. Menjadi benalu amat mematikan.

"Maafkan aku, Hyunsik-ah." Ini, adalah hal berat yang pernah tidak bisa Junsuk ucapkan.

"Aku yang minta maaf," balas Hyunsik, tangannya bergerak, menggenggam sebelah telapak Junsuk yang begitu dingin nan hampa. "Maaf karena aku meninggalkanmu saat kau tidak berdaya. Kau pasti merasa sakit sendirian. Maaf Hyung."

"Aku menyayangimu." Itu sebatas bisikan, tapi sangat berharga sebab tidak pernah ia ucapkan selama napas masih berembus.

Lim Junsuk melepas genggaman Hyunsik, lantas mengusap tengkuk kepala si adik. 

"Aku menyayangimu, Hyunsik." Kini suaranya lebih tegas, lugas, yakin.

Sayang, baru saja Hyunsik merasa nyaman, Junsuk hirap terbawa embus angin sampai kembali kesedihan terempas depan muka Hyunsik sendiri.

"Aku juga menyayangimu, Hyung. Sangat, aku menyayangimu...."

Bangun dari tidur, tidak ada yang lebih menyenangkan dari bangun bersama perasaan leluasa. Lega tanpa lelah.

Hari-hari biasanya, Hyunsik selalu letih kala bangun kendati sebelumnya tidur lebih awal, tapi tidak kali ini.

Kamar di dalam rumah yang dulu dia tempati, dan menjadi saksi bisu betapa senangnya dia berdiam diri sendirian, tenggelam kegelapan, sekarang dua kali lipat cerah akibat Hyunsik membiarkan cahaya matahari masuk.

Hyung, aku baru saja memimpikanmu. Bagaimana kabarmu di sana? Aku baik, masih di dunia yang sama. Hyung, aku akan selalu menjaga ayah bersama ibu.

Sudah kuputuskan, aku tidak pernah mau pergi lagi, dari kenyataan, ataupun pergi dari rumah.

•••

Pertengahan musim dingin, udara kian menurun. Salju yang jatuh deras sudah berlangsung sejak kemarin.

Rasanya, tidak seperti baru memasuki musim dingin yang hanya ada angin berembus, masih bisa menimbulkan gerah jika menggunakan mantel. Sekarang, jika tidak membalut tubuh pakai busana tebal atau berlapis, dijamin mereka para manusia berubah jadi es batu.

Di antara orang-orang yang mendesis kedinginan, Hyunsik berjalan bawa senyum membara. Senyum yang sejatinya ditujukan untuk diri sendiri, bukan hanya karena orang lain tersenyum kepadanya. Bukan sebab memikirkan tentang penilaian orang terhadapnya.

Laki-laki bermantel biru tua menghentikan langkah kemudian, ketika kedai pedagang kaki lima bersama pemiliknya yang tengah bersiap jualan tertampak.

Sosok itu yang ingin Hyunsik temui.

Seperti punya alarm dalam diri, mata Eunsoo bertemu Hyunsik secepat butir salju memenuhi bumi. Orang-orang yang berjalan di trotoar seolah hanya gambaran-gambaran abstrak berlarian, karena Hyunsik merasa hanya ada dirinya dan Eunsoo di tempat itu.

"Ibu, sekarang waktunya aku memanggilmu Ibu, 'kan?"

Eunsoo mengembangkan senyum canggung kala Hyunsik memberi garis lengkung pada bibir. Langkah itu kembali tertuju, mengarah Eunsoo perlahan, tapi pasti.

Sekelebat, penjelasan-penjelasan sang ayah memutar, jadi landasan Hyunsik untuk menerima, dan secara yakin menemui Eunsoo sebagai seorang anak.

Dalam turunnya salju, ada sekelumit kisah menggelitik, tentang pelukan pertama seorang anak yang terasa tiba-tiba kepada ibunya.

Dalam turunnya salju, air mata Mi Eunsoo tidak mampu membeku, terus mengalir deras membasahi pipi. Eunsoo seperti ingin pingsan, tapi juga tidak mau kehilangan momen dan terbangun dengan kenyataan bahwa ini mimpi.

Dalam turunnya salju, Hyunsik ingin sekali lagi jujur, bahwa sebetulnya butuh lebih banyak keberanian untuk bertindak begini.

Untuk terakhir dalam turunnya salju, Hyunsik mengakui kalau perkataan Lee Na In seutuhnya benar; sesuatu yang buruk pasti akan ada makna baik walau kecil. Hyunsik telah menemukan makna kebaikan itu. Kendati butuh waktu. Kendati butuh getir lebih dulu.

Bisa terasa oleh Hyunsik, tubuh wanita ini bergetar. Jadi Hyunsik cuma bisa kasih kenyamanan melalui usapan lembut di punggungnya sambil mengatakan lima kata sederhana.

Lima kata yang berhasil membuat Mi Eunsoo yakin, ini bukan mimpi.

"Jangan pernah bersembunyi lagi, Ibu."

.
.
.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro