Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Klan apa? Rubah?" William mengulangi kalimat Stella yang terdengar seperti ucapan orang gila. "You must be so crazy, girl. Aku yakin ini hanya mimpi. Oh, come on God, aku sudah mengikhlaskan kematian mereka. Tapi, jangan buat aku berhalusinasi seperti ini," racaunya mengacak rambut sambil mondar-mandir.

Gadis bernama Stella menatap William dengan alis yang bertaut. "Ayolah, William, kau tidak berhalusinasi. Kau masih ingat aku di ruang mengerikan itu. Oke, aku minta maaf karena membunuh mereka."

Refleks, kepala William menoleh dengan mulut menganga lebar, memandang Stella yang mengucapkan kata maaf begitu mudah. Nyawa bukanlah sebuah mainan yang jika hilang bisa dibeli kembali. William bergerak mendekati Stella dengan tetap mengacungkan tongkat bisbol, meski kedua kakinya sudah tidak bertulang. Dia takut jika tiba-tiba dicabik seperti daging domba.

"Kau psikopat, Stella. Polisi sedang memburumu dan mereka akan tahu bahwa kau di sini. Kumohon, jangan ganggu aku, please." William memohon, kedua matanya memerah, perasaannya campur aduk antara takut dan marah.

"Aku tahu jika duniamu tak kan percaya dengan keberadaan kami. Tapi, asal kau tahu, William, duniamu tak hanya diisi oleh manusia saja," jelas Stella dengan tegas, mendekati tongkat bisbol seakan tak takut kalau kepalanya bisa hancur dengan kayu itu. "Dan aku sudah menghipnotis para polisi, sehingga kejadian kemarin tidak pernah terjadi dan mereka akan mengira bahwa itu serangan hewan."

Kali ini giliran William yang paham mengapa gadis itu datang ke rumahnya. Dia bergerak mundur hingga tubuh kurusnya tersudut di dinding. Dibunuh bukanlah hal yang menyakitkan jika dibandingkan dengan proses hipnotis yang bisa menghilangkan semua perasaan dan kenangan bersama keluarganya. William tentu tidak mau hal itu terjadi.

"Aku tidak akan membunuhmu atau menghilangkan ingatanmu, William." Suara Stella terdengar rendah, menurunkan tongkat bisbol yang masih tertahan di udara. "Aku tidak bisa menyakiti orang tua sepertimu, kecuali jika keadaan memaksaku. Tapi, kau harus percaya padaku, di dunia ini tidak hanya diisi manusia." Stella mengulang kalimatnya dengan iris mata yang menyala lalu meredup lagi.

Kening William semakin mengerut. Dia benar-benar tidak paham apa yang dikatakan Stella meski berusaha mencerna kelogisan kalimat itu. Bahkan beberapa kali William mencubit dirinya sendiri memastikan bahwa ini bukan sebuah ilusi akibat kematian istri dan anaknya. Tapi, meski kulitnya memerah akibat cubitan, nyatanya sosok perempuan itu masih berdiri di sana.

"Dunia ini masih terus menjadi misteri meski kau berusaha untuk mengungkapnya. Sedikit celah yang terbuka selalu mengandung rahasia lagi dan lagi," kata Stella menjauhi William dan melangkah menyusuri setiap sudut rumah yang menurutnya cukup suram jika dihuni manusia. Dia mendudukkan diri di atas sofa berbahan beludru yang mulai banyak debu. Stella terbatuk sambil mengusap hidung lalu menggaruk kepalanya.

"Sudah berapa lama kau tidak mencucinya?" sindir Stella kepada si tuan rumah. "Maaf, hidungku terlalu sensitif. Baiklah, William, aku sungguh tidak membunuhmu. Jangan menatapku seperti itu, oke." Stella melipat kedua tangan di dada dengan mulut mengerucut.

William berdehem, mendaratkan pantat di sofa dan berhadapan dengan Stella seraya memangku tongkat bisbol untuk sekadar berjaga-jaga. Netranya masih menatap, meneliti gadis berambut panjang yang kini mengenakan baju piama Jessica membuat William merasa sangat sedih. Stella yang bisa melihat perubahan kepulan asap di tubuh tua itu serta perubahan detak jantungnya, paham bahwa dia masih berduka.

"Apa dua tubuh yang kulihat minggu lalu adalah keluargamu?" tebak Stella.

Mau tak mau William mengangguk lemah. "Kau memakai baju tidur kesukaan anakku. Aku hanya merindukan mereka."

"Maafkan aku."

William mengangguk. "Bagaimana kau bisa datang ke sini hanya karena aroma tubuhku? Bagaimana pula kau bisa hidup setelah dokter membedah tubuhmu? Bahkan bagaimana caramu menghipnotis polisi? Tunggu! Apakah kau seseorang yang kulihat di tikungan itu? Tapi warna matamu berbeda."

Bibir sensual yang merah bak delima milik Stella mengembang, iris mata itu kembali menyala seperti cahaya kembang api di langit malam. Harus diakui William, bahwa warna mata yang keemasan dan juga hijau zamrud meskipun menakutkan tapi juga menakjubkan. Jarang ada manusia bahkan hewan memiliki warna mata berbeda akibat kelainan genetik. William mengangguk dalam hati, mungkin Stella adalah salah satunya.

"Seperti kukatakan sebelumnya. Dunia ini penuh misteri dan aku klan rubah terakhir di sini, William. Aku tidak tahu mengapa aku dihidupkan kembali dengan tubuh seperti ini. Lagi pula, aku kabur dari tempat mengerikan kemarin untuk pergi ke sungai Gordon untuk mencari keluargaku. Namun, aku sadar bahwa waktu sudah lama berputar hingga tidak tersisa apa pun di sana."

William tersentak, dia masih saja berusaha mengelak kenyataan, tapi semua itu sirna saat sosok asing masih saja duduk tenang di depannya. Pikirannya mendadak pening, terlalu aneh jika mayat yang terendam dalam lumpur bisa sehat bugar dan menatapnya seolah dia kemarin hanya tidur siang. Jemarinya memeluk tongkat bisbol dengan erat, William berpikir bahwa dirinya butuh terapi psikologis sekarang.

"Ja-jadi benar bahwa kau ini mayat yang ditemukan itu?" tanya William dengan suara gemetaran. "A-Apa yang terjadi? Bukankah harusnya tubuhmu hanya tersisa tulang belulang?"

Stella menyandarkan punggung ke sofa. "Ceritanya sangat panjang. Jika kau sudah mengetahui semuanya, bisakah kau merahasiakan ini?"

William terdiam sejenak menimang permintaan gadis itu. Malam ini mungkin dirinya memang sudah tidak waras mendengarkan cerita khayalan dari bibir Stella. Gadis yang seharusnya sudah menjadi hantu, bukan tamu dadakan yang menatapnya dengan senyum lebar.

Mau tak mau, dia pun mengangguk sambil berkata, "Asal kau tidak membunuhku, aku orang yang pandai menjaga rahasia. Apa itu juga berhubungan dengan warna matamu?"

Stella tertawa. "Ya, tentu saja. Dan aku harap ceritaku bukan sekadar dongeng pengantar tidur karena apa yang terjadi kepadaku di masa lalu akan menjadi sesuatu yang besar di masa yang akan datang. Aku tahu apa yang kau pikirkan." Jemari gadis itu mengetuk-ngetuk dahinya dengan senyum miring.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro