Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Untuk Lim Hyunsik

Hai, Lim Hyunsik. Apakah kau sangat kesulitan? Maafkan aku, tapi kau perlu bahagia agar kita tetap bisa hidup. Tidak apa jika kau lemah sesekali. Seseorang memang mesti hancur kadang, untuk bisa tahu bagaimana cara bangkit. Untuk bisa berjalan kembali dengan keteguhan hati.

Sebetulnya, banyak orang yang menyayangiku. Jika pun nanti kau jadi saksi bahwa tidak ada satu orang yang peduli kepadaku, setidaknya aku punya kau. Diriku. Kau yang setia. Kau senantiasa bersamaku apa pun yang terjadi.

Oh, ayah dan ibu? Mereka baik-baik saja. Kau harus tahu, ayah tidak semengerikan yang kau pikir. Aku tidak membenarkan perlakuan ayah terhadapmu, tapi tidak juga menyalahkannya. Maafkan ayah, ya? Kau juga menyayanginya, kan?

Saat kau merasa sangat ketakutan dan sakit, maafkan aku. Aku takkan kenal lelah meminta maaf atau berterima kasih kepadamu atas hal-hal sepele.

Aku janji akan mengompres lebam-lebam yang masih terpatri, mengubahnya jadi energi untuk belajar memahamimu.

Kata ibu, kau harus selalu bersikap baik, kau menurutinya karena itu seperti perintah. Tapi Hyunsik, kita memang harus baik, bukan? Supaya kita berfungsi sebagaimana mestinya. Jangan menjadikan itu tekanan. Sekarang, kau boleh menangis, kau boleh berteriak mengeluarkan segala emosimu.

Aku juga... tidak marah kepadamu. Aku tidak membencimu, bukan kesalahanmu untuk hal buruk yang pernah terjadi. Aku akan memelukmu setiap waktu, dan kau tidak akan pernah ditinggal sendirian lagi.

Sudah banyak waktu yang terlewat hingga terasa terlambat, tapi tidak akan pernah ada kata terlambat untuk mencoba. Jadi, aku akan kembali bermain piano untukmu. Di waktu aku tidak bekerja, mari kita bermain alat musik menyenangkan itu bersama.

Dari diriku yang mencintaimu, Lim Hyunsik.

Baju hangat dan sepasang sepatu, satu loyang kue tart bersama lilin angka enam di atasnya. Semua lengkap.

Hyunsik memandang diri sendiri sesudah berada di hadapan kaca.

Dia tersenyum ketika anak kecil tanpa nama muncul dalam cermin. Ini bukan lagi halusinasi, melainkan melihat diri sendiri semasa kecil.

"Hai, Lim Hyunsik." Bulir air mata terjun bebas, tapi Hyunsik tetap melanjutkan bicara. "Akhirnya aku menemukan namamu. Kau... Lim Hyunsik."

Anak itu tersenyum senang, mengikuti gerak bibir Hyunsik yang terangkat, terlebih ketika Hyunsik memakaikan mantel dan sepatu kepadanya.

"Kau tidak akan kedinginan lagi sekarang." Hyunsik memandang penuh kasih sayang bagian dari diri, kemudian mengangkat seloyang kue tepat bawah dagu. "Kita akan merayakan ulang tahunmu yang tertunda, ya? Selamat ulang tahun, Hyunsik-ah. Terima kasih sudah lahir ke dunia, dan akan menjadi seseorang yang berguna di masa depan. Kau anak yang hebat."

Tanpa diperintah, anak itu meniup lilin setelah mata terpejam, memanjatkan harapan.

"Lim Hyunsik, kau sudah menjadi anak yang kuat sejauh ini. Semoga harapanmu tadi terkabul."

"Aku berharap, Ahjussi selalu bisa menghadapi segala kesulitan orang dewasa."

Anak tanpa nama kemudian menghilang, usai senyum ringannya terjejak dalam ingatan Lim Hyunsik.

Masih di depan kaca standing tinggi dalam kamar, sekarang yang tertangkap pandangan hanya ada sosok besar Hyunsik, tengah menangis terisak, karpet sebagai alas duduk, juga mantel dan sepatu kecil yang terserak.

"Dan aku berharap, kau bahagia, Hyunsik-ah. Meski aku tidak mau mengembalikanmu ke masa itu. Aku harap kau bisa bahagia di masa mana saja kau berada."

Hyunsik berjanji dalam diri, bahwa dia tidak akan pernah menurunkan kesakitan yang sama pada generasi mendatang. Sudah cukup sampai pada dirinya, rantai keras Lim Geun Suk tidak akan pernah mengikat anak-anaknya kelak.


HAI, LIM HYUNSIK

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro