Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oh, astaga!" seru Stella setelah menghabiskan minuman yang dibuat William. "Rasanya aneh. Sungguh aku ingin mati saja!"

William tertawa terbahak-bahak memegangi perut hingga air matanya keluar. "Ya, aku bakal tahu kau akan mengatakan hal itu, Fed."

"Apa saja yang kau masukkan ke sini? Rasa pahit, manis, dan anyir seperti gerbang kematian yang terbuka di depan mataku," ujar Stella menjulurkan lidahnya saat rasa yang kuat itu masih menyelimuti indra pengecapnya.

"Swamp Spanish Oak, kayu pink oak yang langka yang lumayan pahit. Ada rasa manis yang berasal dari thunder cinnamon dan sea clary. Itu membuat aroma tubuhmu menjadi netral seperti manusia," jelas William. "Sepertinya aku juga menambahkan beberapa rempah."

"Tapi, ada rasa anyir juga. Kau tak membunuh hewan, kan?"

Lelaki itu menggeleng, menampilkan barisan giginya yang masih rapi meski usianya tidak lagi muda. "Tidak. Itu dari redbrush, tanaman liar yang kudapatkan susah payah. Lagi pula, kau tidak harus meminum sesuatu yang melebihi rempah-rempah yang kutemukan dari Indonesia. Di sana lebih pahit dari yang kau bayangkan."

"Ah, aku benci jika harus minum itu lagi," protes Stella kesal. "William, kenapa kau bisa membuat ini ketika dirimu tidak mempercayai dunia kami?"

"Sebenarnya, aku seorang guru sekolah dasar yang sedang belajar demeterology secara mandiri."

"Apa itu?"

"Ilmu yang mempelajari bagaimana membuat ramuan untuk makhluk supranatural," jawab William. "Pasti kau beranggapan aku pria tua aneh yang belajar ilmu itu tapi tidak percaya dengan adanya makhluk supranatural. Tapi, setidaknya ... buku itu berguna."

"Bukankah harusnya kau memiliki buku itu sendiri? Kenapa harus bersusah payah mencari di perpustakaan?" tanya Stella.

William menaikkan letak kacamatanya yang sedikit turun, membelai sebentar janggut yang mulai memanjang itu seraya berkata, "Ah, pertanyaan bagus. Aku juga lupa jika memilikinya di ruang bawah tanah. Semua akibat vampir yang menyerang kita."

Gadis itu tertawa dengan sifat pelupa yang dimiliki William, sepertinya dia beranggapan bahwa manusia memiliki kelemahan terbesar terhadap daya ingat yang menurun seiring pertambahan usia. Sangat berbeda dengan hewan yang masih memiliki ingatan tajam meski usianya telah dimakan oleh waktu. Mungkin karena hewan mampu menyimpan memori berdasarkan dari aroma tubuh yang pastinya berbeda-beda.

Tiba-tiba ada perasaan aneh yang mulai menjalari tubuh kecilnya. Stella merasakan rasa nyeri di setiap tulang lalu muncul keringat berwarna kehijauan membasahi tubuh seperti sedang mandi di dekat sumber mata air panas dengan gletser. Beberapa saat napas gadis itu tersengal-sengal merasakan dadanya seperti terimpit batu, kepalanya berputar-putar seolah tubuhnya sedang dibolak-balik oleh bumi tanpa mengenal gravitasi. Stella berteriak ingin mengeluarkan isi perutnya yang begitu melilit seakan menghancurkan setiap sel tubuh dari dalam.

William bergerak mundur membiarkan efek ramuan pelindung itu bekerja pada tubuh Stella. Dia sendiri sebenarnya takut apa yang bakal terjadi di setiap menit, saat melihat gadis itu berteriak begitu nyaring memenuhi area rumah. Bahkan dia merasakan kedua lututnya melunglai, hanya saja otak William memaksa untuk menatap reaksi yang terjadi untuk dicatat ke dalam buku.

Ah, hati kecil pria tua itu tidak tega jika terus-menerus melihat Stella, harusnya William tidak memberikan minuman buatannya. Bukankah menutup warna mata si gadis rubah bisa menggunakan softlens? Dan menghilangkan aroma tubuh dengan menyemprotkan parfum banyak-banyak? Ah, harusnya dia melakukan itu, pikir William.

Stella semakin berteriak sekuat tenaga hingga guratan nadi di leher gadis itu tercetak jelas, bersamaan dengan kulit putih pucat berubah menjadi sisik ular diiringi munculnya bulu-bulu rubah yang saling berdesakan memenuhi tubuh. Kedua matanya menyala, gigi taring dan kuku jemari lentiknya ikut memanjang, diikuti pula ekor rubah yang muncul dari belakang, tak luput pula mulut yang berubah bentuk menjadi moncong dengan lendir yang menetes ke lantai.

Gadis itu menggeram, tubuhnya kembali menjadi rubah secara utuh dengan dua sisi kulit yang berbeda. Sisi kanan bersisik hijau-kehitaman yang begitu berkilau, sedangkan sisi kiri berbulu oranye. Sayangnya, lidah Stella lebih mirip dengan lidah ular yang menjulur-julur di antara gigi-gigi taringnya yang siap menerkam mangsa.

William begitu terkejut dengan wujud Stella yang lebih pantas dipanggil monster. Dua bola mata dengan warna berbeda yang menunjukkan bahwa gadis itu seorang berdarah campuran. Mata kirinya berwarna hijau zamrud sedangkan mata kanannya berwarna oranye keemasan.

Stella kembali mengaum, bergerak menuju perapian dan menatap api yang bergerak-gerak seperti bahagia menyambut perubahannya. Lalu dia mendongak ke sisi kanan, memandang sosok lelaki tua yang masih mengamatinya dengan wajah takut. Dia memasang ancang-ancang layaknya hewan yang terusik, menggeram hendak menyerang William bagai mangsa yang siap santap.

"Ini aku, Stella ..." lirih William hampir menahan napas.

Stella seperti tidak mengingat siapa yang telah memberinya naungan untuk berlindung. Dia menerkam William hingga tubuh pria itu ambruk membentur lantai. William yang sudah siap untuk jatuh ke jurang kematian yang dibuatnya sendiri, mendadak terpaku kala Stella pergi dari rumah dalam wujud mengerikan serta mengabaikan manusia yang bisa saja mengisi perut.

Cepat-cepat, William mengejar Stella sekuat tenaga dengan membawa selimut dan senter, sayangnya kekuatan hewan berdarah campuran itu tidak sebanding dengan tubuh renta apalagi tubuhnya belum benar-benar pulih pasca kecelakaan itu. Napasnya memburu, menyisakan kepulan asap akibat suhu yang turun dengan cepat di sekitar hutan. Disorot area jalan setapak dengan lampu senter, mencari-cari jejak kaki Stella. Sayangnya, William tidak pandai membaca jejak apalagi di belantara ini.

"Stella!" teriak William di antara keheningan Whakarewarewa, berjalan cepat tanpa tahu arah.

###

Sementara itu, tubuh si gadis rubah kini berlari tuk mencari-cari jejak klannya, mengendus-endus aroma tanah yang tertutupi oleh batang serta akar pohon yang menjulang tinggi seperti kurungan besar. Sesekali dia menengadahkan kepala, memandangi cahaya bulan purnama yang sama persis dengan kejadian terakhir yang memusnahkan seluruh klannya. Di antara keputusasaan itu, dia kembali mengaumkan suaranya begitu pilu walau mungkin tidak ada makhluk yang akan mendengarnya.

Diamati kaki depan sebelah kanan, terlihat menjijikkan dan berbau lendir membuatnya muntah. Sementara kaki depan kirinya berbulu rubah. Beberapa saat, dia merasakan tubuhnya berubah lagi. Seketika, Stella berlari mencari semak-semak agar tidak terlihat oleh orang lain.

Tubuh berbulu dan bersisiknya mulai berganti menjadi kulit manusia. Namun, yang membuatnya sedih adalah aroma tak sedap yang ditimbulkan oleh sisik ular. Bersamaan itu pula moncongnya menciut dan berubah ke bentuk semula. Dia menegakkan diri di antara semak belukar, tubuh telanjang dengan rambut ginger yang terurai menutupi punggung.

"Sekarang, bagaimana aku bisa kembali dengan kondisi memalukan ini?" gumamnya sambil mengintip berharap William menyusulnya.

Hingga satu jam lamanya, sosok pria tua yang sudah membuatkan ramuan itu tidak kunjung muncul. Stella juga menyesal mengapa harus keluar rumah, tapi dia tidak tahu jika saat berubah bisa menghilangkan sisi kemanusiaannya.

Suara ranting yang terinjak, membuat gadis itu terkesiap menutupi dada. Dia menundukkan diri, saat mendapati sesosok manusia yang berjalan seperti orang kebingungan seraya membawa cahaya di tangan kanan.

"William?" panggil Stella setelah tahu bahwa sosok itu adalah si penolong dari beragam bentuk dan warna yang mengelilingi tubuh William.

"Fed? Apa kau baik-baik saja?" tanya William berlari menghampiri gadis itu, lalu memberikan selimut besar kepadanya untuk menutupi tubuh telanjang yang tak seharusnya menjadi komsumsi mata.

"Ya dan tidak. Aku sadar bahwa ketika berubah, aku tidak akan ingat siapa diriku, William. Apakah aku melakukan sesuatu padamu?" tanya Stella usai melingkarkan selimut ke tubuhnya.

"Kau hampir menerkamku, tapi kau berlari ke luar rumah begitu saja. Aku hanya takut ada seseorang yang menangkapmu," bisik William seraya menatap ke sekeliling. "Ayo, kita harus kembali ke rumah. Ada satu hal yang harus kau lakukan."

Stella menyetujui ucapan William. Mereka berdua bergegas kembali ke rumah sebelum ada orang lain yang menangkap basah bahwa ada manusia berdarah campuran kembali dari kematian. Sesampainya di rumah, Stella segera membersihkan diri dari lendir-lendir dan sisa sisik ular yang masih melekat. Beberapa saat dia menyadari bahwa aroma tubuhnya kini hampir sama dengan aroma William, meski bukan aroma tembakau.

Mengenakan setelan sweter bercorak rusa yang terlihat mencolok di mata, Stella menemui William yang membersihkan ruang tamu yang berantakan. Ada bekas cakaran yang terpampang jelas di lantai rumah kayu itu. Stella merasa bersalah telah membuat keributan untuk kedua kali.

William menoleh dan tersenyum, kemudian dia memberikan secangkir minuman kepada si gadis rubah yang malang. "Minumlah, Fed."

Stella menerimanya dengan ragu namun aroma minuman itu tidak mengerikan daripada yang pertama tadi. Ada bau kayu putih yang dicampur dengan blackberry. Perpaduan yang aneh, batin Stella.

"Apa itu ramuan aneh lagi?" tanya gadis itu dengan takut.

"Tidak, ini minuman untuk membuat warna bola matamu menjadi sama denganku," kata William. Gadis itu pun meneguknya dengan ragu lalu dia memejamkan kedua mata ketika minuman itu menuruni kerongkongannya.

Ada rasa hangat dan manis yang membuat perasaan tadi menguap seketika. Stella menghabiskan ramuan itu tanpa sisa. "Sampai kapan kita akan melakukan hal ini, William? Kau tahu sendiri bahwa aku hampir membunuhmu, bukan?"

"Ya, kau benar. Setidaknya, dua kali kau tidak jadi mengambil nyawaku, Fed," kata William terkekeh. "Tapi, mau tidak mau kita harusnya melakukan setiap bulan purnama karena ramuan itu tak kan bertahan selamanya."

Sial! Rutuk Stella dalam hati.

Beberapa detik, dia merasakan sesuatu di kedua matanya. Bersamaan dengan itu William tersenyum tipis lalu mengambil sebuah cermin kecil dari dalam saku kemeja flanelnya. Diberikan cermin itu kepada Stella.

Gadis itu tampak terkejut. Warna matanya kini benar-benar berubah menjadi kecokelatan seperti kacang hazel. Dia menatap William sambil tersenyum penuh kelegaan.

"Selamat datang di dunia kami, Fed," kata William menatap lekat si gadis rubah.

Buat yang pengen baca cepat sampai tamat kalian bisa temukan Half Blood and King Faith di Karyakarsa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro