41. Dejavu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika dijabarkan, bagaimana perasaan Emil kala kali pertama melihat wajah perempuan kuning kunyit yang mirip Asma, Emil hendak menjawab jujur bahwa dia terlampau kaget dan kurang percaya.

Ezzah, itulah nama perempuan kuning kunyit itu yang secara kebetulan adalah salah satu peserta seminar Halaqah Literasi Digital yang digelar PSP. Emil mendengar secara seksama nama itu di tadi sore, saat acara pembukaan seminar, salah satunya adalah berisi pengenalan diri.

Ezzah, perwakilan dari salah satu pesantren salaf di Purbalingga, menggantikan pengasuh pesantrennya karena tidak bisa hadir.

Ezzah, perempuan ini yang Emil terka, usianya kisaran umur Almira.

Sepuluh menit sebelum waktu maghrib, sesi pembukaan acara selesai. Emil kembali ke kamarnya, berjalan bersama beberapa teman baru dengan sebagian yang lain sudah dikenalnya cukup lama. Sempat melihat Ezzah dengan temannya bercakap ringan sebelum memasuki kamar. Tidak ada drama lagi perihal cardlock terjatuh tanpa sadar yang menjadikan mereka berdua bertemu. Tanpa saling bersapa, Emil lebih dahulu memasuki kamar.

Mas, gimana pembukaan seminarnya, lancar?

Sudah makan sore belum?

Mas, Kang Wahid malah sakit. Asam lambungnya kambuh. Sekarang lagi dirawat di klinik. Jadi besok seminarnya mau diganti siapa?

Kata demi kata dibaca Emil dalam benak. Jemarinya membalas pesan Almira dengan bibir tersinggung senyum. Dia merindukan Almira.

Memang, sekarang dirinya tengah dipertemukan dengan sosok mirip Asma. Tetapi bagaimana pun, sosok itu bukanlah Asma. Emil memiliki Almira sekarang, pertemuannya dengan Ezzah tak berarti apa pun untuknya. Emil berjanji, kesalahan yang sama tak akan pernah terulang lagi.

***

Pusat Studi Pesantren atau Center for Pesantren Studies adalah sebuah lembaga nirlaba yang didirikan oleh KH. Achmad Ubaidillah. Sebuah lembaga yang menjadi wadah memproseskan kajian dunia kepesantrenan secara luas, moderat, dan terbuka. Kegiatan yang diselenggarakan PSP sangat beragam; mulai forum interfaith, seminar offline, webinar, hingga talkshow.

Di era digitalisasi, literasi digital di kawasan pesantren amatlah penting untuk perkembangan dakwah yang ada. Itulah mengapa, PSP membuat seminar tentang pergerakan menghidupkan hal tersebut dari kota ke kota untuk menjangkau banyak pesantren di sekitarnya. Dengan berkembang pesatnya teknologi internet, ragam informasi mudah disebar, menjangkau orang-orang dengan lebih luas, memudahkan dalam berdakwah sekaligus menjadi tantangan besar dalam hal mengaplikasikan penggunaan konten dakwah.

Halaqah Literasi Digital yang dilaksanakan selama 4 hari 4 malam ini akan diisi dengan beragam materi seputar dakwah dalam dunia digital seperti membuat artikel, vlog, video opini, hingga film pendek yang akan diisi langsung oleh pakar dalam bidangnya, serta mempraktikkannya langsung secara perorangan maupun kelompok.

Malam yang penuh bintang, usai sesi istirahat di waktu maghrib penuh, setelah salat isha, Emil dan yang lain kembali ke ruang seminar untuk mengikuti materi pertama tentang membuat artikel.

Dalam sesi membuat artikel yang diisi oleh salah satu editor dari situs dakwah Iqro.id yang menjadi media partner PSP, para peserta diajari perihal kaidah-kaidah membuat artikel, hingga cara menulis menggunakan tata bahasa yang benar sesuai KBBI dan PEUBI. Berakhir waktu seminar malam selesai saat jam 10 malam tiba.

Emil tidak langsung tidur begitu acara seminar di malam pertama selesai, dia menyempatkan mengerjakan tugas membuat artikel tentang ulasan kitab.

Emil yang kini mengenakan kaos putih polos tampak fokus dengan sesekali membenahi letak kaca mata kotaknya, kembali menatap layar laptop dengan jemarinya cekatan bergerak mengetikkan kata demi kata yang ada dalam pikiran. Dia memilih membuat ulasan artikel kitab Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam karya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani, berisi kumpulan hadits yang disusun berdasarkan tema fikih Islam.

Sesekali Emil menilik WhatsApp Web, menunggu pesan Almira yang katanya hendak mengirim beberapa foto gladi resik khataman yang sedang digelar di malam ini. Namun, Almira tak kunjung online, barangkali Almira akan mengirimkannya nanti, setelah acara gladi resik selesai yang biasanya rampung kisaran pukul 11 malam.

Mas, besok kita masak ini, yuk!

Emil membaca pesan Almira yang sudah sempat dibacanya sedari hendak berangkat seminar malam. Membuka tautan reel Instagram yang sesungguhnya sudah dirinya lihat. Menonton kembali postingan itu, berisi konten membuat Suodiu, tumis batu khas masakan China, lolos membuatnya tersenyum gemas atas polah Almira yang menginginkan memasak Suodiu.

"Alih-alih menumis batu, Mas lebih bersemangat buat oseng cumi buat kamu, Dek," komentar Emil dengan wajah berbinar gemas.

Entah sedang bercanda atau serius, polah Almira memang kadang-kadang begitu random. Adakalanya, Emil tak habis pikir dengan polah Almira yang demikian, tetapi Emil suka.

Menghempas napas, Emil mengalihkan fokus untuk melanjutkan menulis artikel.

Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda, Almira baru saja pulang dari gladi resik. Selama acara gladi resik khataman, semuanya berjalan lancar, sempurna sesuai apa yang diharapkan. Semoga acara khataman Al-Anwar akan kembali sukses seperti di tahun-tahun sebelumnya.

Walau tubuhnya lelah, tetapi perasaan yang ada begitu riangnya memenuhi hati Almira. Begitu sampai kamar, dia langsung fokus dengan ponselnya untuk segera mengirim beberapa foto dan video durasi pendek pada Emil.

Banyak foto dan video yang Almira kirimkan, dia juga menyertakan voice note perihal komentarnya tentang gladi resik khataman. Ditutup mengirimkan swafotonya bersama Ummi Wardah.

Mas, aku mulai telat datang bulan. Jangan-jangan aku hamil, Mas.

Almira mengetik demikian dengan ditambahkan emoji kedua mata berbinar membentuk hati.

Namun, Almira ragu-ragu dengan pesan tersebut. Rencananya, setelah khataman dan libur panjang Al-Anwar, mereka berdua hendak liburan ke Maroko. Dia menjadi terpikir untuk melakukan tes mandiri dahulu dengan test pack untuk kemudian jika hasilnya positif akan dikabarkannya saat berada di Al-Maghrib Al-Aqsa, mungkin saat mereka berdua dalam perjalanan menuju pemukiman Suku Berber dengan menunggang unta.

Seutas senyum singgah di bibir Almira, jemarinya menghapus pesan tersebut. Beralih membuka pesan lain yang sudah masuk beberapa saat lalu.

Almira membuka pesan masuk dari Kirana, sosok teman yang dirinya berkenalan saat mengikuti lomba MHQ di Semarang. Kirana tetangga kamar asrama, kebetulan masih satu sub lomba, berasal dari Banyumas.

Assalamualaikum.

Mbak Al, aku lagi di Cilacap Kota nih. Cilacapnya kamu di mana? Deket nggak sama Cilacap Kota?

Aku lagi ikut halaqoh literasi digital di hotel Whiz. Aku pengin mampir kalo seminarnya udah selesai. Hehehe.

Kirana bukan hanya mengirim pesan teks, dia juga menyertakan satu swafoto bersama perempuan lain.

Membaca isi pesan Kirana, Almira langsung paham bahwa Kirana mengikuti acara seminar yang sama dengan Emil.

Tanpa membalas pesan dahulu, Almira menatap swafoto yang dikirim Kirana dengan seksama. Dan ... rekahan bibirnya lambat-lambat memudar kala melihat jelas dengan siapa Kirana berselfi.

Bukan perkara Almira kenal dengan seorang perempuan yang memakai gamis kuning kunyit dalam satu bingkai foto tersebut, melainkan Almira terpaku akan wajah sosok itu, wajah yang menjadikannya seperti dejavu saat menatap senyum kalem yang ada.

Dejavu sebab senyuman kalem perempuan bergamis kuning kunyit sama persis dengan cara senyum istri pertama Emil.

Ah, Ya Robbi, seketika Almira cemas dengan bagaimana perasaan Emil kala bertemu perempuan satu ini.

Dada Almira berdesir ngilu.

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro