Epilogue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Hadiah dari sebuah luka ialah cinta, maka dari itu jangan berprasangka buruk dulu."

Langkah Harastha tertahan hanya sebatas di ambang pintu, sangat nampak ragu walau hanya untuk sekadar mengetuk. Berusaha mati-matian menahan gemuruh dalam dada, menguatkan diri untuk menghadapi kenyataan yang ada.

Secara perlahan kepalanya terangkat dengan dibarengi tangan yang juga didekatkan ke arah pintu. Belum sempat terketuk, akses masuk sudah terbuka cukup lebar. Tubuhnya kaku dan menegang, terlebih sosok yang ada di depannya merupakan Hamna, yang tidak lain merupakan ibu kandungnya.

Mereka terdiam dengan hanya saling melontarkan pandangan, dua pasang mata itu bertemu dalam waktu yang cukup lama. Seakan dengan hanya itu pun, sudah menggambarkan apa yang bersemayam di dalam hati terdalam.

Tak kuasa untuk melontarkan kata-kata, Hamna memberanikan diri untuk merengkuh tubuh sang putri yang benar-benar menegang hebat. Suara isak pilu menguar tanpa mampu Harastha tahan, secara perlahan kedua tangannya pun membalas rengkuhan Hamna. Mendapat sambutan demikian, Hamna pun tak sanggup untuk menahan tangis yang juga pecah tak terbendung.

"Bu-bu-na ...," bisiknya hampir tak terdengar, karena tenggelam dalam tangis.

Mendengar hal tersebut, tarikan di kedua sudut bibir Hamna terangkat sempurna, dengan air mata yang tak berhenti berderai. Rasanya sudah sangat lama dia ingin mendengar kata itu keluar dari sela bibir sang putri. Satu kata yang sumpah demi apa pun sangat berdampak untuknya.

Dia tangkup wajah Harastha lembut, membelai wajah yang tertutup niqab secara hati-hati, bahkan dia pun menghapus lelehan air mata sang putri dengan kedua ibu jari. "Astha pulang, untuk menemui Buna, Nak?"

Perempuan bercadar hitam itu mengangguk pelan. Kedua matanya terlihat menyipit, tanda jika di balik kain suci itu dia tengah mengukir senyum.

"Masuk ..., Nak ..., masuk ..., Sayang ...," ujar Hamna yang tanpa segan langsung menggenggam serta menuntun sang putri untuk memasuki rumah.

Harastha mengikuti langkah Hamna, kepalanya tertunduk dalam, tak kuasa untuk melihat sekitar di mana kebanyakan hiasan dinding mayoritas berisi potret sang orang tua dan juga saudara laki-lakinya.

Rumah yang sangat asing, rumah yang bahkan baru dua kali dijejaki. Jika tiga bulan lalu, kedatangannya disambut dengan sangat ramai, sekarang hanya ada Hamna yang terlihat begitu antusias, berteriak meminta para penghuni rumah yang lain untuk menemui mereka.

"Putri kita pulang, A Hamzah ..., dia pulang untuk menemui Bunanya! ...," serunya begitu lantang.

"Hamizan ..., Hazman ..., Hazami ..., Tetehnya pulang," sambungnya lagi.

Si bontot lebih dulu mengambil peran, dia berlari kencang untuk merengkuh kakak perempuannya. "Teteh sehat? Teteh ke mana aja? Azam nyariin Teteh di pesantren tapi nggak ada. Teteh mau tinggal di sini, kan sekarang? Mau kumpul sama kita, kan?"

Harastha terkekeh kecil lalu mengelus puncak kepala adiknya lembut. "Alhamdulillah sehat, Azam sendiri gimana kabarnya?"

Hazami mengangguk tanpa ragu.

Lain hal dengan Hamzah, Hamizan, serta Hazman yang hanya mampu menatap dari jarak yang bisa dibilang cukup jauh. Ketiga laki-laki beda generasi itu seolah saling memaku diri, kakinya sangat sulit untuk digerakkan walau hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk saling mendekap erat.

Hamzah pun ingin melakukan hal serupa sebagaimana yang dilakukan Hazami, tapi hatinya meragu takut menerima penolakan. Terlebih, dia tahu putrinya itu sangat amat menjaga batasan dengan lawan jenis, walaupun dia merupakan ayah kandungnya tapi dia tak bisa menapik jika keasingan cukup kental terasa.

Berbeda dengan Hamizan dan Hazman, keduanya jelas-jelas masih menaruh ketertarikan yang tak bisa dipungkiri sampai saat ini. Terlebih Hazman, yang sedari tadi memilih untuk menunduk dalam serta beristighfar sebanyak mungkin. Perasaan mereka campur aduk, antara sedih dan bahagia menyambut kepulangan Harastha yang sangat amat ditunggu-tunggu oleh kedua orang tuanya.

Pandangan Harastha tertuju pada Hazman, tapi dengan segera dia alihkan. Ternyata perasaannya masih sama, tidak ada yang sedikit pun berubah. Di dalam hati, dia berbisik memohon ampun agar Allah sudi untuk menghilangkan perasaan tidak pantas ini.

Hamna menggandeng Hamzah hingga posisi sepasang ayah dan anak itu saling berhadapan.

Harastha menarik lepas kedua sudut bibirnya lantas berujar, "Apa Papa nggak merindukan Astha? Nggak mau menyambut Astha dengan pelukan hangat?"

Setetes air mata meluncur bebas, tanpa membuang waktu dia pun merengkuh tubuh sang putri dengan sangat erat. Menumpahkan rasa rindu yang selama 24 tahun ini tak bisa tersalurkan dengan baik. Berulang kali dia mengusap puncak kepala Harastha, berterima kasih karena sang putri masih mau untuk menemuinya.

"Buna akan siapkan Astha makanan spesial, Astha suka apa, Nak? Mau apa, Sayang?" ujar Hamna begitu riang.

Tepat saat pelukan di antara mereka terurai, Harastha pun berujar, "Apa pun yang Buna masak insyaallah spesial dan Astha sukai."

Hamna mengangguk singkat, lalu mencium puncak kepala sang putri lembut. "Teteh tunggu di sini, jangan pergi ke mana-mana lagi. Buna akan siapkan menu terbaik untuk menyambut kepulangan Teteh."

Anggukan kecil Harastha berikan.

Dalam hati dia membatin, mensyukuri atas nikmat yang sudah Allah beri. Walaupun bisa dibilang terlambat, tapi dia yakin dan percaya jika memang saat inilah waktu yang paling tepat.

Perlu tiga bulan untuk mengasingkan diri, menenangkan gemuruh hati, dan mencoba untuk merawat lukanya dengan apik, dengan harapan bisa pulih dalam kondisi yang lebih baik.

Ternyata memang benar, hanya waktu yang mampu memulihkan luka. Hanya dengan ikhtiar dan sabar untuk menyikapi apa yang sudah terjadi. Menyesali dan meratapi, tidak akan berdampak apa-apa selain penyakit hati yang mungkin akan kian parah.

"Azam sekarang mondok di pesantren milik Umi sama Abah lho, Teh," akunya berbangga diri.

"Oh ya? Sejak kapan, Dek?"

Hazami tersenyum malu mendengar kata 'dek' yang digunakan Harastha. Biasanya dia akan komplain dan tak terima, tapi kenapa saat ini justru senang dan merasa di-spesial-kan ya?

"Seminggu setelah kejadian besar terjadi di keluarga kita. Azam mau nemuin Teteh, mau bujuk Teteh buat tinggal di sini, tapi ternyata Tetehnya nggak ada. Nggak tahu ke mana, alhasil Azam terjebak di sana, tapi nggak papa sih. Sekarang Azam betah kok belajar agama di sana."

Harastha tersenyum samar. "Alhamdulillah."

Perempuan bercadar itu berdehem pelan, dia menatap sekilas ke arah Hamzah yang sedari tadi menyaksikan interaksinya. "Pak ..., ehm ...., ma-maksud Astha Papa," katanya terbata.

"Iya apa, Nak?" sahut Hamzah begitu lembut.

"Maaf kalau kedatangan Astha mengganggu Papa sekeluarga, Astha hanya ingin meminta maaf atas apa yang sudah Astha perbuat. Astha nggak bermaksud untuk jadi anak durhaka yang membangkang orang tua, Astha hanya perlu waktu untuk menenangkan diri."

Hamzah menggeleng tak setuju. "Kapan pun Astha mau pulang, pintu rumah ini akan selalu terbuka lebar. Nggak ada yang perlu dimaafkan, karena Papa bisa memahami apa yang Astha rasakan. Justru Papa sama Buna yang harus meminta maaf sama Astha. Karena kami sudah terlalu banyak khilaf-nya."

Harastha pun mengangguk kecil. "Buna masih di dapur, kan, Pa?"

"Iya, mau ikut bantu Buna?"

"Kalau diizinkan."

Hamzah terkekeh kecil. "Ya tentu boleh, perlu Papa antar, Nak?" katanya.

"Nggak ah ngerepotin Papa lagi, tunjukkin aja di mana dapurnya. Astha bisa sendiri," tolak Harastha lembut.

Hamzah pun mengarahkan sesuai permintaan sang putri, tanpa mau memaksa. Senyamannya Harastha saja, sebisa mungkin dia akan memperlakukan Harastha dengan baik, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Hamidah dan juga Bima.

Melihat Hamna yang tengah khusyuk berkutat di depan kompor, dengan gerakan hati-hati dia pun menghampiri Hamna. Memeluk sang ibu dari belakang, dan menumpukan dagu di pundak ibunya tersebut.

"Apa ada yang perlu Astha bantu?" tanyanya tepat di samping telinga sang ibu.

Hamna sedikit tersentak tapi dengan cepat dia pun menolah dan tersenyum lebar. "Teteh tunggu aja di ruang keluarga, ngobrol sama Papa dan juga adik-adiknya."

"Kalau Astha maunya sama Buna gimana?"

Hamna tertawa kecil, lalu menarik tangan sang putri agar berdiri di sisinya. "Ya udah sini, bantu Buna aja, Nak."

"Buna maafin Astha ya? Maaf udah buat Buna nangis dan kecewa," ucapnya di tengah kegiatan sedang memotong bahan masakan.

Hamna menoleh singkat lantas berujar, "Buna yang harusnya minta maaf sama Astha. Maafin Buna ya, Sayang? Terima kasih karena Astha masih mau menemui Buna dan juga Papa."

"Kalau kedatangan Astha nggak hanya untuk menemui Papa dan Buna gimana?"

Hamna pun sontak menghentikan kegiatannya. "Maksud Astha apa, Nak?"

Harastha mengukir senyum paling lebar, dia bawa tangan Hamna dalam genggaman. "Astha mau tinggal menetap di sini sama Papa dan Buna. Apa boleh?"

Hamna tak kuasa untuk menjawab, dia hanya bisa mengangguk dengan netra yang sudah berkaca-kaca. Saking bahagianya, dia sampai kembali menitikan air mata.

SELESAI

Padalarang, 13 September 2024

Alhamdulillah akhirnya bisa menyelesaikan naskah ini, terima kasih sudah membersamai selama ± 4 bulan ini. Jazakumullah Khair ya teman-teman, semoga bisa ketemu lagi di lapak baru. ☺️🤗🤲

Boleh minta kritik dan sarannya untuk cerita ini? Semoga endingnya cukup memuaskan ya🤭🤗 ... Kalau ada yang kurang-kurang ya mohon dimaafkan 🙏😊

Oh, ya next project aku akan bawa kisahnya Hamizan dan juga Naqeesya. Penasaran, kuyy ditengok dulu covernya. Gimana nih???

Bismillah semoga lancar dan dipermudah ya untuk ke depannya. Aamiin ☺️🤲

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro