40. Perempuan Kuning Kunyit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Almira sempurna sembuh dari sakitnya usai memakan sekitar 6 bulan waktu proses pemulihan.

Ponpes Al-Anwar hendak menggelar agenda acara besar yang paling dinanti setiap tahun. Acara Haul Masyayikh, Khataman, dan Harlah.

H-10 acara digelar, para santri dan santriwati yang mengikuti khataman Al-Qur'an bil ghoib sedang melakukan semaan Al-Qur'an tunggal 30 juz sebagai persyaratan manggung. Sebelumnya, bahkan sekitar tiga bulan pra acara, seleksi untuk para calon santri dan santriwati yang mengikuti khataman juz amma, Al-Quran binnadhor, serta khataman kitab kuning, sudah melakukan proses seleksi ketat.

Tak hanya mereka, Almira juga ikut serta.

Bukan ikut serta menjadi peserta khataman ataupun seleksi, melainkan ikut serta disemak 30 juz secara tunggal.

"Kamu nggak percaya sujud baik buat kesehatan, Jun?" tanya Emil yang sedang duduk di sofa ruang keluarga dengan ditemani secangkir teh hijau yang tinggal separuh.

Waktu istirahat di tengah acara semaan Al-Qur'an menjelang waktu duhur tiba, Almira yang baru sampai ke ruang keluarga, melirik ke arah Emil yang bertelepon dengan Junho yang dihubungkan via handsfree.

"Belum, Bang. Coba jelaskan."

"Baiklah," sahut Emil seraya menengok ke arah Almira yang sedang beranjak duduk di sisinya.

"Sujud itu, selain jadi wujud totalitas penghambaan sosok manusia kepada Allah, juga memiliki manfaat amat besar bagi tubuh kita; yaitu dapat memperbaiki keseimbangan sistem saraf, khususnya eksitatori sama inhibitori neurons."

Seutas senyum singgah di bibir Almira mendengar penjelasan awal suaminya untuk Junho. Kedua tangannya yang membawa dua piring bambu berisi lemper dan lumpia, ditaruhnya di atas meja.

Sekarang, tepatnya setelah Junho menjenguk Almira di beberapa bulan lalu, Almira menyarankan Junho yang jika ada pertanyaan seputar Islam, ditanyakan saja pada Emil.

Emil pun setuju atas saran Almira. Dulu, walau awalnya sempat terjadi hal canggung antara Emil dan Junho pasca kesaksian perasaan Junho atas Almira pada Emil, itu tak menjadi kendala hubungan baik di antara mereka bertiga. Emil sudah menganggap itu sekedar hal lalu, dia memaklumi titik emosional Junho yang patah hati sebegitu dalam mendapati cintanya kandas begitu saja sebelum sempat Junho perjuangkan.

"Saat kita sujud, jantung jadi berposisi di atas otak. Karena gerakan ini, darah yang kaya oksigen mengalir semaksimal mungkin. Proses pembentukan dan sinapsis pun meningkat di antara begitu banyaknya sel saraf, milyaran. Otak jadi mendapat pasokan darah yang kaya oksigen, juga mendapat zat-zat nutrisi yang amat dibutuhkan otak, memicu kerja sel-sel otak secara maksimal."

Emil menghembuskan napas. Melirik ke arah Almira yang menawarinya lumpia dengan mengulurkan piring bambu berisi makanan khas Semarang yang konon katanya, berasal dari perkawinan masakan Tiongkok dan Jawa.

Rupanya, kudapan goreng satu itu menggiurkan Emil, sebelah tangannya mengulur untuk mengambil satu gulungan. Lantas berterimakasih pada Almira dengan pola bibir tanpa suara. Dijawab dengan ukiran senyum istrinya ini.

"Mudahnya, siapa saja yang rutin melakukan gerakan sujud, mereka akan membiarkan pembuluh darah mereka terlatih menerima pasokan darah, yang nantinya jadi terjamin adanya pemenuhan sistem saraf; seperti elektrolit, enzim-enzim, oksigen, neurotransmitter, pokoknya semua kebutuhan utama otak terpenuhi secara maksimal, efisien." Penjelasan Emil akhirnya utuh. Mulai menggigit lumpia yang sudah membuat kadar air liurnya meningkat.

Sama halnya dengan Emil, Almira mulai menggigit kudapan gurih yang ada dengan menyilingi menggigit cabai cigitan.

"Daebak! Penjelasanmu macam pakar neurosains, sampai-sampai aku nggak paham istilah-istilah rumit tadi, Bang."

Sempat-sempatnya, Junho meledek.

Junho adalah tipikal kepribadian introvert. Dulu, awal-awal kenal Emil, dia banyak kaku, tetapi seiring berjalannya waktu dengan hubungan baik yang kian terjalin, Junho menjadi semakin terbuka dan sesekali suka meledek.

"Bukannya berkomentar dengan terkagum sama fakta sujud dalam dunia medis, kamu malah milih meledekiku, Jun?" Sebelah alis Emil terangkat.

Sesaat ke depan, terdengar tawa renyah Junho.

"Aku jelaslah terkagum sama fakta sujud dalam dunia medis ini, Bang. Masya Allah sekali. Tanpa kamu tahu, aku udah muji-muji Allah dalam hati. Barulah tadi, aku tinggal terkagum sama kamu, Bang. Penjelasan kamu keren."

Emil melahap sisa lumpia di tangannya. Kepalanya menggeleng, Junho suka berlebihan memujinya, dia kurang nyaman dengan hal demikian.

Tak berselang lama, adzan dhuhur berkumandang sesaat sebelum sesi bertelepon Emil dan Junho selesai, serta Emil sempat menanyakan sesuatu pada Almira.

"Semaannya berapa juz lagi, Dek?"

"17 juz lagi, Mas."

"Semangat terus, Dek."

"Pasti, Mas."

***

Haul Masyayikh, Khataman, dan Harlah dimeriahkan dengan adanya ragam perlombaan digelar di pra seminggu acara. Mulai dari lomba untuk santri putra seperti adzan, futsal, dan bulu tangkis. Lomba untuk santri putri seperti memasak, menghias kamar, dan estafet air. Ada juga lomba untuk santri putra dan putri seperti lomba MTQ, MQK, hafalan nadzom-nadzom, khitobah, cipta puisi dan cerpen nuansa pesantren, hingga penciptaan logo acara--khusus untuk logo acara, diadakan jauh-jauh hari.

Tak hanya kemeriahan lomba yang khusus dinikmati para santri, bazar besar-besaran juga digelar selama tiga hari untuk bisa dinikmati masyarakat sekitar. Lapak-lapak bazar jugalah amat beragam; mulai dari pakaian, buku bacaan, mainan anak-anak dan aksesoris, kaligrafi, hingga aneka makanan. Gebyar sholawat juga akan digelar di H-1 acara khataman yang nantinya hendak ditutup dengan ziarah masyayikh Al-Anwar.

"Jadi kamu beneran mau ikut seminarnya sehari semalem aja, Mas?" tanya Almira yang sedang sibuk di walk in closet, memilihkan pakaian ganti untuk dibawa Emil ke acara seminar literasi digital di hotel Whiz Cilacap.

"Iya, Dek. Nanti sisanya diganti Kang Wahid. Mas udah tanya sekaligus izin ke panitianya, boleh," sahut Emil, dia sudah mulai bersiap, mengancing kemeja merah maroon motif abstraknya.

"Alhamdulillah, Mas," syukur Almira seraya menutup resleting tas selempang yang sudah siap dengan perbekalan Emil untuk mengikuti seminar.

Sesungguhnya, acara seminar literasi digital yang diselenggarakan Pusat Studi Pesantren dengan mengundang beberapa pengasuh pesantren sekitaran Ciamis, Cilacap, dan Jogja itu digelar 4 hari 4 malam. Namun, karena Emil dua hari lagi, memiliki kepentingan acara besar di pesantrennya, dia izin mengikuti seminar hanya sehari semalam dengan sisanya digantikan Kang Wahid, kepala pengurus pusat bagian media di Al-Anwar.

Siang kian matang. Kini Almira mencium punggung tangan Emil untuk melepas kepergian Emil.

Sesuai jadwal acara yang tertera langsung dalam undangan resmi PSP, pembukaan seminar akan diadakan sore hari sehabis salat ashar, jadi Emil berangkat di waktu ba'da duhur karena perjalanan ke tempat acara memakan waktu berkendara mobil sekitar satu jam.

Perjalanan lancar, walau cukup melelahkan. Emil segera beringsut check in usai menimpali sapa beberapa panita seminar di lobi hotel. Setelah mendapatkan cardlock, dia bergegas menuju kamarnya.

Baru saja cardlock-nya selesai membuka pintu kamar, atensi Emil tertuju pada seorang perempuan mungil yang sedang kebingungan di depan daun pintu tetangga kamarnya, merogoh saku gamis kuning kunyitnya berkali-kali.

Kening Emil mengerut samar. Dia terka, perempuan kuning kunyit itu kehilangan cardlock-nya.

Perlahan, edaran mata Emil menelisik ke belakang, meniti jeli sekitaran lantai. Menemukan lebaran tipis cardlock tergeletak di lantai radius 5 meteran dari arahnya.

Tanpa menunggu banyak waktu, Emil beralih membawa kakinya melangkah mengambil cardlock itu. Kembali dengan hati-hati mendekati perempuan kuning kunyit yang kini sedang termenung membelakanginya yang barangkali tengah mencoba mengingat-ingat perihal di mana cardlock miliknya.

"Assalamualaikum," sapa Emil dengan penuh kehati-hatian.

Perempuan kuning kunyit itu tampak kaget. Dia segera berbalik, menjawab salam Emil dengan canggung.

"Wa'alaikum salam ...."

Diawali hela napas, perempuan kuning kunyit menyelidik, "Ngapunten, enten nopo nggeh, Mas?"

(Maaf, ada apa ya, Mas?)

Bukan menjawab, Emil justru termangu. Mendadak dia lupa akan cardlock yang berada dalam genggaman tangan. Atensinya tertuju penuh pada wajah perempuan mungil di hadapan. Wajah itu berhasil menjadikan dada Emil berdesir hebat.

Ah ya Allah, Emil sulit mengaku atas perasaannya yang mendadak hadir perihal melihat wajah perempuan itu.

Perempuan kuning kunyit ini, kenapa begitu mirip dengan Asma?

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro