Bab 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak sengaja, Mrs. Darrel memasukkan Federica dan Liam dalam satu kelompok saat di kelas seni untuk melukis. Sebenarnya Federica tak suka, tapi sepertinya hanya ini jalan satu-satunya untuk mengetahui identitas lelaki menyebalkan itu. Sedangkan Ethan menatap tajam Federica seolah tidak ingin mereka satu kelompok. Bagi Ethan, ini sama saja dengan aksi bunuh diri perlahan-lahan. Ethan takut Liam akan mengetahui bahwa Federica adalah gadis berdarah campuran yang mereka cari selama ini.

"Aku tidak apa-apa," lirih Federica ketika mulai melukis Liam yang duduk di depannya.

"Aku mengawasimu," sindir Ethan sambil menatap tajam Liam.

Liam hanya menaikkan alisnya dengan congkak. "Apa kau akan terus berbisik dengan Harrison?" tanya Liam kepada Federica dengan nada setengah tinggi.

"Bisakah kau tak mengurusi kami, Turner?" ejek Federica. "Diamlah, aku akan melukismu."

Liam duduk sambil berpose formal menatap Federica yang kini melukis dirinya. "Aku merasa aneh ketika Mrs. Darrel membuatmu satu kelompok denganku. Lagi pula semua guru di sini tahu bahwa kau dan aku saling membenci dalam segala hal."

Federica mengabaikan ocehan Liam meski tahu bahwa perkataan lelaki berambut cokelat itu memang benar adanya.

"Apa kau jago melukis juga? Kulihat kau terbaik dalam semua bidang, Dawson."

"Bisakah kau tutup mulutmu?" rutuk Federica kesal. "Aku bisa karena suka belajar. Jika aku jadi kau, tentu saja aku akan lebih giat belajar bukan malah menyalahkan dan mengeluh karena selalu kalah."

Liam mendecih lalu tatapannya bertemu dengan Ethan yang menatapnya tajam. "Apa yang Ethan katakan padamu tentang aku? Jika dia tidak menyukaiku harusnya dia bilang ke Mrs. Darrel."

Federica mengikuti arah pandang Liam. Seketika itu pula dia mencibir.

"Abaikan saja dia," kata Federica.

"Jangan harap setelah ini kita bisa satu kelompok lagi, Dawson."

"Apa ini caramu memperlakukan seorang gadis, Turner?" tanya Federica mulai emosi. Dia bangkit dan menyerahkan lukisannya kepada Liam. "Sisanya kau kerjakan, bukankah kau tidak ingin terlihat kalah, huh?"

Federica pergi meninggalkan kelas seni dan berpura-pura ijin ke toilet kepada Mrs. Darrel meski sebenarnya dia memilih menenangkan diri di luar agar tidak melihat Liam. Dalam benak Federica, jika Liam bukan teman kelasnya tentu satu peluru panas seharusnya sudah bersarang di kepala lelaki sombong itu. Dia terlalu pintar berbicara atau mungkin Liam memang suka membuat emosi orang lain.

Gadis itu melangkah hingga ke lapangan bisbol lalu duduk di salah satu bangku penonton menatap lapangan yang sedang kosong. Kepalanya menengadah menatap matahari dengan awan biru yang cerah. Dalam hati terlintas pertanyaan lagi tentang sosok Liam. Dia menopang dagunya dengan kedua tangan sambil berpikir, seharusnya vampir mudah terbakar oleh sinar matahari namun kenapa justru mereka hidup di negara yang memiliki empat musim seperti ini. Dalam benaknya, Liam atau vampir apa pun itu seharusnya berdiam diri di kutub atau kota Fox yang berada di Amerika, atau seharusnya mereka tidak hidup sama sekali.

Kepalanya memutar ke belakang saat merasakan seseorang muncul dan seketika itu pula kedua bola mata Federica membelalak. Liam sangat terkejut, salah tingkah seraya menyembunyikan sebuah kantong darah di belakang bajunya. Namun, lain halnya dengan Federica, kedua lubang hidung mancung itu jelas mencium aroma darah. Dia pun bangkit menatap wajah lelaki yang tampak ketakutan seraya mendekat pelan karena penasaran, tapi Liam justru bergerak mundur.

"Jangan mendekat padaku, Dawson!" seru Liam.

Jika Federica biasanya mendengar detak jantung manusia yang sedang gugup, maka beda dengan Liam. Dia tidak mendengar apa pun kecuali aroma tubuh lelaki itu yang semakin menguar kuat, seolah semua pori-pori di kulit Liam terbuka kala gelisah. Federica tidak tahu apakah Liam baru saja membunuh seseorang di sekitar sekolah atau tidak. Yang jelas, hidung gadis itu tahu bahwa sesuatu yang disembunyikan oleh Liam di balik punggungnya adalah darah.

"Kau kenapa?" tanya Federica dengan suara rendah namun penuh penekanan seolah ingin menghujani Liam dengan ribuan pertanyaan. "Apa yang kau sembunyikan?" tanyanya berpura-pura bodoh.

Liam semakin bergerak mundur namun ekspresinya kini berubah. Dia seolah merasa kesakitan hingga beberapa kali harus menggelengkan kepala. Federica menunduk mencoba melihat jelas wajah Liam. Gadis itu mengernyit ketika sekilas dia melihat perubahan warna mata lelaki itu.

"Liam, kau...."

"Fed! Awas!" seru Liam menerjang tubuh Federica.

Federica terkejut bukan main ketika sebuah anak panah yang kini menancap di bangku penonton hampir menembus tengkoraknya tadi. Napasnya memburu lalu dia menatap kedua mata Liam yang jaraknya begitu sangat dekat hingga gadis itu bisa merasakan embusan napas si vampir Untuk beberapa saat, gadis itu terhipnotis oleh iris mata merah Liam yang begitu jelas, meski perlahan warna mata itu memudar dan kini berganti keabu-abuan seperti softlens yang dikenakannya sekarang.

"Enyahlah dari tubuhku, Turner!" seru Federica seraya mendorong tubuh Liam ke samping setelah sadar dari lamunannya. Liam mengaduh karena kepalanya terbentur bangku penonton tapi tidak dipedulikan Federica. Gadis itu pun bangkit menatap arah anak panah itu datang.

Kedua mata besarnya menyipit berusaha menangkap bayangan seseorang yang sangat ingin mencelakai dirinya. Namun, tidak apa-apa di sana selain dedaunan yang saling gemerisik ditiup angin. Bahkan aroma tubuh lain pun tak ada selain dirinya dan Liam. Federica menoleh ke arah Liam seraya menaikkan alis. Mereka saling tatap ketika Liam telah mencabut anak panah itu dari tempatnya.

"Menurutmu?" tanya Liam.

Federica tidak menjawab. Jutaan pertanyaan menggerayangi benaknya. Dia tidak tahu dan ragu untuk berspekulasi siapa yang mencoba membunuhnya. Bisa saja itu vampir dan bisa saja itu manusia yang membenci vampir. Karena Federica yakin ramuan William masih bekerja aktif untuk mengelabui semua orang tentang identitasnya.

Tapi, kenapa arah anak panah itu mengarah kepadaku?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro