22. Patah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan pada pamer pasangan dong. Kasian nih yang nggak ada pasangannya," ujar Ucup.

Dena, Fatur, Ivi, dan Rizki menoleh bersamaan. Keempat remaja itu tertawa melihat Daffa, Ucup, dan juga Hanin. "Emang enak jadi jomblo? Ini tuh namanya azab. Dulu kalian hina-hina gue. Sekarang, kalian yang gue hina," kata Rizki.

"Nggak baik loh Ki nyimpen dendam. Lo mau kena azab?" tanya Hanin.

"Ya iyalah, yang baik mah nyimpen duit. Ditabung, buat masa depan," jawab Rizki.

"Masa depan lo kan Mbak Kekey. Tenang aja, duitnya banyak kok. Lo tinggal jadi kang rekam aja," sahut Ucup.

Rizki tertawa. "Iya juga. Bener lo! Yaudah uangnya nggak jadi di simpen, mau gue buang aja."

"Nggak gitu juga konsepnya, Maemunah!" sahut Daffa.

"Papa kalo deket gue bawaannya sensi mulu, ya?" tanya Rizki.

Daffa mendelik, "Berhenti panggil gue Papa! Dasar edan!" kesal Daffa.

Rizki memegang dadanya sendiri. Cowok itu menggelengkan kepalanya tak percaya. "Papa nggak adil sama Rizki sama Beby. Papa lebih sayang Beby daripada Rizki! Papa jahat! Papa--"

"Papa muda ... Papa muda ... Dadadada," ledek Ucup seraya bernyanyi dan menunjukan wajah songongnya pada Rizki.

Rizki menatap Ivi kesal, "Tuh! Liat! Papa udah nggak adil sama gue," adunya.

Ivi mendelik. Gadis itu menoyor pelan kepala milik Rizki. "Lo siapanya anjir? Ngarep banget jadi anak kolongmerat kaya Daffa," kata Ivi kesal.

"Biar nikah nggak keluar modal, Vi," jawab Rizki.

Fatur dan Dena sama-sama diam memperhatikan. Kedua remaja itu tak seperti biasanya. Padahal, mereka termasuk manusia rusuh, mengapa sekarang terlihat anteng sekali?

Ucup melirik Hanin. "Tuh, sepupu lo," bisiknya.

"Lagi bertelor kayanya," jawab Hanin setengah berbisik.

"Weh, apa weh? Bagi-bagi dong." Rizki mendekat ke arah Ucup dan juga Hanin.

Ucup mendorong wajah Rizki agar cowok itu kembali menjauh. "Nggak ada. Sembakonya udah abis," kata Ucup.

"Ye, mau ngomong kasar tapi guenya makhluk halus."

"Setan dong?"

***

Malam harinya, Malik datang ke rumah Hanin. Cowok itu mengetuk pintunya pelan. Tak lama, seseorang membukakan pintu.

Malik tersenyum. Ia mencium punggung tangan Milik Anneth. Kemudian, ia berjongkok dan beralih menggendong Rios. "Apa kabar, Bro?" tanya Malik.

Rios terlihat senang saat Malik menggendongnya. "Duduk dulu, Lik. Haninnya udah tidur kayanya," kata Anneth.

Malik duduk bersama Rios. Cowok itu mendongkak. "Duh, Malik ganggu ya, Tan?" tanya Malik tak enak hati.

"Nggak, kok. Kamu kalau mau ke atas, ke atas aja. Tante mau ke super market dulu sama Tante Adel," kata Anneth.

Wanita itu mengambil alih Rios. Kemudian, ia pamit pergi meninggalkan rumahnya.

Malik beranjak. Cowok itu perlahan menaiki satu persatu anak tangga rumah milik keluarga Hanin ini.

Saat sampai di depan pintu kamar milik Hanin, Malik menarik nafasnya sejenak. Cowok itu tersenyum tipis kemudian membukanya pelan.

Sudah sangat lama sekali ia tak menginjakkan kakinya kemari.

Matanya menangkap sosok gadis yang saat ini tengah tertidur menyamping di kasurnya.

Malik jongkok, cowok itu mensejajarkan wajahnya dengan gadis itu. Tangannya terulur merapihkan rambut milik Hanin yang menutupi wajahnya. "Udah lama banget aku nggak pegang kamu, Nin," kata Malik.

Cowok itu lagi dan lagi menghela nafasnya. Malik rindu dengan Haninnya. Jantungnya berdebar, sudut bibirnya perlahan terangkat.

Ia senang. Rasa lelahnya kini tergantikan hanya dengan bertemu dengan gadis di depannya ini.

Matanya tak sengaja menangkap boneka beruang berwarna biru. Boneka yang dulu pernah ia belikan untuk Hanin.

Saat dirinya tengah berada ditengah-tengah konflik bersama Ana. Ah, Malik ingat saat di mana wajah sedih Hanin saat itu.

Wajah kecewa yang sebisa mungkin gadis itu tahan. Malik menyandarkan kepalanya di sisi ranjang. Menatap langsung wajah cantik yang masih saja terlelap itu. "Hanin," bisik Malik.

"Kamu tau nggak? Aku kangen banget sama kamu."

"Tadinya aku mau pulang besok. Tapi ... Aku kasian sama Leo," kata Malik lagi.

"Papa kemarin dateng. Dia bilang, dia mau nikah." Malik menghela nafasnya pelan.

Cowok itu melirik Hanin yang masih saja terlelap. "Maafin aku ya, aku udah sering banget nyakitin kamu."

"Asal kamu tau, Nin. Sejauh apapun kita, perasaan aku ke kamu itu nggak akan pernah berubah, Nin," ujar Malik.

"Aku udah mutusin sesuatu."

Malik menarik nafasnya pelan. Cowok itu mengusap pipi milik Hanin dengan pelan. "Aku bakal lepasin kamu," kata Malik.

Ia menegakan badannya. Memejamkan matanya saat merasakan sesak di dadanya.

Pertanyaannya, apakah Malik bisa? Apakah Malik benar-benar yakin dengan keputusannya?

"Aku nggak mau terus menerus nyakitin kamu. Mungkin, dengan perginya aku, kamu bebas, Nin." Malik tersenyum kecut.

Cowok itu beranjak. Ia menundukan kepalanya dan beralih mencium kening milik Hanin dengan lembut. "Aku pulang, ya?" bisik Malik.

Cowok itu melepas cincinnya dan menyimpannya di meja belajar milik Hanin. Setelahnya, ia pergi meninggalkan kamar milik Hanin.

Tanpa Malik sadari, Hanin tidak tidur. Gadis itu langsung duduk bersandar pada punggung kasur.

Meletakan tangannya di dada. Rasanya sesak, mengapa Malik malah memilih opsi itu?

Mengapa Malik begitu tega melepaskan Hanin?

Hanin menangis. Ia menundukan kepalanya. Apa Malik benar-benar yakin dengan keputusannya itu?

Hanin menatap meja belajar di sampingnya. Ia meraih cincin tunangannya.

Malik ... Benar-benar akan melepaskannya? Mengapa rasanya sangat sulit di percaya?

"Malik ...." Hanin tak kuasa menahan air matanya.

Di lain tempat, Malik terdiam tanpa berniat melajukan mobilnya. Cowok itu bersandar pada jok mobil.

Matanya terpejam. Helaan nafas terdengar beberapa kali. "Nggak, lo bisa. Lo bisa hidup tanpa Hanin," gumamnya pelan.

***

Esoknya, Hanin menatap nanar ke arah kue bolu yang sempat ia pesan pada Dena kemarin. Hari ini adalah ulang tahun Malik. Seharusnya, Hanin memberikannya pada Malik.


Tapi ... Mereka bukan siapa-siapa lagi sekarang. Dena mengernyitkan alisnya, gadis itu menepuk bahu milik Hanin dengan pelan. "Nin, kenapa? Malik bentar lagi dateng loh. Lo serius nggak mau persi--"

"Buang aja, Den."

"H-hah?"

Hanin membuang arah pandangnya. Gadis itu memejamkan matanya sesaat. Sesak itu kembali hadir di dadanya.

Astaga, mengapa sulit sekali melepaskan Malik?

"Nin, lo beli pake uang--"

"Buang aja, Dena. Lo nggak denger gue bilang?!" tanya Hanin sewot.

Dena terdiam di tempatnya. Gadis itu menghela nafasnya pelan. Ia yakin, ada yang tidak baik-baik saja dengan hubungan Malik dan juga Hanin.

"Happy birthday, Malik! Happy Birthday Malik! Happy Birthday, Happy Birthday! Happy Birthday, Malik!"

Teriakan Rizki dan juga Ucup yang tengah mengiring Malik ke dalam kelasnya, sontak membuat Hanin mendongkak. "Heh! Kok lilinnya belum dinyalain?" tanya Rizki.

Hanin melirik bolu di depannya sesaat. Gadis itu beranjak. Tanpa di duga, Hanin membawa bolu itu keluar dan membuangnya ke dalam tong sampah.

Perlakuan itu, sontak membuat seisi kelas kaget. Hanin, dengan nafas yang memburu, langsung berlari pergi.

Malik diam di tempatnya. Tangannya perlahan terkepal di sisi jaitan.

"Kalian kenapa?" tanya Rizki.

Malik tak menjawab. Ia memilih melepas tasnya dan duduk di kursinya dengan tenang.

Mengabil ponsel, kemudian memainkannya tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Dena menggebrak meja dengan keras. "Lo apain Hanin?" tanya Dena.

"Nggak ngapa-ngapain. Gue di sini, dia nggak tau kemana," jawab Malik tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.

Dena menggeleng tak percaya. Gadis itu hendak melayangkan pukulan. Namun, Fatur langsung menarik tubuh Dena. "Udah."

"Mau lo apa sih? Nggak bisa ya hargain Hanin sedikit aja?" tanya Dena.

Malik beranjak. Cowok itu memilih pergi meninggalkan kelasnya begitu saja.

Dena melotot. "Cowok edan! Pengen gue giling pake mesin cuci rasanya!"

TBC

Gaes jangan hujat aku:(

Kesel sama Malik nggak nih?

Mau bilang apa sama

Hanin

Malik

Dena

Dan antek anteknya

Btw! Malem ini aku mau post cerita collab aku sama temen aku. Baca ya? Insyaallah bacanya sambil merem!

Dahlah bye

Jan lupa follow IG RP kami ya! Scroll di part atas ada koq:(

See u<3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro