27. Tanah Bergetar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari jumat pagi, sudah menjadi jadwal tetap para santriwati melakukan ziarah ke makam Abah Rosyid yang berada di kawasan makam keluarga, tepat di belakang Masjid Al-Anwar. Lain halnya santri putra yang diagendakan sehabis pembacaan sholawat al-barzanji di setiap malam jumat.

Pun begini, jum'at pagi sudah menjadi hal rutin bagi Emil ziarah ke makam Asma yang lokasinya tak jauh dari makam Abah Rosyid. Pulang berziarah, Emil akhirnya menceritakan persitegangan yang sempat terjadi antara dirinya dan Almira pada Ummi Wardah begitu beliau bertanya secara baik-baik pada anak semata wayangnya itu, "Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua, Nak?"

Ummi Wardah sudah curiga sejak awal Almira mendadak ke rumah mamanya dengan Emil menjemput Almira, justru kata Emil, menantunya itu izin 3 hari di rumah mamanya karena kangen. Ini bukanlah hal biasa. Beliau paham karakter Almira yang lebih mementingkan mengajar di Al-Anwar daripada egois pulang beberapa hari sebab kangen mamanya. Jika pun tidak bisa ditahan, Almira pastilah hendak ke rumah mamanya di waktu-waktu mengaji pesantren putri libur seperti di hari jumat. Jikalau Almira melakukan hal gegabah demikian, bisa dipastikan, tandanya ada masalah serius.

"Ya sudah, nggak apa-apa. Yang penting jangan pernah kamu ulangi kesalahan itu lagi. Kamu harus jadi suami yang baik. Selalu ingat pesan Abah dalam mimpi kamu itu, Nak," kata Ummi Wardah begitu mendengar penjelasan Emil atas persitegangannya dengan Almira, mengusap sebelah tangan Emil yang menggenggam sebelah tangan beliau.

Kepala Emil yang menunduk itu pun mengangguk. Dia paham, walau nada bicara Ummi Wardah tetap tenang, umminya itu jelaslah menaruh kekecewaan mendalam atasnya.

"Yang penting mulai sekarang, kamu harus jadi suami yang pandai memuliakan istrimu, Nak," imbuh Ummi Wardah seraya menepuk genggaman tangan Emil yang tak kunjung terurai.

"Nggih, Um," sahut Emil, memberanikan diri menatap sorotan mata teduh Ummi Wardah, lantas beranjak memeluk beliau.

Sejenak, ruang keluarga ndalem menghening. Kedua mata Emil berkaca-kaca seiring eratan pelukannya kian kuat dengan Ummi Wardah menepuk-nepuk halus punggungnya.

Beberapa saat ke depan, sesi curhat Emil berlanjut dengan menceritakan bahwa Almira sedang ziarah wali-wali Al-Quran di Jogja. Tadi malam, Emil belum sempat menceritakan Almira yang pergi ziarah, jadinya barulah pagi ini dirinya beritahukan kepada Ummi Wardah.

Ummi Wardah justru senang mendengar itu karena bisa menjadi ajang healing-nya Almira dari kekecewaannya pada Emil--walau mereka berdua sudah berbaikan dan Emil mengungkapkan perasaan cintanya.

Curhat selesai, Emil memilih berolahraga, melakukan treadmill. Namun, baru saja menekan tombol start di monitor, pikirannya sudah berlari-lari ke Almira. Rasanya dia amat merindukan istrinya itu. Apakah Almiranya sudah sarapan? Sepertinya belum, masih di kawasan An-Nur Ngrukem atau barangkali hendak sekalian sarapan di sekitar pesantren tersebut.

Emil menghela napas. Rasanya dia tidak bisa fokus berolahraga. Memilih menanggalkan untuk treadmill, beranjak ke sofa rehat untuk menyambar ponselnya yang ada di meja, mengirim pesan WhatsApp.

Dek, udah sarapan belum?

Nyatanya Almira sedang tidak online. Emil harus bersabar menunggu jawaban seraya melihat-lihat koleksi fotonya di galeri ponsel.

Cepat sekali rasanya untuk selesai melihat-lihat koleksi foto dirinya bersama Almira di galeri. Menjadikan Emil mengigit bibir bawahnya sebab menyadari; bahwa sebelumnya dia memang kerap banyak menghapus foto-foto Almira, padahal Almira sudah susah payah berfoto untuk dirinya, barangkali nanti-nanti kangen, bisa melepas rindu dengan melihat koleksi foto tersebut. Ternyata dia sebegitu jahatnya, hingga memberikan ruang lebih luas untuk Almira mengekspresikan diri dengan foto-foto itu untuk di simpan di ponselnya saja, dia sungkan. Memang sebegitu teganya, banyak mengabaikan Almira, membuat Almira sedemikian caper dan haus kasih sayang.

Emil meneguk saliva. Kedua matanya menatap foto Almira di ponsel. Foto Almira dengan gaya caper yang dulunya dia tidak suka. Gaya ala-ala cewek Korea yang berpose manja, aegyo.

Di foto yang terpampang di layar ponsel, Almira menggerai rambut panjangnya, memejamkan mata mongoloidnya seraya mengepalkan kedua tangannya yang ditempelkan ke pipi dengan ulasan senyum manja. Dulu, Emil kurang suka melihat gaya Almira seperti ini, terkesan lenjeh, tetapi sekarang berbanding balik, Almira terlihat amat lucu dan menggemaskan.

Perlahan, bibir Emil mengurva seiring sebelah jempol tangannya menyentuh wajah semringah Almira dalam layar.

Emil jadi teringat saat mereka berdua berpanggilan video dengan Almira mencepol 2 rambutnya. Almira sadar dengan langsung melepas cepolan itu karena tidak mau terlihat kekanakan dan centil di matanya.

Dada Emil berdenyut ngilu mengenang kembali keputusasaan Almira satu itu. Dia paham, Almira ingin terlihat kalem seperti Asma saat bersamanya agar dirinya bisa mencintai Almira, agar dia bisa menghargai Almira lebih baik. Dia benar-benar sudah membuat Almira sedemikian patah, hingga menjadikan perempuan periang itu bisa menangis dengan derasnya, putus asa sampai ingin menjadi seperti Asma. Sungguh, Almira tak perlu menjadi seperti Asma atau siapapun, dialah yang salah, dialah yang saat itu gelap mata dengan tak bisa melihat sisi spesial Almira.

"Sekarang kamu nggak perlu susah payah caper, Dek. Biar Mas yang sekarang berupaya keras buat kamu. Mas akan berikan semua kasih sayang Mas buat kamu," ujar Emil seraya mengelus wajah Almira kembali dengan jempol tangannya.

***

Waktu terus berjalan.

Almira dan rombongannya sudah dalam perjalanan pulang. Mobil hitam yang dikendarai mereka menepi ke pelataran mushola dengan cat warna hijau di pinggir jalan raya.

Mereka hendak salat ashar dahulu di mushola tersebut. Tanpa memperlambat waktu, begitu keluar dari mobil, bergegas mengambil wudhu.

Salat ashar berjamaah di mushola itu sudah selesai sekitar setengah jam lalu, maka dari itu, mereka memilih salat berjamaah sendiri dengan Malik sebagai imam.

Angin berhembus syahdu. Dedaunan pohon di sekitar musola melambai-lambai lemah.

Rakaat demi rakaat mereka lampaui penuh khusuk. Menyisakan rakaat terakhir, hampir selesai, tinggal duduk tahiyat akhir.

Sampai di posisi duduk tawaruk, saat membaca sholawat ibrahimiyah, mendadak keramik putih yang tengah mereka duduki bergetar. Getaran yang ada besar, hingga tubuh mereka hampir saja kehilangan keseimbangan. Namun, getaran kuat yang tak kunjung selesai ini tidak menjadikan mereka membatalkan salat, mereka justru mencoba lebih memfokuskan pikiran pada Sang Pencipta, hingga mereka berhasil bertahan sampai melakukan salam.

"Astaghfirullah!" seru Shizuka kala begitu mereka baru saja selesai salam terakhir, sebuah kipas angin jatuh, berkelontangan ke lantai.

"Buruan keluar, Mbak-mbak!" perintah Malik yang langsung disusul lima perempuan yang ada dengan terbirit lagi keluar musala.

Di pelataran musola yang cukup luas, sudah banyak orang yang berkumpul seraya berseru melafalkan kalimat tauhid secara serentak yang sedari dalam musala sudah mereka dengar jelas.

"Laa ilaaha illallaah!"

"Laa ilaaha illallaah!"

"Ya Allah. Allohu akbar!"

Tanah yang dipijak masih bergetar sama hebat. Semua penduduk yang berdiam di sekitaran musala keluar dari rumah. Pohon-pohon kelapa di sekitar bergoyang-goyang mengerikan. Mobil hitam rombongan Almira bahkan sampai bergeser beberapa centimeter.

Shizuka memeluk Almira erat sembari terus melafalkan kalimat tauhid. Shanum memeluk Malik. Hesti dan Vivi juga saling bercengkerama. Mereka mencoba bertahan dengan tetap berada di tengah pelataran musala, hingga beberapa saat ke depan, getaran yang ada memelan, lambat-lambat hilang tanpa bekas.

"Alhamdulillah. Kita langsung pulang, Bang," kata Shanum yang masih memeluk abangnya itu dengan air mata ketakutan yang masih mengucur.

"Buruan, Kang Malik. Takutnya ada gempa susulan." Shizuka yang baru saja melepas pelukannya pada Almira ikut membuka suara, di mana suara itu disusul oleh anggukan semua temannya.

"Nggih. Monggo buruan masuk mobil. Kita ngebut," jawab Malik yang dirinya juga baru saja lepas dari pelukan Shanum yang teramat eratnya.

Rombangan mereka pun bergegas masuk mobil untuk kemudian Malik membawa Avanza-nya menjauh dari kawasan tersebut. Menyisakan para warga yang tetap saja waspada di depan rumah mereka dan pelataran musala.

Di dalam mobil yang melaju ngebut, Almira dan teman-temannya yang masih mengenakan mukenah, menghening, termenung sendiri-sendiri, syok atas guncangan tanah barusan tetap ada.

Kedua tangan Almira dingin, saling menggosok-gosokan tangannya itu agar terasa lebih hangat. Hatinya terus merapalkan istighfar. Pikirannya kalut. Entah kenapa, dia memiliki firasat buruk.

Tak peduli sudah sejauh apa mereka meninggalkan kawasan tadi, Almira mengambil ponselnya di sling bag, dia hendak menelepon Emil. Dia gelisah, perasaannya cemas sekali, tanpa dasar yang lebih jelas, ini menjadikan dirinya berhasrat mendengar suara Emil--walau dirinya bertelepon pun, dia tidak bakalan memberi tahu Emil bahwa barusan mereka sempat terjebak gempa.

Tanpa ragu, Almira mulai membuat panggilan. Jantungnya berpacu keras. Emil belum juga mengangkat teleponnya.

Almira kian cemas. Sungguh, perasaannya tidak enak. Dia takut. Takut terjadi sesuatu lagi di beberapa menit ke depan yang mungkin ... bisa saja malah lebih buruk.

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro