Bab 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Liam menatap lekat Federica saat menaruh beberapa buku dari perpustakaan ke loker di jam istirahat sekolah. Kejadian di lapangan tadi membuatnya berpikir mengapa busur panah mengarah pada si anak baru. Seingatnya, tidak pernah ada seseorang yang mengarahkan senjata tajam ke sekolah atau tindakan teror lainnya. Bahkan jika ada siswa yang terlibat kejahatan, seharusnya polisi setempat sudah meringkusnya. Namun, hingga detik ini, sekolah masih tetap sama dengan segala kegiatan belajar mengajar. Liam harus menyelidiki siapa gadis di depannya ini, cepat atau lambat.

"Mengapa kau mengikutiku?" tanya Federica yang berdiri di depan Liam tanpa disadarinya. "Aku tak akan bilang kepada siapa pun masalah tadi termasuk—"

Refleks tangan kanan Liam membungkam bibir tipis dan memojokkan gadis itu ke dinding sekolah. Hingga beberapa anak melihat keduanya dengan sesekali bersiul, seluruh sekolah tahu bahwa Federica dan Liam adalah dua siswa cerdas yang selalu bersaing dalam segala hal. Terlebih usai si gadis berambut oranye agak kemerahan itu mengatakan hal konyol di kantin tentang Liam yang jatuh cinta padanya, menambah rumor bahwa Liam yang dikenal manusia berhati dingin kini luluh pada Federica si anak kepala batu.

Liam menoleh, mengirim pandangan tajamnya pada anak-anak manusia yang kadang tidak tahu cara memberi privasi. Jika dia bisa, ingin sekali Liam melanggar aturan para leluhur, untuk memangsa manusia tanpa batas. Sayangnya dia maupun keluarganya memilih untuk memangsa hewan ternak mau pun hewan yang berkeliaran di hutan. Jika merindukan darah manusia, satu-satunya cara yang dilakukan Liam hanyalah mencuri kantong darah dari gudang darah rumah sakit.

Federica tidak bisa berkutik ketika tangan besar Liam membungkam mulutnya dengan kuat. Pada akhirnya, dia tahu apa yang dibawa oleh teman sekelasnya yang terkenal angkuh. Liam membawa empat kantong darah yang sudah kosong dan dibungkus kantong plastik. Sejujurnya Federica tidak terkejut, dia sudah tahu dari aroma tubuh Liam terutama napasnya yang masih beraroma anyir. Namun, bagaimana pun juga cara Liam sangat salah mendapatkan kantong darah yang seharusnya untuk keperluan medis.

"Jika kau ingin selamat, kau harus tutup mulut Fed," ancam Liam dengan suara rendah.

Sejenak iris mata lelaki itu kembali menyala samar-samar membuat Federica terlena kembali. Waktu terasa berhenti sejenak kala melihat pantulan dirinya di kedua mata asli Liam yang tertutupi lensa kontak. Bahkan gadis itu bisa merasakan embusan napas vampir yang menerpa kedua pipinya. Hangat.

Federica merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Entah mengapa detak jantungnya tiba-tiba berpacu membuat gadis itu menggeleng cepat seraya menginjak kaki Liam. Laki-laki itu mengaduh keras sambil melepas tangannya yang membungkam mulut Federica.

"I don't care!" sungut Federica meninggalkan Liam dengan cepat.

"Fed!" teriak Liam mengejar Federica dengan kaki terpincang-pincang. "Aku akan mengawasimu!"

#####

Di cafetaria masih penuh dengan siswa yang duduk untuk menikmati santapan, Federica hanya mengambil air mineral dari lemari pendingin untuk menjernihkan kembali pikiran, seraya sibuk mencari-cari sosok Ethan dan Gessy. Dia merasa harus segera mencari tahu siapa pelaku yang sengaja menembakkan busur panah ke arahnya. Aksi teror seperti itu bukan hal yang pertama kali terjadi di dunia ini, namun dia yakin bahwa kehadirannya sebagai manusia berdarah campuran mungkin mengundang desas-desus beberapa kelompok-kelompok tertentu yang ingin memiliki darahnya.

Apa ramuan William sudah tidak berefek lagi padaku? Bahkan ini belum menginjak bulan keenam.

"Apa aku harus makan daging seperti Ethan?" gumam Federica membuka botol mineral keduanya. Pikiran gadis itu masih terbayang dengan si pemanah misterius.

Detik berikutnya, Liam yang entah datang dari mana, begitu santai merebut minuman yang dipegang Federica dan meneguknya hingga tidak tersisa, membuat gadis itu hanya bisa menganga. Liam mengembalikan botol yang telah kosong kepada Federica dengan kasar kemudian pergi untuk bergabung dengan beberapa anak laki-laki di sisi kanan cafetaria.

Seperti api yang disulut semakin besar, Federica mengambil botol mineral lagi seraya melangkah cepat ke arah gerombolan Liam yang sedang tertawa entah membicarakan apa. Salah satu dari mereka memberi isyarat kepada vampir menyebalkan yang duduk membelakangi Federica. Namun, belum sempat Liam menoleh, gadis yang tidak kenal takut itu sudah mengguyur kepala Liam dengan air mineral membuat orang-orang di sekitar mereka melihat aksi nekatnya.

"Jika kau tahu sopan santun, harusnya kau tidak merebut minuman milikku, Turner!" seru Federica meletakkan botol itu di atas meja bundar dengan kasar.

"Kasar sekali," sahut teman Liam yang berambut sebahu dengan mata sipit. Federica menatap tajam membuat laki-laki itu diam dan menunduk ketakutan.

Gadis berhidung lancip itu memilih pergi dari tempat yang penuh dengan aroma makanan, mengabaikan tatapan orang-orang yang begitu aneh. Federica tidak peduli. Dia hanya merasa kesal dengan sikap Liam. Dia pun merasa kesal dengan dirinya sendiri mengapa merasa mudah terhipnotis oleh Liam, musuh yang telah membunuh klannya.

Bagaimana pun juga dia adalah vampir, Fed!

"Fed!"

Kedua iris mata Federica membulat dengan senyuman merekah ketika melihat kedua temannya sedang melambaikan tangan di depan kasir. Dia berlari kecil menghampiri mereka lalu berkata,

"Ke mana saja kalian?"

"Aku dari toilet," sahut Gessy.

"Dan aku menunggunya di depan toilet," timpal Ethan membuat Gessy membelakkan kedua mata dengan wajah memerah.

Federica mengedikkan kedua bahu tidak mengerti lalu membisiki kedua temannya untuk berbincang di tempat yang sepi. Ethan hampir mengumpat keras ketika mendengar cerita bahwa Liam menyelamatkan Federica dari serangan panah misterius.

"Kau yakin itu bukan ulah saudaranya?" tanya Ethan dengan penekanan.

"Apa maksudmu?" tanya Federica dengan ekspresi tak mengerti.

Ethan memutar bola matanya lalu memberikan sebuah roti isi daging sapi kepada Federica. Gadis itu menolak dengan ekspresi seakan ingin mengeluarkan semua isi lambungnya. Ethan menatap nyalang gadis berambut ginger itu dan berkata,

"Liam memiliki saudara perempuan bernama Laura. Dan jika kau ingin nyawamu berguna untuk membalaskan dendammu terhadap vampir, maka dengarkan saranku ini, Fed. Mungkin saja ramuan yang William buat untukmu mulai menurun efeknya bahkan sebelum bulan purnama. Apa kau ingin menjadi sasaran vampir?"

Ditatap wajah Gessy dan Ethan bergantian. Kalimat yang dilontarkan lelaki berkacamata itu memang benar adanya. Dengan berat hati, Federica menerima roti isi itu dan memasukkannya ke dalam kantong makanan.

"Sebaiknya kita pergi."

####

Di atas gedung sekolah dekat dengan gudang penyimpanan bangku-bangku yang rusak, Federica dan kedua temannya duduk bersandar pada dinding pembatas sambil menatap langit. Gumpalan awan layaknya kapas begitu kontras dengan warna biru cakrawala, semilir angin menggoyangkan anak-anak rambut dengan suara gesekan daun-daun yang masih setia bertengger di pohon. Menjelang musim panas seperti ini memang cocok untuk berjalan-jalan menikmati indahnya alam, Federica ingin berkeliling kota bersama William. Mungkin dia bisa berjalan di taman atau mengunjungi kebun binatang atau bisa juga mendaki bukit. Dia tersenyum bahwa itu adalah beberapa ide cemerlang. Sepertinya, dia harus mengatakannya nanti.

Federica melihat sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun di atas gedung sekolah menengah itu. Dia menatap kedua temannya lalu kembali menceritakan kejadian yang menimpa dirinya di lapangan bersama Liam serta barang yang dibawa lelaki itu dengan suara rendah. Ethan dan Gessy tidak terlalu terkejut Liam membawa kantong darah, tapi busur panah yang mengarah kepada Federica yang membuat mereka mulai khawatir. Terlebih Ethan, dia cemas jika Liam mengetahui identitas asli Federica, dia begitu curiga dengan sikap lelaki angkuh yang tak pernah melepaskan pandangannya pada si gadis rubah.

"Kurasa kita harus mencari senjata yang bisa membunuh Grim Ripper sebelum dia bangkit," kata Gessy memberi usul.

"Kau kira mudah? Kita bahkan tidak tahu di mana jasadnya, G!" ketus Ethan dengan kesal. "Jikalau kita sudah menemukannya, kita pasti berhadapan dengan para vampir."

"Kan ada pisau perak, Ethan." Gessy membalas kalimat Ethan dengan nada sedikit tinggi, tidak terima jika usulnya diremehkan. Di saat seperti ini, Gessy berpendapat bahwa dengan mencari senjata, semua klan bisa terlindungi, vampir tak kan berkutik jika senjata pembunuh Grim Ripper berhasil ditemukan.

"Hei, sudahlah," lerai Federica saat Ethan ingin menimpali Gessy. "Begini saja, bagaimana jika aku mencoba pulang bersama Liam?"

"Kau gila!" seru Ethan dan Gessy bersamaan.

"Kau ingin bunuh diri?" Ethan memandang Federica seraya melipat tangan di dada, tidak habis pikir jika si gadis berdarah campuran itu menantang maut.

"Aku punya pisau di tasku dan pistol dari William," kata Federica dengan nada berbisik. "Kalian jangan khawatir. Lagi pula aku ingin tahu sebenarnya sasaran dari si pemanah itu Liam atau aku."

Ethan mengusap wajahnya gelisah, ide Federica itu bisa menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Ditatapnya wajah cantik itu dan berkata, "Harusnya kau sadar bahwa kau sama saja mencari mati dengan pergi bersamanya. Liam adalah musuh kita dan kau adalah umpan terbaik. Mereka tak akan membunuh Liam atau siapa pun itu, yang mereka inginkan adalah kau. Jika mereka tahu bahwa kau adalah si berdarah campuran, maka tamatlah riwayat kita."

"Ethan, benar. Klan vampir akan mencari berbagai cara untuk mendapatkan darah yang membangkitkan Grim Ripper," timpal Gessy.

"Aku akan baik-baik saja, oke," kata Federica meyakinkan sambil beranjak dan meninggalkan kedua temannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro