23. Leo dan Ara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di pinggiran lapang, Hanin duduk memainkan kakinya menatap ke arah siswa yang tengah bermain sepak bola saat ini.

Gadis itu menghela nafasnya pelan. Ia beralih menatap jari tangannya sendiri. "Ya udahlah, kalau jodoh mah pasti balik lagi," kata Hanin menyemangati dirinya sendiri.

Gadis itu beranjak. Namun, betapa terkejutnya Hanin kala mendapati Galuh yang kini sudah berdiri di hadapannya. Cowok itu tersenyum, "Kusut banget mukanya. Mau gue bantu strika nggak?" tanya Galuh.

"Bacot ah. Minggir," kesal Hanin.

Galuh berniat mengusap puncak kepala milik Hanin. Namun, sebuah tarikan dan bantingan cukup membuat Galuh tersentak.

"MALIK!" teriak Hanin.

Malik menatap Galuh dengan tangan yang terkepal di sisi jaitan. Cowok itu hendak maju menghampiri Galuh yang sudah tersungkur di atas tanah.

Tapi, Hanin menahan lengan cowok itu. "Kenapa sih?!" tanya Hanin.

Jari telunjuk Malik menunjuk ke arah Galuh. "Keluarga dia, emang nggak tau diri!" ujar Malik.

"Lik! Jaga omongan kamu!" ujar Hanin.

Malik menatap Hanin tajam. Tak lama, bibirnya berdecih. "Kenapa? Udah kemakan rayuan dia?" tanya Malik.

Cowok itu beralih menatap Galuh. "Kakak sama Adik sama aja. Sama-sama perebut," cerca Malik.

Hanin menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang ia dengar. Malik ... Tidak begitu.

Malik yang ia kenal tak pernah menilai orang sembarangan. "Maksud kamu apasih, Lik?" tanya Hanin.

"Apa? Aku bener, kok. Galuh sama Amel sama-sama perebut. Dan kamu ...." Malik menunjuk Hanin tepat di wajahnya.

Hanin terkejut. Gadis itu menahan rasa sesak yang tiba-tiba saja mengalir di dadanya. "Sama aja kaya Papa." Setelah berkata begitu, Malik pergi meninggalkan Hanin yang masih mematung di tempatnya.

Galuh berdiri. Cowok itu tersenyum tipis dan memilih mengusap bahu Hanin pelan. "Malik lagi emosi. Jangan lo dengerin," ujar Galuh.

"Gue kurang apasih sama Malik, Gal?" tanya Hanin.

"Cewek kaya gimana yang sebenernya dia cari?" tanya Hanin lagi.

Galuh menghembuskan nafasnya pelan. Cowok itu memilih menarik Hanin ke pelukannya. Hanin menangis bersamaan dengan usapan lembut di punggungnya. "Gue kurang apa, Gal?" lirih Hanin di sela-sela tangisnya.

Malik yang berdiri tak jauh dari tempat Hanin dan Galuh, tersenyum miris. "Gue yakin Galuh lebih baik buat lo daripada gue, Nin," kata Malik pelan.

Cowok itu akhirnya, memilih pergi dan kembali ke kelasnya.

Hari ini ... Adalah hari ulang tahun paling menyakitkan baginya.

***

"Selamat ulang tahun, Abang!"

Malik yang baru saja membuka pintu, langsung dikejutkan oleh Leo yang sudah membawa bolu kecil di tangannya. Malik menarik sudut bibirnya, tangannya terulur mengacak puncak kepala adiknya. "Makasih, Singa. Bisa aja lo," kata Malik.

"Abang lilinya tiup. Leo panas nih."

"Lilinya atau apinya yang di tiup?" tanya Malik.

Leo berfikir sejenak. "Kalau bisa sih bolunya aja yang Abang tiup."

Malik memilih meniup apinya. Syukurlah, setidaknya ia masih memiliki Leo yang ingat dengan hari ulang tahunnya.

Malik menyesal ... Harusnya ia jangan memutuskam Hanin tadi malam. Jika saja rencananya ia undur, mungkin hari ini ia masih bersama Hanin.

"Abang!" teriak Leo.

"Hah?"

"Tadi kak Anggia dateng. Katanya dia mau ke Surabaya ke tempat Nenek. Mau tinggal di sana. Terus dia nitip kotak gede banget!" ujar Leo heboh.

Malik lagi dan lagi dibuat tersenyum kecut. Sudah melepaskan Hanin, Anggia pergi pula.

Malik menganggukan kepalanya pelan. Cowok itu memilih masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Leo sendirian.

Pria kecil itu menyimpan bolunya di meja. Menatap sedih ke arah kue bolu di depannya. "Mama ... Leo kangen sama Mama."

"Papa juga nggak pulang. Papa nggak temenin Leo main lagi."

"Abang juga sekarang nggak pernah temenin Leo."

"Kak Hanin juga udah jarang main sama Leo lagi."

"Kenapa semuanya tinggalin Leo, Ma?" tanya Leo.

Pria kecil itu menangis dengan senyum yang masih melekat di bibirnya. "Mama cepet pulang, ya? Leo kangen sama Mama."

Leo mencomot bolu yang sempat ia beli bersama Asisten rumah tangganya tadi. Pria kecil itu memakannya. "Biasanya Papa yang beliin ini buat Abang. Sekarang Leo udah gede, Leo bisa beliin buat Abang. Leo pake uang tabungan Leo yang di sekolah, Ma," ujarnya.

Malik yang baru saja keluar dari kamarnya, terdiam menatap adiknya yang tengah berbicara dan terus menerus menyebut nama Mamanya.

Malik menatap Leo sedih.

Kasihan pria kecil itu.

"Leo kangen kak Hanin."

Malik terdiam sesaat. Cowok itu menarik nafasnya pelan. Apa boleh ia meminta bantuan Hanin sekarang?

Ia tak tega melihat Leo seperti ini. Malik menggeleng pelan.

Tidak. Masa iya dirinya sudah menyakiti Hanin, dan sekarang meminta bantuan gadis itu. Tidak tahu diri sekali dirinya.

Malik memilih menghampiri Leo. Cowok itu duduk di kursi kosong di samping Leo. "Banyak gaya lo makan bolu. Biasanya juga makan roti yang seribu," kata Malik seraya tertawa.

"Abang, kenapa kak Hanin nggak dateng?" tanya Leo.

Malik terdiam.

"Abang, Leo pinjem hp Abang. Leo mau ajak kak Hanin makan bolu sama-sama."

Malik memilih menyerahkan ponselnya. Leo tersenyum senang.

Ia mengotak-atik ponsel milik Malik dengan mahir. Setelah menemukan kontak Hanin, Leo memijat tombol vidio call di sana.

"Hal--Eh, Leo?"

Malik diam. Ia kira, Hanin tak akan mengangkatnya. Biasanya, gadis lain jika sedang patah hati akan mengabaikan objek yang membuatnya patah hati.

Mengapa Hanin tidak?

"Kak Hanin! Kakak ke rumah, ya? Leo beli bolu loh. Kita makan sama-sama, Leo tunggu, ya?"

"I-iya. Kakak ke sana sekarang."

Sambungan terputus. Leo menyerahkan ponsel milik Malik kembali. Ia tersenyum senang. "Hore! Abang, Leo mau cerita."

"Kenapa?"

"Leo lebih seneng Abang sama Kak Hanin. Abang jadi punya banyak waktu buat Leo," kata Leo.

Malik mengangguk. "Terus."

"Kalau sama Kak Anggia, Abang lupa sama Leo. Abang selalu ninggalin Leo. Abang juga suka usir Leo kalau lagi berduaan sama kak Anggia. Leo nggak suka."

Malik menelan salivanya susah payah. Benarkah? Sebeda itu perbandingannya?

Mengapa Malik tidak sadar? Apa itu alasan mengapa Hanin menyuruhnya menjauhi Anggia?

Bahkan, Leo yang masih kecil saja berkata demikian.

Astaga, Malik. Seharusnya ia tak melepas Hanin, Hanin hanya butuh dirinya menjauh dari Anggia. Bukan dibebaskan seperti apa yang Malik fikirkan.

"Bego."

***

Hanin dan Malik duduk di sofa dengan Leo dan Ara yang berada di tengah-tengah mereka.

Dua anak kecil itu rusuh memotong kue dengan tidak sabaran. Malik melirik Hanin sesekali.

Jatungnya berdebar. Mengapa mereka jadi secanggung ini?

"Abang, suapin Kak Hanin. Biasanya kan Abang suka suapin Kakak."

Hanin dan Malik seketika terbatuk. "H-hah?" kaget keduanya bersamaan.

Ara memicingkan matanya. "Abang sama Kakak lagi marahan, ya? Nggak baik tau! Kata guru ngaji Ara, nggak boleh marahan sampai tiga hari. Terus kata Bang Fatur, Kak Hanin sama Bang Malik kalau marahan suka se abad. Nggak boleh tau!"

"E-emang, Ara tau se abad itu berapa lama?" tanya Malik.

"Eh, Leo, se abad itu berapa?"

"Satu menit kali." Leo mengangkat bahunya acuh.

Ara mengerjapkan matanya. "Oh, berarti nggak papa ya? Ya udah deh, nggak papa marahannya se abad aja. Daripada lebih dari tiga hari," kata Ara polos.

Sudut bibir Hanin berkedut. Gadis itu tertawa. Malik yang melihat Hanin tertawa, perlahan tersenyum.

Syukurlah, setidaknya Hanin masih baik-baik saja tanpanya. Walau sebenarnya, ia sendiri yang tidak baik-baik saja tanpa Hanin.

"Abang! Suapin kak Hanin!" titah Leo.

Malik menatap Hanin ragu. Gadis itu mengangguk mengiyakan.

Malik akhirnya mengambil bolu yang sudah Leo potong. Ia menyodorkannya pada Hanin.

Hanin menerimanya. "Nih udah." Malik menyerahkan bolunya kembali.

"Ada yang belum tapi apa, ya, Ara?" tanya Leo.

Ara mengetuk jarinya pada dagu beberapa kali. "Waktu Abang ulang tahun, dia cium kening kak Dena."

"Nah! Cium kening kak Hanin!"

Hanin membelakan matanya. Gadis itu menatap Malik yang sama kagetnya. "Anu--"

"Abang cepet! Leo mau main tanah di belakang sama Ara!" pekik Leo.

Malik menghembuskan nafasnya pelan. Cowok itu akhirnya menyimpan tangannya pada rahang milik Hanin, mengecup kening gadis itu lamat.

Tanpa sadar, ia menarik Hanin ke dalam pelukannya. Hanin membulatkan matanya. "Maaf," bisik Malik.

TBC

Leo edan euy><

Ada yang ingin di sampaikan untuk

Hanin

Malik

Leo

Ara

Galuh

See u next chapter

Btw Novel Dari Hanin Untuk Malik masih open PO ya!

Guys, follow RP Instagram kita yuk!

@hanind_mheswra. (Hanin)
@malikrezayn_. (Malik)
@daff.aprasetyo. (Daffa)
@fatur_mhndra. (Fatur)
@gisela_ivi. (Ivi)
@alfariza_ucup. (Ucup)
@hana_frhsy. (Hana)
@dena.andrianaaaa. (Dena)
@ana_andhina. (Ana)
@rizki.anshari_ (Rizki)
@Nayya_graceva.a. (Nayya)
@galuh_aditamasanjaya.

Follow juga ; @Wattpadindah_. & @Octaviany_Indah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro