20. Ternyata ....

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aduh, dompet gue mana sih."

Hanin yang saat ini tengah mengantri dikasir, menatap heran ke arah gadis di depannya yang terlihat mengobrak abrik isi tasnya.

Hanin akhirnya menyerahkan belanjaannya pada kasir. "Kenapa, mbak?" tanya Hanin.

"Dompet saya, ilang," jawabnya.

"Tiga puluh ribu, Kak," kata si kasir pada Hanin.

"Sekalian sama yang Mbak ini jadi berapa, Mbak?" tanya Hanin.

"Totalnya jadi seratus ribu, pas."

Hanin menyerahkan uangnya. Setelahnya, ia mengambil kresek belanjaannya dan juga milik gadis yang ditolongnya. "Nih."

"Eh? Ya ampun, saya minta maaf banget, ya? Nanti saya ganti, na--"

"Udah, nggak papa. Mbak pulang sama siapa?" tanya Hanin saat keduanya berjalan keluar dari minimarket.

"Sama adik saya. Nanti dia jemput. Saya bener-bener makasih banget loh, Mbak. Eh, kayanya, Mbak lebih muda dari saya deh," ujar gadis itu.

Hanin tertawa pelan, "Nama gue Hanin. Kita ngomongnya santai aja nggak papa ya?"

"Hanin?" tanya gadis itu.

Hanin menganggukan kepalanya pelan. "Pacarnya Malik?"

"Ya ... Nggak tau deh. Gue juga nggak ngerti hubungan gue sama Malik sebenernya apa sekarang." Hanin tersenyum kecut.

Gadis di depannya itu terlihat kesal. "Si Malik emang bener-bener. Udah punya cewek baik kaya gini, masih aja nempel sana sini."

"Eh, lo kenal Malik?"

"Satu Indonesia juga tau kali siapa Malik. Oh iya, gue Helen." Gadis itu mengurkan tangannya.

Hanin membalas uluran tangannya dengan senyum yang sedikit canggung.

Helen? Astaga, itu, kan ... Gadis yang pernah dekat dengan Malik juga. "Udah santai aja. Gue emang sempet naksir sama Malik, sempet mau jodohin dia sama Ashila juga. Tapi nggak jadi."

"Ashila?" tanya Hanin.

"Ashila adik gue. Atau tepatnya ... Sepupu gue."

Hanin mengangguk dan tertawa. Dunia memang se sempit itu, ya?

Helen menepuk pundak Hanin sekali. "Btw, makasih banget, ya? Eh, kalau lo butuh apa-apa, hubungin gue aja. Nanti gue minta kontak lo ke Ashila deh, gue lagi nggak bawa hp soalnya," ujar Helen.

Hanin mengacungkan jempolnya. "Btw, rumor Malik yang pacaran sama sepupunya sendiri itu ... Bener?" tanya Helen ragu.

Hanin terlihat tersenyum kecut. Sedaridulu, Malik memang terlihat seperti itu jika sedang bersama Anggia.

Kadang, Hanin juga heran. Siapa Hanin bagi Malik sebenarnya?

"Nggaklah, nggak bener." Hanin tertawa.

"Gue tau lo pasti sakit hati banget, 'kan?" tanya Helen.

Hanin menghentikan tawanya. Seketika ia terdiam menatap wajah Helen. "Ngga--"

"Jangan bohong. Lo cewek, gue juga cewek. Gue tau lo pasti sakit hati liat itu. Apalagi, banyak banget media yang nyinggung soal lo sama Malik," ujar Helen.

"Belum lagi fansnya Malik yang dukung dia sama si Anggia itu. Heran juga sih gue, masih ada ya sepupu rasa pacar kaya gitu?" tanya Helen lagi.

Hanin tertawa pelan. Helen ini ... Ternyata cerewet sekali, ya? Padahal saat ia melihat foto Helen di ponsel milik Malik waktu itu, Hanin mengira bahwa Helen adalah gadis judes yang maunya menang sendiri.

Ternyata ia salah.

Helen menepuk pundak Hanin beberapa kali. "Oke, Hanin. Mulai sekarang, siapapun yang berani nyakitin lo, dia urusan sama gue. Nggak tau aja mereka lagi berhadapan sama siapa."

"Ah, ada-ada aja lo. Gue mau pulang. Btw, serius nggak mau gue anter aja?" tanya Hanin.

"Nggak usahlah."

***

"Oke, guys! Di vidio kali ini, gue sama Ucup--"

Hanin memilih masuk ke dalam kamar Ana dan juga Daffa. Gadis itu merebahkan tubuhnya di samping Beby yang terlelap.

Daffa dan Fatur sedang berada di luar bersama Ucup dan juga Rizki yang tengah membuat konten.

"Gimana lo sama Malik?" tanya Dena.

"Nggak tau," jawab Hanin.

Ivi mendengkus kesal, "Yang tegas dong, Nin. Jangan lemah kaya gini. Jangan pasrah doang bisa lo. Makin ngelunjak yang ada," ujar Ivi.

"Nin, ngancem itu perlu. Selama ini, yang Kakak liat kamu nggak pernah tegur Malik, waktu dia salah. Coba sekali kali, kamu bilang sama Malik. Kalau dia masih mau lanjut, jauhin Anggia." Hana angkat bicara.

Ana mengangguk setuju, "Gue rasa, hubungan lo sama Malik jauh kaya gini itu faktornya ya si Anggia kampret itu. Emang, ya, dari zaman gue pacaran sama Bang Devano, itu orang emang minta gue bunuh tau, nggak?"

"Lo tau nggak kenapa gue lebih milih bang Devano daripada si Malik?" tanya Ana.

"Kenapa-kenapa?" tanya Ivi rusuh. Gadis itu langsung duduk di depan Ana dan menompang dagunya.

Memang, ya, Ivi dan Rizki sama saja. Sama-sama rusuh!

"Ya karna dia nempel sama Anggialah. Lo nggak tau aja mereka kalau udah deket kaya gimana, ih! Lo aja kalah, Nin," ujar Ana.

Hanin semakin dibuat diam. Ana benar, Malik dan Anggia ... Memang terlihat seperti sepasang kekasih. Hanin saja tidak tahu, apa yang Malik lakukan jika lelaki itu sedang bersama dengan Anggia.

Ah, mendengarnya malah membuat Hanin semakin sakit hati. Apalagi, jawaban Malik tadi siang, malah membuat Hanin semakin resah.

Apa Malik akan menjauhi Anggia?

Apa Malik akan memilihnya?

"Nggak tau ah, pusing." Hanin menutup kepalanya dengan bantal.

"Aduh, sayang, kasian banget." Ivi ikut merebahkan tubuhnya dan memeluk Hanin.

Gadis itu mengusap punggung milik Hanin. "Minum baygon aja, Nin. Biar lo nggak stres."

"Gue rela loh beliin ke Alfamart sekarang juga," sambung Ivi.

"Otak lo tuh yang perlu di semprot pake baygon," sahut Dena sewot.

"Diem lo!"

***

Devano Danendra- Cintaku Hilang.

Maafkan,
Diriku yang takkan pernah bisa
Mencoba tuk melepaskan kamu
Terlalu sulit bagi diriku ....

Hanin. Malik tau ia sudah terlalu sering menyakiti gadis itu. Tapi, Malik tak pernah bisa melepaskan gadis itu. Malik menyayanginya, sangat.

Tapi ... Apa yang sebenarnya Malik fikirkan saat ini? Mengapa bisa keduanya menjadi jauh seperti sekarang?

Kiniku sadari ....
Tak ada yang mengerti.
Namun ku sendiri ...
Tak ada yang temani ...

Mamanya pergi, Renopun entah kemana. Sendiri? Jelas. Malik sendiri sekarang. Tak ada lagi tempat ternyaman untuk ia mengadu.

Tak ada lagi manusia yang mengerti, menasehati, bahkan sampai menariknya keluar dari dalam jurang yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Namun ku sendiri,
Tak ada yang temani ....

Hanya Hanin yang mengerti dirinya. Hanya Hanin yang selalu bersedia menjadi tempatnya untuk berbagi cerita. Ia hanya punya Hanin sekarang, tapi bodohnya ... Malik malah memberi celah untuk gadis itu pergi.

Memberi jalan agar Hanin melangkah mundur dari hidupnya.

Ia salah. Tak seharusnya ia begitu.

Aku tak bisa bayangkan,
Kau hilang tanpa alasan.
Ku harap kau masih fikirkanku
Tuhan kembalikan dia padaku

Malik tak pernah bisa membayangkan jika Hanin benar-benar pergi dari hidupnya. Apa yang akan terjadi setelahnya? Mereka berjalan seorang-seorang layaknya orang asing? Begitu?

Setelah apa yang mereka lakukan bersama?

Dulu, saat Hanin masuk rumah sakit, Malik yang selalu bersedia pulang pergi hanya untuk menemani gadis itu. Tapi kemarin, sebulan yang lalu, apa yang Malik lakukan?

Ia yang salah, ia yang membuat Hanin begitu, dan ia tak menghargai kehadiran Hanin sama sekali saat itu.

Mengabaikannya, padahal jelas-jelas gadis itu datang hanya untuknya.

Maafkan aku,
Yang takkan bisa,
Menjadi seperti yang kau minta ...

Setelah petikan terakhir, Malik membungkukan badannya di sambut dengan teriakan orang-orang yang menyerukan namanya.

Malik memilih turun dari atas panggung diikuti Karel, Genta, dan juga Anton.

Malik mendudukan tubuhnya. Ia sangat lelah seharian ini, setelah pagi tadi menghadiri sebuah acara, sorenya ia kembali berangkat untuk menghadiri acara kembali.

"Minum, Lik."

Malik tersenyum dan mengambilnya. Cowok itu meneguknya kemudian kembali menyerahkannya pada Anggia. "Makasih," kata Malik.

Anggia duduk di samping Malik. Melihat wajah Anggia yang tersenyum lebar seperti sekarang, malah membuat Malik semakin ragu.

Bisakah ia menjauhi gadis itu demi Hanin? Tapi, Hanin juga penting untuknya.

Malik menghela nafasnya pelan. "Gue nggak bisa," gumamnya pelan.

"Nggak bisa?" tanya Anggia tiba-tiba.

Malik mendongkak. Cowok itu menggeleng cepat setelahnya. "Besok aku ke Bandung," kata Malik.

Benar, besok Malik dan juga teman band mereka akan berangkat ke Bandung untuk mengisi sebuah acara lagi.

Jujur, jauh dari dalam lubuk hatinya, Malik ingin Hanin ikut menemaninya. Ia ingin bilang pada semua orang, bahwa sebenarnya Hanin dan Malik itu masih ada.

"Aku titip Leo," kata Malik lagi.

Ya ... Semoga saja ini cara terbaik untuknya menjauhi Anggia sedikit demi sedikit. "Leo kan sama bang Devano. Besok aku ikut kamu, ya?"

"Nggi--"

"Please."

Malik memejamkan matanya kuat. Jika begini terus, hubungannya dengan Hanin pasti akan bubar. "Ya udah," jawab Malik akhirnya.

***

"Kak Hanin! Kakak tau nggak? Leo tadi ngegambar di sekolah. Kata bu Guru, Leo pinter. Kak Hanin mau liat nggak?"

Baru saja Hanin masuk ke dalam rumah milik Malik, ia langsung di sambut oleh teriakan Leo.

Tadi, ia mendapat telepon dari asisten rumah tangga rumah ini. Katanya, Leo terus menanyakan Hanin. Sudah sangat lama ia tak bertemu gadis itu, rindu katanya.

"Wah, mana Kakak liat. Leo gambar apa?" tanya Hanin.

"Gambar ini, Kak. Pig," jawab Leo.

"Kak Hanin yang jaga lilin, ya?" kata Leo.

Hanin jelas kaget dengan perkataan Leo. Jaga Lilin? Astaga, dari mana Leo tau hal begitu?

Malik. Ia yakin ini pasti kerjaan Malik. "Terus, nanti bang Malik yang ngepet," sambung Leo.

"Terus Leo ngapain?" tanya Hanin berusaha sabar.

"Diem, nikmatin hasil ngepet Abang," jawabnya lagi.

Hanin mengusap wajahnya pelan. "Leo tau ngepet itu apa?" tanya Hanin hati-hati.

"Tau, kerja, kan? Itu Abang lagi kerja. Berarti dia lagi ngepet. Terus, Bi Nuni juga lagi kerja di sini, berarti bi Nuni juga lagi ngepet," jawab Leo polos.

Berdosa kamu Malik. Anak sepolos Leo, mengapa otaknya malah di kotori seperti ini?

"Terus kalau udah dapet hasilnya, Leo mau apa?" tanya Hanin lagi.

"Leo mau jadi fuck boy. Kata Abang, fuck boy itu keren. Tapi, kalau udah nikah ceweknya harus satu, jangan banyak-banyak."

Hanin menghela nafasnya pelan. Entah racun apa yang Malik berikan pada otak Leo. Mengapa bisa Leo mengatakan hal begitu dengan begitu lancar. Kasian Leo, harusnya, dia jadi adiknya saja. "Kakak, biasanya, pulang sekolah Leo tidur di temenin sama Mama."

"Sekarang Leo sama bi Nuni terus. Abang juga sibuk, Papa juga nggak tau kemana, terus Mama juga nggak pulang-pulang."

"Leo sedih, Kak."

Hanin tersenyum kecut. Kasian sekali Leo. Di umurnya yang masih sekecil ini, harus tinggal sendirian seperti sekarang.

Hanin tau Malik bekerja untuk Leo. Ia juga merasa Iba pada Malik. Cowok manja itu, sekarang berdiri sendiri. "Kalau Leo kangen Mama Leo, Leo doain ya. Semoga, Mama Leo betah di sana," kata Hanin.

"Oh iya, Kak. Kenapa sih Abang sekarang sama Kak Anggia terus? Leo nggak suka tau, masa Leo nggak pernah di ajak main," ujar Leo mengadu.

"Bang Malik tuh kalau udah sama dia suka lupa sama Leo. Leo sebel."

"Kenapa Abang nggak sama kak Hanin aja? Biar Leo main sama Ara, sama Rios. Terus, nanti kita jalan-jalan ke rumah Beby kaya biasanya."

Hanin tersenyum. Syukurlah, ternyata Leo begitu menyayangi Hanin.

"Le--Hanin?"

Hanin membalikan badannya. Gadis itu terpaku pada lengan putih yang melingkar pada lengan berlapis jaket levis itu. Gadis itu tersenyum kemudian beranjak. "Udah pulang?" tanya Hanin.

Lelaki itu hendak melepaskan lingkaran yang si gadis. Namun, Hanin terlebih dahulu berkata, "Bagus, mainnya di depan. Daripada di belakang, kan? Jangan dilepas kalau emang kalian udah terbiasa kaya gitu," ujarnya.

"Nin--"

"Aku kira kamu emang bener sungguh-sungguh. Ternyata nggak. Perasaan kamu ke aku itu udah lama hilang, Lik. Kamu sadar nggak?" tanya Hanin.

"Sayang nggak--"

"Nggak gitu? Kalau nggak gitu, kamu pasti nurutin apa kata aku. Sekarang buktinya apa? Nggak kan? Yaudahlah, buat apa kita bareng, Lik?" tanya Hanin.

Malik terpaku. Ia menatap Hanin tak percaya. "Maksudnya? Kamu ...."

"Aku kasih kamu waktu buat yakinin perasaan kamu, Lik. Kalau sekiranya kamu emang udah nggak ada perasaan apapun lagi sama aku, kamu boleh putusin aku kapan aja, semaunya kamu."

"Nggi, lepas." Malik berusaha melepas.

Namun Anggia menggeleng. "Egois lo, Nin. Malik itu saudara gue. Apasih yang lo permasalahin? Jangan berlebihan lo jadi cewek."

"Berelebihan lo bilang? Gue tau ya, Nggi. Dari awal kita ketemu sampai sekarang, lo emang nggak pernah suka sama gue. Salah gue apa sih sebenernya?" tanya Hanin.

"Salah lo? Lo udah rebut perhatian Malik dari gue. Sekarang, gue mau ambil apa yang pernah jadi milik gue lagi sekarang. Dan gue rasa, Malik nggak keberatan kok." Anggia menatap Malik.

Hanin memicing tak suka, "Sad--"

"Apa? Buktinya, dia lebih milih gue daripada lo. Lo itu nggak penting, Hanin!"

Hanin membuang arah pandangnya. Gadis itu mensejajarkan tubuhnya dengan Leo. "Kakak pulang dulu, Leo jaga diri baik-baik, ya?" Hanin mengusap kepala Leo pelan. Setelahnya, ia pergi begitu saja meninggalkan rumah ini.

"KAK HANIN JANGAN TINGGALIN LEO!" teriak Leo.

Malik menyentak kasar lengan Anggia. "Mau kamu tuh apa sih? Dikasih hati minta jantung. Puas kamu liat aku sama Hanin makin renggang kaya sekarang?" tanya Malik.

Leo turun dari kursinya. Pria kecil itu berlari ke kamarnya dan menangis. Malik memejamkan matanya kuat. "Malik, nggak gitu--"

"Apa? Jadi ini tujuan lo balik lagi ke sini? Hancurin hubungan gue sama Hanin? Gitu?"

"Nggak cukup ya lo nyakasiin perginya Mama sama Papa gue? Lo mau bikin gue sakit hati sedalam apa lagi sih sebenernya?" tanya Malik.

Kosa katanya mendadak berganti. Malik benar-benar tak habis fikir dengan Anggia. "Besok, gue ke Bandung. Lo nggak usah ikut, nggak usah jaga Leo juga."

Malik langsung pergi meninggalkan Anggia saat itu juga.

TBC

Hallo! Apa kabs?

Kesel sama siapa di part ini?

Ada yang ingin di sampaikan untuk

Hanin

Malik

Anggia

Helen

See u guys!

Oh iya, Dari Hanin Untuk Malik open PO loh! Yakinnih nggak mau order:v

Dahlah:(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro