42. Cemburu Buta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Almira sadar bahwa akhir-akhir ini dirinya berlebihan, tetapi tak memungkiri kalau dia tak kuasa untuk tidak menaruh curiga.

Begitu Emil pulang dari seminar, banyak pertanyaan yang ingin Almira lontarkan pada Emil. Namun, hanya sebagian yang dirinya realisasikan dengan seputar pertanyaan ringan seperti bagaimana keseruan mengikuti Halaqah Literasi Digital atau apa saja yang dilakukan di sana.

Terlepas dari itu, inti pertanyaan di otak Almira yang sejujurnya adalah tentang perempuan bergamis kuning kunyit. Dia ingin sekali bertanya tentang bagaimana perasaan Emil kala bertemu perempuan itu dan apakah Emil memiliki perasaan lebih pada perempuan itu yang mirip Asma.

Tak ada keberanian atas mengungkapkan segala penat pikiran, Almira mencoba memendamnya sedemikian walau tak dipungkiri, dirinya dipenuhi berbagai prasangka.

Hari terus berlalu. Acara Haul, Khataman, dan Harlah berjalan lancar. Pembubaran panitia baru saja digelar, ditutup dengan ucapan hamdalah.

Malam yang matang dengan bulan sabit tergantung indah di langit kelam, Almira yang mengenakan peignor putih sedang menyisir rambut panjangnya dengan kedua mata mongoloid menatap pantulan cermin di hadapan, tepatnya mengeja Emil yang sedang berjalan ke arahnya.

Semenjak Almira sakit, banyak kebiasaan baru yang Emil lakukan untuk Almira, salah satunya adalah menyisir rambut. Dan kebiasaan itu masih langgeng hingga kini, Emil mengambil sisir di tangan Almira, meneruskan ajang menata surai hitam istrinya.

Almira mengamati suaminya yang telaten melakukan ajang menyisir. Dia kerap menyukai aktivitas satu ini, tampak sepele, tetapi justru hal sepele demikianlah yang menjadikannya candu sebab tak semua suami mampu melakukannya.

Jikalau membahas seberapa besar Emil memberikan perhatian untuknya, Almira tak akan pernah ragu menjelaskan bahwa Emil memberinya perhatian lebih dari yang dirinya kira.

Emil tipe lelaki yang rela mengorbankan apa pun untuk orang yang disayangi. Terlihat jelas kala Almira sakit panjang pasca bencana tsunami, Emil merawatnya dengan sedemikian baik tanpa mengeluh. Bahkan saat awal-awal menikah, pengecualian dari sikap kaku yang ada, perhatian Emil tak pernah diragukan.

"Mas," panggil Almira, langsung mengalihkan atensi Emil.

"Iya, ada apa, Dek?" Emil menatap semringah wajah Almira lewat pantulan cermin.

Almira bergeming. Dia ragu untuk menanyakan sesuatu, tetapi dia sadar bahwa terlalu berat untuknya terus menanggung prasangka, dia menginginkan kejelasan agar tak lagi berkabung dalam hal-hal yang belum pasti kebenarannya.

Namun, lagi dan lagi, Almira tak kuasa bertanya. Dia memilih membahas topik lain, hingga ajang menyisir rambut selesai, Emil sibuk bebersih diri sebelum tidur.

Ponsel Emil menarik perhatian Almira kala beranjak duduk di pinggiran petiduran. Dia mengulurkan tangan, mengambil ponsel bercasing hitam yang ada, menilik sesuatu.

Atas prasangka yang mendera, Almira kerap diam-diam memeriksa ponsel Emil. Dia mengeja teliti semua isi ponsel Emil, berharap menemukan sebuah petunjuk perihal hubungan Emil dengan Ezzah.

Selalu sama, Almira tak menemukan apa pun yang mencurigakan. Tidak ada foto wanita lain yang tersimpan selain foto dirinya dan Ummi Wardah, tidak ada video berdurasi pendek tentang seminar kemarin yang menampilkan Ezzah, tidak ada kontak nomor bernama Ezzah atau nama mencurigakan, tidak ada pesan aneh-aneh di WhatsApp maupun di beberapa medsos milik Emil. Bahkan memeriksa kotak sampah di galeri, tidak ada apapun, hingga dirinya mendownload aplikasi file recovery, sama saja tak ada apa-apa yang bisa memberikannya alibi untuk menuduh Emil yang tidak-tidak.

Almira beristighfar dalam benak. Dia merasa bersalah sebab mencurigai suaminya yang bukan-bukan, padahal dia paham betul bagaimana karakter Emil yang tak mudah mencintai seseorang begitu saja. Dia terlalu pendek menduga. Bukankah sekedar mirip dari orang yang dicintai, tak mampu menjadikan Mas Emil-nya jatuh hati?

Kelereng mata Almira memanas. Sekalipun dia berasumsi demikian, nyatanya tak bisa menghalau rasa cemburunya yang bergelora.

Dia cemburu sebegitu dalam pada Asma. Dia ingin menjadi satu-satunya wanita yang dicintai Emil sedemikian hebat, tetapi dirinya bisa apa. Dia tetaplah istri kedua, mendambakan hal demikian hanyalah sebuah fatamorgana. Dari awal, dia sudah berani menjadi istri kedua Emil, maka beginilah konsekuensinya.

"Ah ya Allah, kekanakan banget kamu, Al."

Bibir Almira mencoba tersenyum. Memang, kekanakan nian dirinya ini, berakhir tertawa ringan dengan terpaksa. Kembali berselancar di ponsel Emil.

Setelah banyak upaya, Almira tetap tak menemukan apa pun perkara Ezzah, justru dia menemukan sesuatu yang begitu manis.

Sesuatu melebihi manisnya madu. Almira menemukan potret dirinya yang diam-diam diambil oleh Emil dengan berbagai angle. Lolos menjadikan hati Almira yang sempat meranggas kembali berbunga-bunga.

Namun, tak berselang lama, rasa cemburu kembali mengendalikannya. Almira menaruh ponsel Emil ke atas nakas. Dia mencoba mengolah emosi yang membara. Cemburu berlebihan seperti ini amatlah menyakitkan, jika terus dipelihara, pasti akan berdampak buruk.

Dia menjadi teringat kisah-kisah Sayyidah Aisyah yang sering cemburu pada almarhumah istri pertama Rasulullah SAW, Sayyidah Khadijah. Cemburu sebab beliau kerap menyebut nama Khadijah binti Khuwailid, menceritakan akhlak terpujinya, hingga mengenang momen bersama yang telah dilalui.

Asiyah RA pernah berkata, "Tidaklah aku cemburu kepada salah seorang istri-istri Rosulullah SAW sebagaimana kecemburuanku terhadap Khadijah, padahal aku belum pernah melihatnya."

Ah, perempuan memang pencemburu, ini sudah diturunkan dari zaman Nabi Adam AS dan Siti Hawa; di mana Siti Hawa bahkan pernah cemburu kepada Nabi Adam AS karena pulang larut malam, padahal beliau sadar bahwa tidak ada wanita lain selain dirinya.

Almira hanyut oleh perasaannya, melamun dalam hingga kala Emil datang dengan wajahnya yang masih basah oleh sisa air wudhu, dia tidak sadar.

"Lagi mikirin apa, Dek?" selidik Emil, menyinggahkan pantatnya di samping Almira.

Cukup kaget, Almira menengok ke arah Emil.

Kening Emil tampak sedikit mengerut begitu menemukan wajah Almira yang sendu dengan bola mata mengembun.

"Kamu kenapa, Dek?" selidik Emil, ekpresinya secara dinamis berubah khawatir.

"A-aku nggak kenapa-napa kok, Mas. Cuman ngantuk," alasan palsu Almira seraya berpura-pura menguap, ditutupnya menggunakan sebelah tangan.

Melupakan niat hendak daimul wudhu hingga terlelap tidur, kedua tangan Emil menangkup wajah Almira.

"Nggak usah berdalih, Mas tahu mana air mata karena menguap dan karena sedih," jelas Emil agar istrinya itu mau mengaku, "Katakan. Ada apa, hm?"

Bukan langsung menjawab, Almira justru bergeming menatap Emil dengan kedua matanya kian mengembun dan nyaris tumpah.

"Kenapa? Apa ada masalah? Jangan dipendem sendiri, Dek."

Suara bariton Emil mampu menjadikan cairan bening yang ditampung oleh kelopak mata Almira begitu kuatnya, akhirnya mengalir. Almira sudah tidak tahan. Dia ingin segera meminta kejelasan atas semua prasangka yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.

"Kamu nggak punya rasa spesial sama Mbak Ezzah 'kan, Mas?" tanyanya kemudian, lolos menjadikan Emil melebarkan mata.

________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro