19. Rindu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Guys! Kabar gembira. Novel Dari Hanin untuk Malik, open PO tanggal 9 November loh! Untuk info selengkapnya, nanti dikabari lagi, eaTT

Happy reading

Baru saja pulang, Malik sudah disuguhi oleh banyak wartawan. Lelaki itu memilih turun tanpa menjawab apapun, Anggia menatap punggung Malik dengan sendu. "Maaf, ya, Kak, Maliknya lagi dalam keadaan duka. Terimakasih," ujar Anggia dan memilih ikut masuk.

Malik duduk di kursi bersama Leo. Lelaki kecil itu menatap Malik yang terus menerus diam tanpa mengucapkan sepatah katapun sedaritadi. "Abang, kenapa Mama dimasukin ke tanah? Terus nanti kalau Mama takut gimana?"

"Abang, kita susulin Mama yuk ke sama."

"Abang, Mama berapa hari di sana?"

"Abang, Leo tidur sama siapa?"

"Abang, ayo jemput Mama."

Malik memejamkan matanya menahan sesak di dalam dirinya. Kasian Leo, kasian pria kecil itu harus kehilangan Mamanya di usianya yang masih sangat kecil.

Lelaki itu menarik Leo ke dalam pelukannya. "Itu tempat tinggal Mama sekarang, Leo jangan khawatir. Mama pasti bahagia di sana, Leo harus doain mama terus, ya?" kata Malik.

"T-tapi, nanti Leo tidur sama siapa? Papa juga pergi." Lelaki itu berkata dengan suara yang terdengar begitu bergetar.

Malik melipat bibirnya ke dalam. Lelaki itu menangis tanpa suara, sesuatu yang ia takutkan, sekarang terjadi. Bahkan, lebih kejam dari apa yang ia bayangkan.

Malik mengusap wajahnya kasar. Lelaki itu langsung meletakan kedua tangannya di bahu milik Leo. "Leo denger Abang."

"Leo laki-laki. Leo harus kuat, jangan nangis."

Leo menganggukan kepalanya. Ia mengusap air matanya sendiri kemudian tersenyum. "Leo kuat, Leo nggak akan nangis."

Malik tersenyum dan menepuk bahu Leo beberapakali. "Bagus."

Ponsel milik Malik bergetar di saku celananya. Lelaki itu meraihnya, dahinya mengerut kala mendapati panggilan dari Daffa.

Ia beranjak dan memilih menjauh dari Anggia dan juga Leo.

"Hallo?" ujar Malik kala panggilan itu sudah terhubung.

"Hanin pingsan."

Malik diam, lelaki itu menundukan kepalanya sejenak. "Bilang sama Hanin istirahat yang cukup, gue nggak bisa ke sana."

"Bangsat lo, Lik. Tadi gue bisa aja diem karna gue ngerti lo lagi sedih. Tapi, makin di diemin, sikap lo tuh makin ngelunjak," ujar Daffa di sebrang sana.

"Maksud lo apasih, Daf? Gue lagi duka, ngapain gue mikirin orang lain sedangkan perasaan gue nggak ada yang mikirin," jawab Malik.

"Nggak ada yang mikirin? Hah! Lo egois, lo pengen di mengerti, tapi lo nggak ngerti orang lain. Hanin lagi sakit dan itu karna kecerobohan lo, Hanin maksain buat dateng ke rumah sakit sampai pemakaman cuman buat lo. Tapi apa yang lo bales buat Hanin?"

"Lo nggak hargain dia sama sekali, lo pelukan sama cewek lain, lo lupa sama cewek lo sendiri."

"Anggia sepupu gue! Apasih yang lo masalahin, hah?!" tanya Malik.

"Masalahnya, sikap lo sama dia yang nggak wajar. Dari dulu lo emang nggak pernah bisa berubah, Lik. Egois, cuman mikirin diri lo sendiri, mau lo apa? Kalau lo nggak mau ke sini. Ya udah, fine! Masih banyak orang yang sayang sama Hanin."

"Gue kasih tau lo karna lo pacar dia."

Panggilan terputus. Malik menarik nafasnya pelan kemudian ia hembuskan. Terserah saja apa kata Daffa, ia tak mungkin meniggalkan Leo dan juga Anggia sekarang.

***

Sebulan setelah meninggalnya Gina, hubungan Hanin dan Malik semakin merenggang. Malik seakan-akan sudah melupakan Hanin.

Bahkan, karir Malik semakin melesat sekarang. Yang Hanin dengar, Malik semakin sukses pada dunianya sendiri. Entahlah, bahkan Malik tidak cerita perihal itu pada Hanin.

Banyak juga fans malik yang menyayangkan ikatan lelaki itu dengan Anggia. Banyak juga yang mengira bahwa Hanin dan juga Malik sudah berakhir.

Hanin tersenyum miris. Di halte sekolah, Hanin memilih menunduk menatap kakinya sendiri. Gadis itu menarik nafasnya pelan. "Eh, ada cewek cantik. Kenapa nih sendirian? Mau Abang temenin nggak?"

Hanin mendongkak, gadis itu perlahan mengangkat senyumnya.

Dia Galuh, lelaki itu adalah lelaki yang selalu ada untuk Hanin. Aneh sebenarnya, Galuh selalu datang di saat ia di sakiti oleh Malik.

Galuh selalu menjadi penyembuh rasa sakit itu. Tapi, ia juga aneh dengan perasaannya yang masih saja menyangkut pada Malik.

"Apasih, Gal?"

Galuh duduk, lelaki itu menatap Hanin kemudian menganggukan kepalanya beberapa kali. "Di sini, saya bisa lihat masa depan saya," ujar Galuh.

"Gue?" tanya Hanin.

"Yah, ketauan." Galuh berdecak seolah dirinya kesal karna jawabannya sudah terlebih dahulu Hanin jawab.

Hanin tertawa, "Receh lo!"

"Biarin, daripada lembaran, gampang kebawa angin," jawab Galuh.

"Apasih?"

"Apanya?" tanya Galuh.

Hanin memukul bahu Galuh kesal. "Aw, nggak sakit. Kurang kenceng," ujar Galuh.

Hanin menghembuskan nafasnya pelan. Gadis itu mendundukan kepalanya, ia jadi rindu Malik. "Gal, lo kok mau sih nemenin gue kaya gini?" tanya Hanin.

"Karna ... Karna lo butuh temen?" tanya Galuh.

"Atau ... Karna lo butuh gue, anggap aja gue pangeran berkuda putih, asek," sambungnya.

"Serius, Gal."

Galuh terdiam beberapa saat. Setelahnya, ia memilih meraih dagu Hanin agar menatap ke arahnya. "Gue nggak suka liat cewek sedih. Apalagi karna cowok," ujar Galuh.

"Gue punya Kakak. Yang gue tau, dia hamil karna bosnya. Gue desek dia biar dia ngaku apa yang sebenernya terjadi."

"Ternyata, mereka sama-sama mabuk saat itu. Mereka kira, minuman itu nggak mengandung alkohol, ternyata faktanya minuman itu mengandung alkohol."

"Gue nggak salahin bosnya ataupun Kakak gue. Dua-duanya sama-sama nggak tau."

Galuh menarik nafasnya pelan. "Gue ngerasa bersalah sama Malik, Nin. Gue nggak tau harus kaya gimana. Yang gue tau, lo sumber kebahagiaan Malik."

"Karna itu, gue pengen bikin lo senyum setiap saat, karna dengan itu, rasa bersalah gue sedikit berkurang."

Amel--wanita itu adalah Kakak satu-satunya Galuh. Wanita yang begitu Galuh jaga dan sayangi, fakta soal Amel cukup membuatnya merasa menjadi sosok lelaki yang gagal menjaga seorang wanita.

Terjadinya perpecahan keluarga Malik, karna ulah Amel. Walaupun tidak sepenuhnya ia bersalah, tetap saja Galuh tak enak hati pada keluarga Malik.

"Padahal, dulu Malik orangnya baik banget, Gal. Waktu Daffa buat kesalahan, dia dengan senang hati maafin Daffa. Tapi, gue nggak tau apa yang terjadi sama Malik sekarang."

"Dia berubah, gue ngerasa asing banget sama dia," sambung Hanin.

"Seseorang kalau udah di atas emang gitu ya, Gal?" tanya Hanin.

Galuh diam beberapa saat, lelaki itu tersenyum.

***

Hari ini Malik tidak sekolah karna harus mengisi salah satu acara di stasiun televisi. Saat ini, mereka baru saja pulang dan duduk di sofa studio milik Ruben.

Malik menatap Anggia yang sedaritadi mengikuti Malik terus menerus.

Jujur, Malik risih akan itu. Rasanya, Hanin yang bernotabe sebagai tunangannya saja tidak segitunya. Gadis itu selalu membebaskan Malik kemanapun ia pergi, asal dengan syarat Malik jujur dan bilang padanya.

Ah, bahkan, sebulan ini keduanya berjauhan. Malik jadi rindu Hanin.

"Nggi, aku ke toilet dulu," kata Malik.

Anggia mengangguk dan melepaskan lengannya yang melingkar pada lengan milik Malik.

Di dalam toilet, Malik menggenggam ponselnya sendiri. Lelaki itu menatap layar yang menampakan wajah Hanin dan juga dirinya. "Telepon nggak ya?" gumamnya pelan.

"Nin, gue kangen banget," lirih Malik.

Ini salahnya sendiri sebenarnya. Seharusnya Malik tidak begitu. Malik juga tidak tahu mengapa bisa mereka berjauhan seperti ini.

Malik menyandarkan kepalanya pada tembok. Ia memejamkan matanya sangat kuat. Andai saja ia tak berpelukan dengan Anggia, dan tidak berdekatan dengan gadis itu, mungkin semuanya akan baik-baik saja. "Seharusnya, waktu Hanin sakit gue dateng."

"Tapi lo nggak, Lik," sambungnya melirih.

"Bego."

"Bisa-bisanya lo jadi orang bego kaya gini, Lik."

Malik menarik nafasnya pelan. Lelaki itu memilih membuka roomchatnya dengan Hanin.

Tangannya bergetar saat akan mengetikan sesuatu pada gadis itu.

"Ya Allah, chat jangan ya?" gumam Malik lagi.

[Apa kabar? Boleh aku telepon?]

Malik memencet tombol kirim. Setelahnya, ia memilih mencuci mukanya terlebih dahulu. Tak lama, ponselnya bergetar.

Ia menelan salivanya susah payah kala mendapatkan panggilan dari Hanin. Astaga, jantungnya berdegup begitu cepat.

Dengan hati-hati, ia menggeser tombol hijau itu ke atas. "H-Halo?" sapa Malik gugup.

"Halo, Malik? Ada apa?"

Malik terdiam sesaat. Mengapa rasanya sakit sekali? Biasanya Hanin tak akan menanyakan pertanyaan begitu saat Malik meneleponnya.

Malik memejamkan matanya sejenak. "Nin," panggil Malik pelan.

"Kenapa, Lik?"

"Aku kangen."

Hening. Malik menggigit bibir bawahnya sendiri, ah, bolehkah Malik berharap Hanin akan membalas kerinduannya itu? Mengajak Malik bertemu? Ah, mimpi saja Malik.

"Lik," panggil Hanin di sebrang sana.

"Iya?"

"Kita ... Sekarang jauh banget ya?"

Malik lagi-lagi terdiam. Ya, Malik juga merasakan itu. Malik juga merasakan apa yang Hanin rasakan.

Ya Tuhan, mengapa rasanya sakit sekali? Selama bertahun-tahun Malik menunggu kehadiran Hanin, berpacaran, berpisah, memberanikan diri untuk menglaim sebagai miliknya, sekarang dengan bodohnya ia malah menjauhi gadis itu.

"Iya," jawab Malik.

Mulutnya terasa sangat sulit untuk mengatakan apapun lagi. Malik merasa menjadi manusia paling bodoh yang menggantung perasaan Hanin.

"Apa nggak sebaiknya kita perjelas hubungan kita, Lik?"

"Maksudnya?" tanya Malik cepat.

Takut. Malik sangat takut sekarang, lelaki itu lagi-lagi menggigit bibir bawahnya sendiri. Kakinya bergerak gelisah mengetuk-ngetuk lantai toilet.

"Ya ... Putus? Soalnya, buat apasih kita jalin hubungan, tapi aku selalu ngerasa kita tuh udah nggak ada lagi, Lik. Kamu sadar nggak sama itu semua?"

Hanin benar. Rasanya, Hanin & Malik sudah tak ada lagi. Mengapa sakit sekali mendengar penuturan yang Hanin berikan?

"Aku juga punya perasaan, Lik. Perasaan aku juga bukan cuman buat disakitin doang."

"Nin, harus banget putus, ya?" tanya Malik.

Yang Malik dengar, suara Hanin tiba-tiba saja bergetar. Ia yakin, di sana Hanin tidak baik-baik saja. "Terus kamu maunya apa? Bertahan sama hubungan yang bahkan sama sekali nggak pernah kamu harapkan gitu? Mau kamu tuh apa sih sebenernya, Lik?"

"Kamu anggap aku apa?"

"Nin, kasih aku kesempatan buat perbaikin semuanya lagi, Nin."

Helaan nafas terdengar. "Aku kasih kamu kesempatan. Dengan syarat, kamu jauhin Anggia, bisa?"

Malik diam.

Disebrang sana Hanin tertawa miris saat tak menerima sahutan apapun dari Malik. "Nggak bisa? Ya udah, lebih baik kita nggak usah ada aja, Lik."

"Bakal aku coba."

TBC

Hallo! Apa kabar? Mau tau dong, di cerita ini yang sering bikin kalian emosi siapa sih?

Ada yang ingin di sampaikan untuk :

Hanin

Malik

Anggia

Galuh

See u guys!

Untuk info PO Dari Hanin untuk Malik bisa cek akun Instagram Rp, penerbit, dan juga ig aku ya!

Penerbit : @Hwc.publisher.

@hanind_mheswra. (Hanin)
@malikrezayn_. (Malik)
@daff.aprasetyo. (Daffa)
@fatur_mhndra. (Fatur)
@gisela_ivi. (Ivi)
@alfariza_ucup. (Ucup)
@hana_frhsy. (Hana)
@dena.andrianaaaa. (Dena)
@ana_andhina. (Ana)
@rizki.anshari_ (Rizki)
@Nayya_graceva.a. (Nayya)
@galuh_aditamasanjaya.

Follow juga ; @Wattpadindah_. & @Octaviany_Indah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro