28. Monster Air Kehitaman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari jum'at adalah hari di mana para santri dan santriwati Al-Anwar libur seharian dari aktivitas mengaji. Sekolah formal dan non-formal yang di bawah naungan Yayasan Al-Anwar pun hari libur sepekannya berada di hari jum'at, bukan minggu. Oleh dari itu, banyak dari para orangtua yang memondokkan anaknya di Al-Anwar memilih hari sayyidul ayyam ini untuk menjenguk buah hati mereka. Ada yang menjenguk di waktu pagi hingga siang, waktu sehabis salat jum'at hingga ashar, bahkan ada yang dari ba'da ashar hingga menjelang maghrib.

Jamaah salat ashar baru saja selesai sekitar setengah jam lalu di Masjid Al-Anwar. Suasana kembali normal dari sebelumnya terjadi kecemasan ringan akibat adanya lindu di beberapa detik. Tidak besar, hanya getaran ringan, tetapi cukup membuat tanda tanya, "Asal gempanya di mana?"

Namun, sekedar cakap-cakap sesaat perihal di mana titik gempa yang ada, mereka cepat lupa, kembali beraktivitas normal setelah ikut mendoakan bahwa semoga mereka yang berada di lokasi pusat gempa tidaklah kenapa-kenapa, hanya gempa biasa.

Ponsel Emil mati, tidak ada satupun daya tersisa, padahal dia ingin sekali menanyakan kabar Almira, bertanya soal sudah sampai mana Almira dan rombongannya dalam perjalanan pulang.

Kemarin, Emil lupa memberikan kalung berlian hadiahnya untuk Almira karena istrinya sudah dijemput temannya duluan, jadilah sampai saat ini, kalung itu masih berada padanya. Kini, dia sibuk menimang-nimang, kira-kira bagaimana cara paling estetik untuk nanti memberikan kalung berlian hadiahnya pada Almira.

"Sayang, aku punya kejutan buat kamu," omong Emil sembari menghadap cermin full body di kamar, sebelah tangan yang memegang kotak hitam berisi hadiah kalung berliannya, dia sembunyikan di belakang tubuhnya yang mengenakan kaos katun putih panjang.

Emil mengamati gestur tubuh dan wajahnya sendiri pada pantulan cermin. Mengoreksi juga bagaimana lekukan bibirnya yang tersenyum, menimang-nimang perkara apakah senyuman seperti ini membuat Almira suka? Dan ... sepertinya Almira bakalan suka senyuman jenis ini.

"TARAAA!" serunya kemudian, memamerkan kotak hitam kalung berlian hadiahnya ke arah cermin, membuat umpama kalau cermin di hadapan adalah Almira.

Emil berfantasi, membayangkan wajah cantik Almira yang tertegun sejenak, lalu berubah semringah dengan ulasan senyum amat menawan.

Apa itu, Mas?

Pikiran Emil membuat omongan Almira seperti demikian.

"Coba buka, Sayang," jawab Emil.

Dalam ilusinya, Almira perlahan membuka kotakan cukup mungil di tadahan tangannya ini perlahan dan--

"Norak nggak, ya?!" decak Emil. Ilusi manis yang diciptakannya bersama Almira bubar begitu saja. Kotak hitam di tadahan tangan dia genggam longgar.

Emil tidak begitu suka dengan cara tadi. Namun, cara selanjutnya seperti apa agar tampak estetik? Dia bingung.

Diam beberapa saat, Emil memikirkan cara lain yang lebih estetik menurutnya. Seperti diselipkan di sebuah kue atau es krim, dikirimkan lewat pos, diberikan lewat awalan memeluk Almira dari belakang atau menutup mata Almira, atau bahkan--

"Bagaimana kalo sama fist bump?" seru Emil. Tergesa membuka kotak hitam, mengambil dengan hati-hati kalung berlian yang ada.

Meletakkan kotak kalung berlian yang sudah kosong ke atas nakas sejenak, Emil kembali ke depan cermin, meletakkan penuh kalung berlian ke sebelah tangan, dikepalnya. Disembunyikankah sebelah tangan terkepalnya ini di belakang tubuh.

Lagi. Emil berfantasi. Dia menciptakan adanya Almira di hadapan. Almira yang amat cantik seperti biasa, berpenampilan dengan rambut hitam panjang yang tergerai, mengenakan nightgown satin berenda warna putih kemerah jambuan.

"Sayang," sebut Emil, mulai berakting lagi, menjadikan cermin full body seolah-olah Almira.

Dalem, Mas, sahut Almira. Senyumnya mengembang. Sebelah tangannya bergerak merapikan poni rambutnya yang panjang.

Bibir Emil ikut mengurva. Sebelah tangan yang mengepal diulurkannya ke depan wajah Almira.

Sekonyong-koyong, satu alis Almira terangkat. Tampak bingung, tetapi kemudian bersemangat membuat kepalan sebelah tangan dan segera meninju ringan kepalan tangan Emil yang mengambang.

Satu detik usai tinjuan kepalan tangan Almira, kepalan tangan Emil terurai, membiarkan sebuah kalung berlian jenis liontin menggelantung bebas.

Kedua mata Almira melebar. Kedua telapak tangannya tertangkup di mulut.

"Gimana? Kamu suka 'kan, Dek?"

Almira mengangguk senang. Lalu--

"Tinggal dipakaikan ke leher Dek Almira," interupsi Emil. Fantasinya sudah buyar. Dia menggenggam lagi kalung berlian yang digelantungkannya barusan. Menempatkannya lagi ke kotak dengan rapi. Kakinya beranjak ke arah nakas. Menaruh kotak hitam di atasnya. Duduk di sisi petiduran. Melamunkan Almira.

Aduhai, padahal ini bukan kali pertamanya Emil jatuh cinta, tetapi debaran yang ada nyatanya tetaplah sama. Bagaimana cara mengeja rindu, bagaimana cara melukis wajah sosok yang dicintai itu dalam ingatan, bagaimana cara menyebut namanya dalam hati, semua sama, bahkan bagaimana cara dirinya menjadi konyol juga sama--walau dengan cara yang berbeda.

Iya, konyol. Bukankah tindakan barusan amatlah konyol? Dia seperti orang gila. Emil akui itu.

Lupakanlah tentang kegilaan yang sempat terjadi, Emil memilih beranjak ke arah tempat ponselnya dicas yang tak jauh dari sofa santai yang ada di kamar. Baru 23 persen baterai ponsel terisi, tapi tak apalah, dia menyalakan ponselnya segera. Sesuai duga, tak berselang lama, ponselnya langsung bergetar-getar memunculkan banyak notifikasi; salah satunya notifikasi 5 panggilan tak terjawab dari Almira.

***

Toyota Avanza hitam yang dikendarai rombongan kecil Almira mengalami kendala. Satu ban belakangnya bocor, tekanannya kian terasa berkurang, menjadikan mau tak mau, Malik menepi sejenak di jalanan untuk menggantinya dengan ban serep.

Semua penumpang di mobil hitam itu keluar dengan hela napas terasa berat. Ada-ada saja cobaan menimpa, padahal mereka sedang ngebut untuk meninggalkan kota ini dan belum seberapa jauh mereka menjauh.

Malik gesit mengambil ban serep, dongkrak, tangkai pemutar, hingga kunci mur, dibantu Shanum. Lainnya ikut menimbrung, barangkali Malik membutuhkan tenaga lain.

Di sela Malik fokus mengganti ban belakang, ponsel Almira berdering. Segera Almira mengambil ponselnya di slig bag yang tersampir di sebelah bahu, kedua mata mongoloidnya menyipit membaca siapa gerangan yang meneleponnya. Ternyata suaminya yang beberapa saat lalu tidak bisa dirinya telepon.

"Ada apa, Dek?" tanya Emil di seberang telepon, usai Almira sedikit menjauh dari temen-temennya, mendekati pagar rumah warga sekitar yang dirambati daun dollar, setelah saling menimpal salam.

"Hm ... nggak ada apa-apa, Mas," sahut Almira yang bingung menjelaskan maksud dirinya ingin menelepon Emil. Jujur sebab dirinya cemas dan beberapa saat lalu terjadi gempa kuat, itu tidaklah mungkin, dia tidak mau Emil khawatir.

"Kangen Mas ya, Dek?" Emil justru meledek dengan merendahkan nada baritonnya, terdengar setengah berbisik.

Entah kenapa, Almira sedang terasa berat untuk tersenyum, kecemasan yang ada masih mendominasi, tetapi akhirnya dia memaksa melakukan hal itu walau hambar. Menjawab singkat, "Nggih, Mas."

Di kamarnya, Emil yang duduk di sofa santai tersenyum bungah mendengar kesaksian itu, apalagi intonasi Almira menjawabnya yang terdengar bersaksi dengan setengah malu menjadikannya gemas--barangkali jikalau Almira sedang berada di hadapannya, dia sudah mencubit cuping hidung mancung istrinya itu.

"Mas juga kangen," jujur Emil dengan hatinya yang menghangat, "Sekarang kamu udah sampai mana?"

Almira menjawab jujur tentang lokasinya sekarang. Dia kira suaminya tahu perihal gempa bumi yang sempat terjadi karena dia prediksi, getaran yang ada terasa hingga Cilacap walau halus. Namun, untung saja Emil tidak tahu, begitu kesimpulan Almira kala mendapat respon Emil yang biasa saja, rasa lega menyusupi dada.

Beralih ke yang lain, sesi mengganti ban serep sudah setengah jalan. Ban bocor baru saja berhasil dilepas.

Sebelumnya, mereka memilih diam tak mencari informasi seputar gempa yang sempat terjadi adalah karena memiliki kecemasan yang sama. Kecemasan terjadi gempa susulan. Lebih baik mereka menganggap seolah-olah tidak tahu apa-apa untuk bisa tenang pulang. Faktanya salah seutuhnya, kecemasan yang ada kian membesar.

Kini Hesti sibuk dengan ponselnya, akhirnya dia tergerak mencari informasi seputar gempa beberapa saat lalu itu.

Di tempat yang berbeda, di wilayah yang terbilang dekat dari kawasan mobil mereka diganti ban cadangan, langit di salah satu pantai terdekat mengelam. Terjadi kesurutan air pantai yang cukup mencolok. Suara gemuruh seperti pesawat terbang tiba-tiba memenuhi area pesisir. Burung-burung di langit kelam bergerombol mengepakkan sayapnya menjauhi area pantai dan lautan.

Nyatanya, perubahan kondisi dinamis yang ada adalah sebab di bawah laut sana terjadi gempa tektonik berskala besar, pola sesar naik turun. Terasa amat kuat sampai kawasan rombongan kecil Almira menepi. Saking kuatnya, Malik yang baru saja selesai mengganti ban dengan baik, membereskan peralatan dan ban yang rusak ke dalam bagasi dibantu Shanum dan Shizuka, terjatuh dengan hampir mencium aspal. Ban rusak yang dibawa dua tangan Malik lepas, menggelinding ke tengah jalanan.

Ponsel Hesti hampir saja meluncur dari tangannya. Vivi yang sedang kebelet pipis jatuh terduduk. Tubuh Almira oleng hingga menghentak lumayan kuat tembok pagar yang dirambati daun dollar.

"Ya Allah," sebut Almira seraya meringis menahan sakit di sebelah bahunya yang menghantam tembok.

"Dek, kamu kenapa?" Emil panik mendengar rintihan menyebut Sang Pencipta itu. Gurat wajah Emil berubah cemas.

"Nggak ada apa-apa, Mas," sahut Almira, tanah bergetar kian kuat, dia jatuh terduduk.

"Ya Allah! Ya Allah!"

"Astaghfirullaahal 'adziim!"

"Laa ilaaha illallaah!"

Empat teman Almira berseru-seru panik, getaran yang menjadikan mereka sudah terjatuh terduduk, kesulitan berdiri. Pun sama dengan Malik, baru saja dia berhasil berdiri, tubuhnya kembali tersungkur. Bahkan warga sekitar yang keluar dari rumahnya pun tak luput lebih kerasnya melafalkan kalimat-kalimat tauhid dengan tubuh berkali-kali oleng dan pasrah mencium kulit bumi.

Lambat-lambat, suara gemuruh, suara bak pesawat terbang yang amat kerasnya memenuhi indera pendengaran mereka. Bahkan lolos menembus hingga gendang telinga Emil yang masih diberi kesempatan tersambung dengan Almira lewat telepon.

"Dek, ada apa? Kenapa kedengaran suara gemuruh kenceng banget?" selidik Emil dengan kekhawatiran penuh, tubuhnya dia angkat berdiri.

"Dek ...."

"Dek ...."

Emil bisa mendengar suara riuh menyebut kalimat-kalimat tauhid. Ada sesuatu yang tidak beres di sana. Emil yakin sekali.

"M-mas ... ridhoi kulo, nggeh?" Almira yang baru berhasil berlari mendekati temen-temannya yang ada di tengah jalan, tatapannya tertuju pada sesuatu mengerikan di hadapan.

(Mas, ridhoi aku, ya?)

Hesti sempat meneguk saliva menonton amukan alam yang juga tengah Almira lihat--bahkan dengan yang lainnya. Barusan saat dirinya mencari informasi di internet seputar gempa yang beberapa saat lalu terjadi, nyatanya titik gempa berada di dasar laut, di mana diprediksi terjadi gempa susulan yang berpotensi tsunami.

"KUE APA?!" Shizuka berteriak ngeri dengan bahasa jawa ngapaknya.

(Itu apa?!)

"Dek, kenapa bilang kayak gitu? Ada apa sebenernya? Kamu baik-baik aja 'kan?" Jantung Emil sudah berdegup abnormal, pikirannya kalut, suara-suara orang berteriak juga kian nyaring di indera pendengarannya. Dan suara gemuruh itu terdengar bertambah keras--entah suara apa itu, tapi pastilah kian dekat dengan Almira.

"I-itu ... tsunami," jelas Hesti mendapati air laut yang naik hingga ke kawasan mereka radius beberapa meter, tampak mengerikan dengan warna cokelat kehitaman dan setinggi melebihi pohon kelapa.

"LARI!" Malik berseru, tepat saat sambungan telepon Emil dan Almira terputus begitu saja.

Mereka berempat dan para warga yang bahkan sudah lari lebih dahulu, tunggang langgang mencari tempat aman.

Air laut yang naik dengan airnya yang sudah cokelat kehitaman pun kian melahap apapun yang dilewatinya. Mereka yang mencoba menyelematkan diri dipacu waktu, balapan dengan Monster Air Kehitaman yang kian mengikis jarak.

Suasana amat mengerikan. Gemuruh mendengung pedih. Rumah-rumah yang sebagian sudah rusak oleh gempa, terlahap Monster Air Kehitaman itu. Pohon-pohon teredam air. Sampah-sampah terbawa arus. Perabotan rumah tangga sudah tercampur aduk dengan meja, kursi, hingga papan-papan kayu yang entah aslinya menjadi material dari barang apa, dan lainnya, pasrah terbawa arus air yang menggila.

Napas Almira ngos-ngosan, dia terus berlari dengan ponsel--yang sudah terputus sambung telekomunikasinya dengan Emil--digenggamnya erat. Namun, nahas, secepat apa Almira berlari, Monster Air Kehitaman itu berhasil mengikiskan jarak dengannya. Tubuhnya terlahap amukan air bervolume tinggi yang ada, tenggelam, meneguk beberapa tegukan air keruh yang sudah bercampur pasir dan tanah.

Almira kehabisan kendali. Dia pasrah dengan arus air yang tak bisa dirinya perintah agar jangan membawanya pergi. Kesulitan naik ke permukaan, dia mulai kehabisan napas.

Di kamarnya, Emil terduduk lemas di atas sofa. Napasnya amat berat, jantungnya berpacu kian kencangnya. Pikirannya semrawut sudah saat menonton berita bencana tsunami di televisi yang baru saja terjadi. Di mana, Emil yakin bahwa tsunami tersebut berdampak hingga kawasan mobil rombongan Almira menepi untuk mengganti ban bocor.

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro