Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumah yang ditinggali Stella dan William sangat sederhana, rumah itu didominasi dengan bahan kayu dan posisinya sedikit tinggi dari tanah, pagarnya begitu rapat dan tiangnya kokoh ibarat tidak akan ada seorang pun yang mampu mengintip kehidupan di dalam sana. Rumah yang sengaja dijadikan William sebagai tempat persembunyian sedikit jauh dari pusat Rotorua.

Untuk mencapai tempat membeli makanan atau fasilitas umum, mereka harus melewati jalan setapak dengan pepohonan Californian Redwoods yang menjulang tinggi ingin meraih awan. Tidak ada suara mesin kendaraan seperti di pusat kota dengan polusi yang membuat pusing, justru di sini hanya suara burung-burung yang saling bersahutan dengan angin yang menggoyangkan dedaunan. Berulang kali hidung lancipnya menghirup aroma di sekeliling, kombinasi bau tanah yang basah dan pohon-pohon menciptakan bebauan yang menentramkan. Ini mengingatkan dirinya pada habitatnya dulu di sekitar sungai Gordon.

Stella meletakkan tas ransel di sofa lalu melangkah menyusuri setiap sudut rumah. Hanya terdapat dua kamar dengan kasur berukuran standar, satu dapur dengan meja makan berukuran kecil, satu kamar mandi, ruang tamu dengan perapian dan kursi sofa berbahan beludru. Semuanya masih tertutupi dengan plastik besar yang terlihat berdebu membuat Stella terbatuk-batuk. Sungguh dia tidak suka dengan kebiasaan manusia seperti ini.

William muncul dari kamar utama di sisi kanan rumah itu. Dia meletakkan dua pistol, tiga belati berbahan perak, bawang putih, dan sebotol air di atas meja ruang tamu. Untungnya dia menyimpan senjata api yang diturunkan dari kakeknya untuk berburu hewan saat masih kecil. Melihat itu Stella menaikkan sebelah alis seraya berkata,

"Apa kau akan memasak bawang?" tanya Stella. "Jika bawang kau gunakan untuk membunuh vampir, maka itu tak kan mempan, William."

William salah tingkah lalu mengambil bawang itu dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Gadis bermata lentik itu tertawa. "Mereka hanya bisa terbunuh dengan senjata perak atau kau bisa mencabut jantungnya. Bahkan air suci yang diberikan Dewa pun kadang tidak mampu untuk membunuh mereka."

Membayangkannya membuat isi lambung pria tua itu bergejolak, tapi Stella mengatakannya begitu santai tanpa beban. Lalu William duduk di atas sofa beludru abu-abu usai menarik plastik yang menutupi, menerbangkan butiran debu halus hingga dia terbatuk-batuk. Ditatap Stella seraya menyuruh gadis itu ikut duduk. Dia berdehem sejenak mengatur napas setelah berjalan kaki melewati jalan setapak di hutan ini. Mungkin dia harus sering jalan-jalan pagi untuk melatih sendi di kaki, pikir William.

"Mulai hari ini, perjalanan hidupku atau hidupmu akan berbeda, Stella," ujar William terdengar serius. Dia mengembuskan napas panjang lalu berkata, "Apa yang kusembunyikan sekarang akan ada risikonya, entah aku atau kau yang tewas nanti. Sejak bertemu vampir kemarin, aku baru sadar bahwa di dunia ini tidak hanya manusia yang benar-benar manusia."

"Ya, kau pasti sudah paham dengan ceritaku kemarin." Stella bersandar pada sofa yang terasa begitu nyaman di punggung.

William mengangguk. "Untuk itu, aku akan membuatkanmu ramuan yang kuciptakan sendiri ... ehm ... lebih tepatnya dari sebuah buku kuno yang kudapat di perpustakaan di pusat kota Hobart beberapa hari lalu. Rasanya mungkin tidak enak tapi dengan ramuan itu kau bisa menyamarkan identitas aslimu terutama warna matamu. Setelah selesai, namamu akan berganti sesuai dengan nama belakangku."

"Kenapa?"

"Untuk menghilangkan jejak, Stella. Masih untung hanya dua vampir yang mengetahui siapa kau sebenarnya. Bagaimana jika ada sepuluh atau seratus? Apa kau sanggup melawan mereka?"

Stella terdiam entah harus mengangguk atau menggeleng.

"Di sini, kau akan mengganti semua identitasmu. Kau akan belajar kehidupan manusia dan mungkin cara bertarung."

"Bertarung? Bagaimana mungkin jika aku melatihnya denganmu, William. Yang ada kau akan cepat tewas," ketus Stella tak setuju.

"Bukan denganku. Aku terlalu tua untuk bertarung denganmu. Kau bisa melatih instingmu di hutan ini."

Sebenarnya William masih ragu apakah dia sanggup untuk melepas Stella ke kehidupan manusia di luar dengan senjata yang masih terbatas. Untuk membeli senjata pun rasanya tidak mungkin mengingat tidak ada ijin khusus yang dimiliki olehnya. Mereka terdiam cukup lama, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Apa kau memiliki ide bagus tentang namaku? Jessica? Miranda? Ashley?" usul Stella. "Identitas berarti mengganti nama bukan?"

"Iya ... ehm ... Federica," jawab William. "Federica Dawson. Kurasa itu cocok denganmu."

Stella tersenyum lebar dengan iris mata yang berbinar terkena cahaya matahari. "Hm ... Federica? Kedengarannya bagus, aku suka."

William mengangguk senang. Stella menatap kedua mata William dengan sejuta pertanyaan. " William," panggilnya, "bisakah aku meminta sesuatu kepadamu?"

"Tentu saja," jawab William dengan alis berkerut.

"Aku memang bisa berbicara bahasa kalian meski masih banyak istilah aneh yang belum kudengar. Tapi, aku tidak mengerti huruf-huruf yang manusia tulis. Apa kau mau membantuku?"

Pria tua itu mengangguk sambil menyunggingkan senyum lebar hingga menampakkan kerutan di wajahnya. "Tentu, Stella ... ehm ... maksudku Federica Dawson. Kau akan mempelajarinya."

####

Keheningan malam di belantara Whakarewarewa semakin terasa dengan aroma lembap dan udara dingin yang menusuk kulit. Stella duduk bersila di depan perapian seraya memangku dan melihat lembar demi lembar buku kuno tentang makhluk-makhluk mitologi supranatural yang dibawa William dari perpustakaan. Meski belum bisa membaca, Stella dibuat kagum dengan manusia yang bisa merangkum hampir semua makhluk supranatural dalam satu buku tebal.

"Jika dulu kami memiliki buku ini, mungkin kaumku tidak akan musnah," gumam Stella seraya mengelus sebuah gambar di mana seorang vampir sedang ditusuk oleh seorang manusia dengan kayu. "Bahkan dari gambar ini, aku bisa tahu manusia memiliki cara untuk membunuh mereka yang jahat."

Lalu, William datang sambil membawa dua cangkir yang mengepul panas. Hidung lancip gadis berambut kemerahan itu mengendus aroma minuman lalu bergidik ngeri. Sejenak dia menelan ludah dan berpikir apakah sanggup menelan ramuan aneh yang dibuat oleh William.

"Apa kau sudah selesai membaca?" goda William.

"Tidak. Bahkan aku tidak memahami apa yang manusia tulis, aku hanya memahami dari gambarnya. Kalian cerdas," puji Stella. "Jika dulu saat klanku masih hidup dan memiliki buku ini, kami tak kan terbunuh begitu saja, William."

Pria tua yang berkacamata tebal itu duduk di samping kanan Stella lalu menyerahkan cangkir minuman dari tangan kanannya. Tangan Stella terulur menerima cangkir dan seketika menjulurkan lidahnya merasa aneh dengan warna minumannya. Hitam tak hitam, cokelat tak cokelat. Stella tidak bisa mendefinisikannya.

"Waktu tak kan bisa berputar kembali, Stella. Aku yakin klanmu punya tempat terindah di langit."

"Kuharap. Ehm, haruskah aku meminumnya?" tanya Stella ragu melihat isi cangkir itu. "Bagaimana jika aku mati lagi?"

William tertawa lebar sambil mengedikkan bahu lalu berkata, "Jika kau ingin diserang vampir, silakan. Aku tak melarang, hanya saja masih banyak teka-teki yang harus ditemukan, Stella ehm maksudku Federica."

Kepala gadis itu mengangguk membenarkan perkataan William. Sejenak dia memandangi wajahnya yang terpantul di atas minuman itu. Iris matanya memang tidak dapat dibohongi terutama jika dilihat oleh para vampir. Stella menghela napas berat lalu memejamkan kedua mata sambil meneguk minumannya, dia berharap efek yang akan timbul tak terlalu buruk.

Ketika minuman dengan paduan pahit dan anyir menyapu setiap sisi lidah Stella menimbulkan sensasi mata rasa untuk beberapa saat. Bahkan saat cairan itu menuruni lambung, otomatis organnya seakan menolak. Tapi, otak Stella memerintahkan untuk menahan cairan yang kini merangkak ke kerongkongannya.

Satu

Dua

Tiga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro