38. Doraemon & Dorami

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hyejin begitu penting bagi Junho. Sebegitu pentingnya, hingga menjadi alasan Junho dalam melakoni beberapa hal.

Menyukai Bahasa Indonesia dan budaya Indonesia, meyukai es krim rasa pisang, hingga berbagai macam olahan cumi. Begitulah kesukaan Junho sebab Hyejin.

Dulu, saat kecil itu, Junho menganggap Hyejin adalah pahlawannya karena selalu membela dirinya saat di-bully. Hyejin terkenal galak dan judes di sekolahan. Itu semata-mata agar teman-teman yang sok berkuasa akan takut padanya, agar dia mudah melindungi Junho. Hyejin memiliki sepasang mata yang tajam, tetapi di sisi lain, Hyejin memiliki tatapan mata yang amat lembut. Saat menyeringai, Hyejin amat menakutkan, tetapi berbeda kala dia tersenyum tulus, Hyejin amat-sangat manis.

"Jika besar nanti, kamu mau jadi apa, Hyejin-ah?" tanya Junho kala bermain di apartemen Hyejin.

Akhir pekan, mereka berdua menghabiskannya dengan menonton serial kartun di televisi.

Di dapur, Mama Lestari sedang membuat nasi goreng sosis. Beliau kerap memasakkan menu Indonesia tersebut saat Junho bermain di apartemennya. Sebelumnya, Junho amat menyukai bokkeumbap, nasi goreng ala Korea yang dicampur dengan kimchi, tetapi begitu mencoba nasi goreng ala Indonesia, daftar menu makanan favoritnya seketika bertambah.

"Aku pengin jadi atlet taekwondo yang hebat."

Hyejin menyuap songpyeon, kue beras khas setempat yang bentuknya sedikit lonjong dengan beragam warna cerah.

"Pasti yang bakalan banyak memenangkan olimpiade," selidik Junho. Ikut mencomot songpyeon warna hijau di piring.

"Bukan, Junho-ya. Defisini keren bagiku adalah kalau aku bisa lindungi kamu. Dan buat leher mereka patah jika memungkinkan." Hyejin ekspresif sekali mengatakan itu, apalagi di kala mengatakan perkara mematahkan leher, sebelah tangannya dia gesekkan kasar ke lehernya, bibirnya menyeringai.

"Aigo. Aku sudah bayangin kamu bakalan jadi perempuan terkeren sedunia," sahut Junho dengan mulutnya yang penuh oleh kue beras.

Mereka berdua terkikik. Menenggak es susu cokelat.

"Tapi aku yakin banget, kalau besar nanti, kamu bakalan jadi lelaki kuat dan super keren. Kuat mental dan pastinya kuat fisik sampai kamu bisa bunuh mereka," omong Hyejin, mengunyah es batu.

Nasi goreng sosis buatan Mama Lestari akhirnya selesai. Beliau cekatan menaruhnya di atas 2 piring. Membawanya ke arah Hyejin dan Junho dengan nampan kayu yang juga di atasnya terdapat sepiring yakgwa--kue tradisional Korea yang sudah ada dari Dinasti Goryeo.

"Sayang, ngomongnya kok begitu," tegur Mama Lestari begitu sampai ke arah mereka berdua dan menyajikan nasi goreng sosis beserta yakgwa di atas meja.

Hyejin yang sedang terkikik lagi dengan Junho pun menoleh ke arah Mama Lestari. Sedangkan, Junho yang mencium aroma gurih nasi goreng sosis, kedua mata sipitnya langsung melebar antusias.

"Hyejin sebal, Eomma. Mereka ganggu Junho terus," alibi Hyejin seraya menarik sepiring nasi goreng sosis ke hadapan Junho.

"Tapi tetap saja nggak boleh begitu, Sayang. Anak yang baik itu yang selalu bisa maafin kesalahan orang lain," nasihat Mama Lestari dengan sebelah tangan melarut gelas kosong susu cokelat milik Hyejin dan Junho.

"Tapi mereka nggak pantes buat dimaafin, Eomma."

Junho mengangguk. Setuju dengan pendapat Hyejin. Kedua matanya tak lepas dari nasi goreng warna kecokelatan yang sudah di hadapan. Sudah tak sabar untuk segera menyantap. Perut besarnya yang sebelumnya tidak kelaparan, mendadak keroncongan.

"Pantes nggak pantes mereka dimaafin, kamu tetap harus memaafkan, Sayang. Ini bukan soal mereka, tapi juga soal kamu."

Mama Lestari mengelus pucuk kepala Hyejin layaknya elusan lembut pada anak kelinci.

"Di sini. Di hati kamu. Ketika kamu memaafkan, hati kamu akan tentram, nggak ada dendam. Serahin semuanya ke Allah. Allah bakalan bales mereka dengan cara-Nya," jelas beliau sembari menyentuh dada Hyejin yang memakai kaos merah muda bergambar Barbie.

"Kalau nggak ada dendam, aku nggak bakalan bisa ngelindungi Junho. Rasa berani aku ke mereka ini muncul karena aku dendam ke mereka, Eomma. Kalau nggak ada dendam, nggak bakalan ada gairah melawan buat kasih pelajaran ke mereka." Hyejin menampik nasihat Eomma-nya, melirik ke arah Junho untuk mendapat dukungan, "Bener nggak, Junho-ya?"

Junho yang sudah melahap satu suap nasi goreng sosis, mengangguk cepat dengan tak berhenti mengunyah.

"Dendam dan kasih pelajaran itu hal yang berbeda, Sayang. Kalau dendam, itu timbul sebab kamu kesal, marah. Tapi kalau kasih pelajaran, ini bisa dilakukan oleh kamu usai kamu memaafkan mereka; satu-dua kali kalau melawan mereka buat melindungi Junho, itu boleh saja, asalkan dalam hal yang wajar," jelas Mama Lestari seraya kembali mengelus anak semata wayangnya.

Hyejin cemberut, tapi kemudian mengangguk paham dan patuh.

Seutas senyum singgah di bibir Mama Lestari sebelum sesaat ke depan bertanya pada Junho yang sudah sibuk dengan makanan favoritnya.

"Bagaimana nasi goreng sosisnya, Junho-ya?"

***

Matahari kian terik. Angin berembus, memberingsutkan beberapa helai dedaunan kering yang sudah jatuh ke tanah. Pun mengibarkan sedikit ujung hijab menjuntai beberapa santriwati Al-Anwar yang berada di halaman asrama putri, baru saja pulang dari diniyah, mengisi waktu istirahat untuk jajanan di kantin pesantren atau sebagian memilih mengambil jemuran pakaian yang sudah kering.

"Kamu pasti sudah mahir taekwondo ya, Hyejin?" tanya Junho usai beberapa saat lalu memberikan hadiah dari Eomma-nya pada Almira.

"Hm, t-taekwondo?" Kening Almira mengerut. Bingung.

"Dulu kamu pernah punya cita-cita pengin jadi atlet taekwondo, aku pikir ...." Junho ragu untuk menyempurnakan kalimatnya.

"Oh ..." Almira mulai paham arah percakapan. Junho pastilah beranggapan dirinya sungguh benar belajar taekwondo, entah itu untuk menjadi atlet tulen atau sekedar menjadi tameng dalam menjaga diri.

"Aku bahkan lupa pernah punya cita-cita itu, Junho. Secara ... saat kecil, cita-citaku banyak banget, berubah-ubah terus."

"Iya, cita-cita Hyejin saat kecil itu banyak banget; pernah pengin jadi detektif karena lihat Detective Conan, pernah pengin jadi Doraemon yang punya kantung ajaib, bahkan pernah pengin jadi Pororo karena katanya lucu. Cita-citanya berubah-ubah sesuai apa yang dia lihat. Pasti kamu paham banget kan, Junho?" Tuan Bahran ikut nimbrung.

Dengan semringah, Junho mengangguk. Dia menjadi bernostalgia tentang masa kecilnya bersama Hyejin kembali. Hyejin memang kerap banyak mengubah cita-citanya sesuai acara telivisi yang sedang ditonton.

Perkara Doraemon, bahkan mereka berdua pernah berdebat tentang Hyejin tidaklah pantas menjadi Doraemon karena Doraemon adalah laki-laki. Junho ngotot kalau Hyejin lebih pantas menjadi Dorami, adik perempuan Doraemon. Awalnya Hyejin tidaklah setuju, tetapi lambat-lambat mengakui bahwa dirinya lebih pantas menjadi Dorami. Lalu pada akhirnya, saat Festival Musim Semi di Taman Yeouido digelar, mereka berdua membeli baju sarimbit Doraemon dan Dorami; Doraemon untuk Junho dan Dorami untuk Hyejin. Selepasnya, selama beberapa bulan, mereka saling memanggil dengan sebutan Doraemon dan Dorami, bukan nama mereka.

"Saat kecil, kalian berdua memang benar-benar terlihat seperti adik-kakak," komentar Tuan Bahran begitu Junho akhirnya membawa topik perihal Doraemon dan Dorami yang langsung disambut hangat Almira yang menjadi bernostalgia masa kecil dengan lebih jauh.

"Tapi cita-cita yang paling serius, saat masa kecil itu, kamu pengin jadi dancer, 'kan?" lanjut Tuan Bahran ke arah Almira.

Almira mengangguk cepat. Dia ingat sekali akan itu, bahkan tadi malam baru saja membahasnya dengan Emil.

Percakapanpun mengalir deras tentang Tuan Bahran yang menceritakan saat kecil, Almira ingin sekali menjadi seorang dancer, lalu dimasukkan beliau ke kelas privat untuk dancer anak-anak. Percakapan melebar kemana-mana, tetapi pada akhirnya Almira kembali membawa topik yang beberapa saat lalu teralihkan.

"Kalau kamu, pasti ada minat di taekwondo, ya? Hmm, jangan-jangan kamu malah sudah sampai sabuk hitam, Junho?" selidik Almira usai menyesap teh hangatnya.

"Iya. Aku memang ada minat di taekwondo. Belum sampai sabuk hitam, masih sabuk merah strip hitam satu, Hyejin," jujur Junho.

Almira mengangguk. Dia paham itu. Sabuk merah strip hitam 1; artinya satu tingkatan lagi, Junho bisa berpindah ke sabuk hitam level awal.

"Itu sudah keren, Junho. Tinggal selangkah lagi kamu sabuk hitam," timpal Almira dengan antusias.

Junho mengangguk sembari tersenyum kecil. Mengambil sale pisang keju cokelat yang berada di hadapan untuk dicicipinya.

"Kalau Mas Emil sudah sampai sabuk apa, Mas?" ledek Almira begitu menoleh ke arah Emil yang dari tadi lebih banyak menyimak sembari sesekali mengurvakan bibir.

Emil menimpali tatapan meledek Almira.

"Mas bisanya smackdown, Dek," jawab Emil asal. Tapi itu benar juga, dia bisa smackdown, maksudnya dia bisa banting-banting apalah yang ringan-ringan; misal banting piring plastik, sandal jepit, bantal, atau batu kerikil.

Almira tersenyum geli. Beranggapan bahwa palingan kesaksian suaminya itu sekedar bercanda.

Di tempat duduknya, hati Junho memanas, dia cemburu melihat senyuman Almira untuk Emil. Pun sebaliknya, dia cemburu melihat hangat senyuman Emil untuk Almira. Berasumsi bahwa pastilah mereka berdua amat saling mencintai. Berakhir membawanya pada momen Emil tiba-tiba melarangnya untuk menghubungi Almira karena sebuah salah paham. Saat itu, detik itu juga, dia bisa merasakan nada cemburu Emil yang menggema kuat di gendang telinganya.

Junho mengunyah sale pisang keju cokelat secara perlahan. Pisang kering yang diaplikasikan dengan keju dan cokelat, membaurkan rasa yang menggoyangkan lidah dengan amat lezat. Dia menjadi ingin membeli makanan setempat ini untuk dibawanya ke Seoul.

Obrolan tertahan kala Ummi Wardah yang beberapa saat lalu pamit ke belakang, kembali untuk mengajak dua tamunya makan siang.

Tuan Bahran dan Junho pun beringsut ke meja makan yang sudah disediakan jamuan makan siang sedemikian rupa. Dengan wajah rikuh, Emil justru izin berpamit tidak bisa ikut makan siang bersama karena memiliki jadwal mengajar diniyah di jam kedua, tepatnya mengajar balaghoh di kelas 2 Ulya. Waktu masuk mengajarnya sudah mepet, dia harus bergegas.

Tak berselang lama usai Emil izin tidak bisa ikut makan siang, dia kembali dengan pakaian rapi menggunakan batik hijau toska seragam asatidz. Berpamit untuk kali terakhir. Dan beberapa detik ke depan, Junho melihat pemandangan Almira melepas kepergian Emil dengan bersalaman dan mencium khidmat sebelah punggung tangan Emil, melontarkan senyum sedemikian hangat untuk kemudian Emil sungguh pergi ke Madrasah Diniyah.

Cemburu itu masih tertanam subur di tanah hati Junho. Namun, sekarang dia lebih sadar diri bahwa dirinya ini siapa. Dia akui, penggalan masa lalu Almira cukup banyak dihabiskan bersamanya, beragam momen indah mereka lalui berdua, masa kecil Doraemon dan Dorami tersimpan rapi dalam ingatan.

Tetapi lain halnya dengan masa depan. Masa depan Almira bukan lagi dengannya. Takdir Almira adalah Emil. Semuanya sudah tak lagi sama layaknya di masa lalu. Dan seindah apa pun masa lalu bersamanya, tak akan pernah bisa menang melawan masa depan Almira bersama Emil. Dia hanyalah potongan lampau yang cukup sesekali diingat sebagai sahabat masa kecil yang menyenangkan.

Junho sadar diri. Perasaan cintanya untuk Almira cukup sampai di sini. Dia sudah menyaksikan bagaimana Almira bahagia bersama Emil, tak memungkiri, walau dirinya patah hati, tetapi juga membuatnya ikut bahagia.

Pun lagi. Junho sadar diri. Bahwa pada akhirnya, tindakan yang paling tepat atas perasaannya pada Almira adalah tentang melepaskan.

Neol nohgo malgolan eobseo.

(Tidak ada yang bisa kulakukan selain merelakanmu)

___________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro