39. TBC; Tekanan Batin Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tuan Bahran dan Junho menginap semalam di ndalem.

Emil mengantarkan pakaian ganti untuk ayah mertua dan sahabat masa kecil istrinya itu. Usai mengantarkan pakaian ganti Tuan Bahran, dia beralih ke kamar tamu sebelah, memberikan pakaian ganti untuk Junho.

"Makasih, Bang. Aku jadi merepotkanmu," ujar Junho begitu meraih pakaian ganti yang diulurkan Emil. Niat awal, dia tidaklah hendak menginap di ndalem, langsung kembali ke kediaman Tuan Bahran di Bogor, tetapi karena Tuan Bahran mengiyakan tawaran menginap Ummi Wardah dan Almira, akhirnya beginilah yang terjadi.

"Makasih kembali. Nggak ngerepotin kok, Jun," sahut Emil.

Sedari sempat mengobrol ringan sejenak di ba'da isha saat di ruang keluarga, mereka berdua mulai berbicara non-formal dan Almira menyarankan Junho untuk memanggil Emil dengan sebutan Abang.

"Yang nyaman saja. Anggap seperti di rumah sendiri," lanjut Emil seraya menepuk sebelah bahu Junho.

Kepala Junho mengangguk.

Kedua mata Emil mengedar ke belakang Junho, memicingkan mata, menangkap adanya sesuatu tergeletak di korden putih kamar. Emil menduga bahwa sesuatu di sana adalah sampah. Dia pun beranjak mendekat untuk memungutnya, beranggapan bahwa Mbak Ndalem kurang teliti dalam membersihkan kamar tamu, hingga masih nyempil sampah di bawah korden yang menjuntai ke lantai.

Namun, begitu memungutnya, Emil salah duga. Sesuatu yang ada bukanlah sampah, melainkan sebuah pin gantungan kunci.

Sebuah pin gantungan kunci yang tampak sudah usang dengan gambar Doraemon dan Dorami. Di kantung dua saudara kartun robot itu terdapat tulisan; Junho di kantung Doraemon, Hyejin di kantung Dorami. Tulisan yang ada memiliki dua varian; alfabet dan hangeul.

"Ini milikmu, Jun?" selidik Emil seraya mengulurkan pin gantungan kunci di sebelah tangannya begitu kembali ke arah Junho.

"Ah, iya, Bang. Ini milikku," sahut Junho dengan wajah semringah karena barang yang sebelumnya dirinya cari akhirnya ditemukan. Dia sempat melihat taman pinggir rumah dari balik jendela seraya memegang pin itu, tetapi pin itu jatuh dan dia belum sempat menemukannya saat pintu kamar diketuk Emil.

"Hyejin yang memberikan ini padaku saat hari terakhirnya di Seoul," jujur Junho seraya menggenggam pin gantungan kunci pemberian Hyejin yang diambilnya dari Emil.

Emil cukup tertegun mendegar itu. Bukan tertegun sebab mendapatkan fakta bahwa pin gantungan kunci yang dirinya temukan ternyata berasal dari Almira, melainkan tertegun dengan sikap Junho yang masih menyimpan benda kenangan itu hingga sekarang.

"Bang, jaga Hyejin dengan baik, ya?"

Emil bingung menanggapi apa, dia kembali tertegun atas lontaran permintaan Junho, ditambah kedua mata sipit Junho yang berubah sendu.

"Selama ini, impianku adalah Hyejin. Aku belajar Bahasa Indonesia secara otodidak, lantas mengambil jurusan Sastra Bahasa Indonesia, itu agar nanti bisa bercakap menggunakan bahasa ini jika kembali bertemu. Dulu, Hyejin amat bangga menggunakan bahasa Indonesia karena selain adalah bahasa ibunya, itu juga membuatku bingung dengan arah percakapan," ungkap Junho seraya kembali mengingat masa-masa kecil saat Hyejin berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Sedari kecil, walau tinggal di Seoul, Hyejin juga diajari Bahasa Indonesia oleh ibunya.

Sulit dijabarkan perasaan Emil mendengar kesaksian Junho, tetapi satu yang pasti, ada rasa nyeri yang menjalari hatinya.

"Kami kehilangan kontak setelah satu tahun Hyejin pindah. Dia tak bisa dihubungi lagi seperti ditelan bumi. Bertanya pada Paman Daehyun juga percuma, beliau tidaklah tahu," lanjut Junho.

Saat itu, Tuan Bahran sungguh tidak tahu perihal kabar Almira karena beliau juga masih berada di penjara atas kasus KDRT. Tuan Bahran mencari keberadaan Almira setelah keluar dari bui dan pindah ke Indonesia. Menjadikan Junho dan keluarganya kehilangan kontak dengan beliau karena tak pernah bertemu lagi begitu keluar penjara. Terhubung lagi belum ini setelah Tuan Bahran kembali memberanikan diri menemui Almira.

Emil tidak mau menganggapi apa pun. Hatinya kian panas. Dia merasakan adanya maksud lain dalam percakapan yang sedang bergulir.

"Aku begitu merindukan Hyejin. Aku mencari Hyejin di semua media sosial berkali-kali, tetapi tak juga ditemukan. Rupanya, Hyejin berganti nama jadi Almira," kata Junho. Dia sempat hendak menyerah mencari Almira, tetapi suatu malam, Tuan Bahran menghubungi setelah sekian lama, mendapatkan ID KakaoTalk dan username Instagram dirinya dari Eomma-nya.

"Kamu memiliki perasaan lain pada Hyejin, Jun?" selidik Emil, dia sudah tidak tahan dengan banyak kesaksian Junho. Kesaksian yang sudah dapat diprediksinya bahwa lelaki oriental di hadapannya ini memiliki rasa lain dari sekedar sahabat masa kecil.

Bukan langsung menjawab, Junho menundukkan wajah. Sebelah tangannya mengeratkan genggamannya pada pin gantungan kunci.

"Iya. Aku mencintai Hyejin, Bang," saksi Junho setelah sesaat lalu mengangkat wajah.

Seketika, mendengar kesaksian barusan, sebelah tangan Emil terkepal.

"Tapi aku sadar, aku tak bisa berbuat apa pun atas perasaanku. Dan sekarang, aku sudah melihat kalian berdua amat bahagia, ini sudah cukup bagiku."

Emil menghela napasnya. Dia belum habis pikir atas apa yang dirinya dengar dari mulut Junho. Apa motifnya mengungkapkan hal demikian padanya yang sudah menjadi suami Almira, sekalipun ungkapan kerelaan tersirat dalam percakapan?

"Iya, kami amat bahagia sekarang. Cinta kami sama-sama besar, Jun. Dan aku bakalan jaga Almira dengan baik, kamu nggak perlu khawatir," jelas Emil yang sesungguhnya lebih banyak hal ingin dirinya katakan pada Junho, tetapi berakhir kata-kata demikian yang menurutnya sudah cukup menjelaskan segalanya.

"Selamat beristirahat," lanjutnya mendapati Junho yang tak menganggapinya lagi dengan kata-kata.

"Maaf, aku telah berbicara lancang, Bang," maaf Junho dengan dada penuh rasa bersalah, dia menyesal telah menyatakan hal menyinggung perasaan Emil.

Emil memilih menjawabnya dengan menganggukan kepala. Kemudian beralih pergi.

Dengan langkah demi langkah yang terasa berat, pikiran Emil kacau balau. Dia tahu, kesaksian perasaan Junho tentang mencintai Almira tidaklah berdampak buruk bagi rumah tangganya. Dia dan Almira telah digariskan bersama. Dia dan Almira jugalah saling mencintai dan mengupayakan. Jadi, apalagi yang perlu dirisaukan?

Emil mengusap wajahnya. Menuju dapur untuk membuat dua cangkir wedang jahe madu.

Di waktu yang sama, pikiran Junho tak ubahnya sama dengan Emil, kacau balau. Dia kembali menatap taman samping kamarnya yang dipendari cahaya temaram lampu taman. Pin gantungan kunci tak lepas dari genggaman tangan. Dia amat merasa bersalah pada Emil karena telah memberikan kesaksian perasaannya. Entah apa yang barusan dirinya pikirkan hingga bertindak sejauh itu, tetapi yang dirinya rasa, dia patah hati dan ingin curhat atas perasaannya begitu dipancing oleh Emil.

Bagaimana pun, Hyejin adalah alasannya menjadi mo-ssol, jombo sejak dari rahim ibu. Begitu bertemu setelah sekian lama, justru Hyejin sudah bersuami. Memang benar mencoba mengikhlaskan, tetapi secara paradoks, Junho tak rela dan teramat patah hati.

Dada Junho pengap oleh sesak.

Sedangkan, Almira khusuk muraja'ah di kamarnya dengan duduk di sofa empuk yang ada. Dia menengok ke arah decitan daun pintu kala Emil masuk ke dalam dengan membawa dua cangkir wedang jahe madu yang masih mengepul.

Usai meletakkan dua cangkir wedang jahe madu, Emil duduk di samping Almira. Dia meraih Al-Quran yang diulurkan Almira begitu istrinya meminta bantuan untuk menaruhkan mushaf Al-Qurannya ke rak.

Kedua mata mongoloid Almira berpendar pancarona kala menangkap satu cangkir wedang jahe madu di hadapan. Aroma segar jahe yang ada menggodanya agar segera dirinya sesap. Tangan kanannya mengulur meraih cangkir, menyesap perlahan.

Emil yang sudah kembali, duduk termenung menatap Almira. Akibat pengungkapan cinta Junho, rasa cemburu hadir begitu saja. Rasa cemburu yang sebenarnya lebih baik tak perlu dirinya layani sebab Almira tidaklah mencintai Junho atau membuat perhatian lebih, dan Almira juga tidaklah tahu perihal perasaan Junho satu itu.

"Sayang," panggil Emil, langsung mengalihkan atensi Almira yang hendak menyesap wedang jahe madu, entah untuk kali keberapanya.

"Dalem, Sayang," sahut Almira dengan panggilan yang sama. Senyum manisnya merekah sempurna untuk Emil. Kemudian meletakkan cangkir pada meja untuk bisa fokus pada Emil yang sepertinya akan mengatakan sesuatu.

Namun, detik yang terus berlalu, Emil tak kunjung mengucap satu patah katapun. Emil justru bergeming menatap Almira yang nyaman mengenakan hijab floral. Sebelah tangannya menyentuh pipi Almira. Pikirannya kembali ingat akan kesaksiannya pada Junho perkara cinta kami sama-sama besar.

Emil tak kunjung mengucap sesuatu. Tangan kanan Almira menangkup punggung tangan Emil yang menempel di pipinya. Ikut menatap dalam mata kelam Emil penuh cinta, merasakan euforia bahwa dirinya sungguh seperti pengantin baru yang dimabuk asmara.

"Dek, Mas meriang," ungkap Emil, berhasil merubah raut muka Almira secara dinamis, cemas.

Almira melepas tangkupan tangannya. Sedikit menggeser pantat untuk lebih dekat dengan Emil. Memeriksa suhu tubuh Emil di kening beserta leher dengan tangan kanannya. Suhu tubuh suaminya ini normal.

"Mas meriang TBC," jelas Emil, melebarkan kedua mata sipit Almira.

"Tapi TBC-nya bukan tuberkulosis, Dek."

Almira sungguh dibuat bingung atas kesaksian Emil. Apa maksudnya TBC bukan tuberkulosis, bukankah dalam dunia medis hanya tuberkulosis sebagai singkatan dari TBC, atau adakah kepanjangan lain tanpa dirinya tahu?

"Lalu TBC apa, Mas?" Almira meminta kejelasan segera. Dia sudah amat khawatir. Menduga-duga lebih bahwa bagaimana jikalau TBC yang dimaksud adalah penyakit kronis.

Tekanan Batin Cemburu, sisi hati Emil menjawab demikian, tetapi dirinya sanggah dengan hendak menjawab varian TBC yang lebih baik.

Sebelah tangan Emil yang sedari Almira memeriksa suhu tubuhnya sudah dirinya lepas, beralih meraih lembaran tangan Almira yang menganggur, mengomando sebelah tangan Almira untuk menyentuh dadanya.

"TBC ... Tekanan Batin Cinta, Sayang," ledek Emil yang langsung membulatkan netra Almira.

Almira meninju dada Emil karena sebal dan gemas atas gombalan tersebut.

Tawa ringan Emil pecah. Almira masih gemas, tak hentinya meninju-ninju ringan dada bidang Emil.

Seketika, Emil lupa akan rasa kesal dan cemburunya atas pengungkapan cinta Junho. Toh, kenapa dirinya merasa kacau akan hal demikian, bukankah cintanya dengan Almira sungguh benar sama-sama besar dan Almira sudah dipilihkan Allah untuk mendampingi sisa hidupnya?

"Aku juga meriang TBC, Sayang."

"TBC apa, Sayang?"

"Tiba-tiba jadi Budak Cinta."

Almira tidak mau kalah. Ikut meledeki Emil.

Emil mencubit ringan cuping hidung Almira.

Ledekan terus berlangsung. Saking asyiknya, hingga melupakan wedang jahe madu dengan kepulan hangat yang kian melemah.

___________________

Hangeul: penyebutan nama alfabet Korea yang berjumlah 40 karakter.
Mo-ssol, singkatan dari kata mo-tae-sollo: jomblo sejak berada dalam rahim ibu / istilah jomblo sejak lahir (bhs slang Korea)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro