Jilid Ketigapuluh Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jadilah hamba yang pandai dalam memetik hikmah di setiap musibah."

Di atas tempat tidur, ketiga putranya duduk berkumpul. Hamna merasa harus lebih bersyukur lagi, karena dia masih memiliki anak-anak yang tidak meninggalkannya.

"Atas semua yang sudah terjadi biarkan itu jadi cerita yang kita kenang sesekali. Buna jangan sedih lagi, ada Hazman, Bang Hamizan, Hazami, dan juga Papa yang nggak pernah meninggalkan Buna dalam kondisi apa pun," ungkap Hazman terdengar sangat tulus, dan bisa sedikit menenangkan kegelisahan hati Hamna.

Ketiganya memeluk Hamna dengan sangat hangat, saling menguatkan dan juga memberi suntikan semangat. Jika bukan mereka, lantas siapa lagi yang sudi untuk memulihkan luka sang ibu?

"Sepertinya Papa terlambat, sesi pelukannya bisa diulang nggak?" cetus Hamzah yang baru saja muncul seraya menenteng keresek obat.

Hazami turun dari ranjang lalu menarik sang ayah. "Pelukannya berdua aja, kalau rame-rame kasihan Buna. Susah napas nanti."

Hamzah terkekeh kecil, dan tentu saja tak menolak. Dia langsung memeluk istrinya dengan sangat hangat. "Sudah lebih baik, Nona?"

Hamna pun mengangguk kecil. "Alhamdulillah."

Dengan gemas Hamzah mengacak rambut Hamna, lalu mendaratkan kecupan singkat tepat di dahinya. "Minum obat dulu supaya makin fit. Sudah makan, kan?"

"Sudah, tadi Naqeesya yang suapin."

"Disuapin mantunya mau, giliran disuapin suami sendiri nolak terus ya," celoteh Hamzah.

"Aa kurang ahli dalam hal bujuk membujuk."

Hamzah hanya tersenyum samar lalu menyerahkan gelas serta obatnya pada sang istri. Hamna pun langsung meneguknya tanpa banyak berkomentar.

"Naqeesya-nya mana, Bang? Kok nggak kelihatan."

"Di kamar lha, abis Azam ciduk karena mojok berduaan sama Bang Hamizan. Kak Sya malu pasti, makanya dia nggak keluar-keluar kamar lagi," serobot Hazami menyela.

"Kenapa kamu yang sewot, Zam? Bang Hamizan sama Naqeesya, kan udah nikah, halal hukumnya. Mau ngapain juga bebas, suka-suka mereka," timpal Hazman.

"Apaan sih pikirannya jangan traveling, Abang sama Naqeesya nggak ngapa-ngapain juga. Si Azam aja tuh yang hobinya ngerusuh!"

"Dihh, Azam lihat pake mata kepala Azam sendiri ya. Hampir nggak berjarak itu badan, nempel udah kayak perangko, telat dikit terjadi hal yang iya-iya pasti," ceplosnya.

Hamizan turun dari ranjang. Tidak akan ada habisnya kalau dia terus berdiam diri di sini, pasti Hazami akan menjadikan dirinya sebagai bulan-bulanan.

"Tuh, kan mau lanjut part dua pasti," ocehnya lagi saat melihat langkah sang kakak mulai bergerak.

"Ngiri kamu, Zam? Makanya nikah sana!"

"Alah nikah hasil cidukan warga aja bangga!"

Detik itu juga sandal yang dikenakan Hamizan melayang apik di kepala sang adik.

"Impas ya, Zam. Tadi juga, kan kamu nimpuk kepala Abang pake sendal!" setelahnya Hamizan benar-benar berlalu pergi.

Sedangkan yang lain hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Hamizan dan juga Hazami. Sepasang kakak beradik ini memang selalu ada saja tingkah polahnya.

"Tunggu pembalasan Azam ya, Bang," katanya lantas melesat pergi untuk mengejar langkah sang kakak.

Memang yang paling aman damai itu hanya anak tengah, si sulung dan si bontot selalu saja bertingkah. Tapi, justru itulah yang membuat rumah terasa hidup dan ramai.

"Akang kapan balik ke pesantren?" tanya Hamna setelah beberapa saat berkawan geming.

"Setelah memastikan Buna dan Papa benar-benar bisa Akang tinggal. Memastikan semuanya sudah dalam kondisi baik-baik saja," putusnya.

"Buna titip Tetehnya ya ...," pinta Hamna melirih.

Hazman mengangguk patuh. "Buna nggak usah khawatir insyaallah Ustazah Astha akan aman dan baik-baik saja."

Hamna menepuk lembut pundak sang putra. "Maafin Buna sama Papa ya, Kang, pernikahannya jadi bat---"

"Kok malah minta maaf, itu namanya bukan jodoh. Lagian mana bisa saudara kandung menikah, dilarang agama atuh, Buna. Udah ah, jangan bahas yang sedih-sedih terus," sela Hazman cepat.

"Papa harap kamu bisa mengolah perasaan dengan bijak ya, Kang," imbuh Hazman merasa sedikit cemas.

Dia teringat dengan cerita Hazami yang mengatakan jika di antara Hazman dan Harastha seperti ada sesuatu, perasaan yang tak seharusnya tumbuh di antara sesama saudara.

Hazman sedikit menarik sudut bibirnya. "Sedang Hazman usahakan, semoga Allah mudahkan."

"Papa percaya Akang bisa jaga amanah, tapi jujur Papa masih cukup khawatir."

"Hazman nggak bisa membohongi diri, kalau sampai saat ini perasaan cinta itu masih cukup kuat. Tapi, Hazman akan alihkan supaya cinta itu bisa berubah jadi kasih sayang, selayaknya seorang adik pada kakaknya."

Hamna menyugar rambut sang putra. "Gara-gara kekeliruan Buna di masa lalu, kamu jadi terlibat perang rasa dengan saudara kandung sendiri. Semoga Allah segera hilangkan perasaan itu, dan Allah ganti dengan perempuan yang memang baik untuk Akang di masa depan ya."

Hazman memilih untuk merebahkan kepalanya di atas pangkuan sang ibu, menyelami setiap elusan yang diberikan oleh Hamna. "Buna nggak perlu minta maaf, jalan takdirnya memang seperti ini."

"Akang jangan bosen-bosen buat kasih kabar Buna sama Papa. Kalau ada apa-apa langsung kabari kami ya?" pinta Hamna.

"Iya, Akang usahakan untuk tetap memprioritaskan Buna dan juga Papa."

"Hazami akan ikut balik ke pesantren juga, Kang?" tanya Hamzah.

Dia mengangguk cepat. "Hazami sudah janji sama Hazman mau benar-benar mendalami ilmu agama di sana. Walaupun Hazman yakin, alasan dia mau mondok karena adanya Ustazah Astha. Mereka cukup dekat, dan hanya Ustazah Astha yang bisa menjinakkan anak itu."

"Di satu sisi Buna senang karena Akang dan Hazami bisa lebih dekat dengan Harastha, bisa memperhatikan Tetehnya dengan jarak yang cukup dekat. Nggak seperti Papa sama Buna yang hanya bisa memantau dari kejauhan. Namun, di sisi lain Buna juga sedih karena harus ditinggal kalian dalam waktu yang bersamaan. Sekarang hanya sisa Bang Hamizan, itupun kalau dia mau tetap tinggal sama kami. Buna nggak mau menahan Bang Hamizan dan Naqeesya kalau seandainya mereka ingin pindah rumah," ungkapnya sebisa mungkin berusaha untuk tetap tegar.

"Akang akan lebih rutin mengunjungi Papa dan juga Buna. Mungkin nanti pulangnya dengan formasi lengkap, Hazman bawa serta Ustazah Astha untuk menemui Papa dan juga Buna. Aamiin, insyaallah akan Hazman usahakan untuk kebahagian kalian," pungkasnya penuh akan keyakinan.

"Terkait pernikahan Bang Hamizan dan juga Naqeesya akan jauh lebih baik kalau dibahas lebih lanjut dengan menyertakan Ayah dan juga Bunda. Mau bagaimanapun pernikahan bukan ajang main-main, terlebih kemarin Naqeesya ngomong langsung sama Hazman akan meminta talak pada Bang Hamizan," sambungnya lagi.

"Itu memang sudah Papa rencanakan, tapi karena belum ketemu waktu yang pas alhasil hanya jadi wacana. Insyaallah secepatnya kita akan berembuk untuk mencari jalan tengah terbaik," sahut sang ayah.

"Naqeesya mengeluhkan soal mahar hasil patungan, apa Bang Hamizan sudah mengganti uang Ayah dan juga Papa?"

"Selesai akad pun Hamizan langsung transfer, Kang. Sudah lunas, nggak ada hutang-piutang."

"Buna bisa mengerti apa yang dirasakan Naqeesya, menikah dalam kondisi terpaksa dan terdesak itu nggak mudah, apalagi posisinya dia hanya dijadikan sebagai pengganti, mana mahar yang dia dapat pun nggak sebanding dengan pengorbanannya."

"Papa pun maunya memberikan lebih, tapi uang cash di dompet hanya sisa satu juta, untungnya Dipta mau nambahin supaya harga diri anaknya nggak jatuh-jatuh banget," ujar Hazman diakhiri helaan napas berat.

"Definisi buah jatuh sepohon-pohonnya," keluh Hamna telak.

"Maksud kamu apa, Na?"

Hamna merotasi matanya. "Nggak ingat dulu Aa nikahin saya pun sebelas duabelas sama kasus anaknya? Yang mau Aa nikahi, kan perempuan lain, bukan saya. Mana asal narik gitu aja lagi, bedanya saya lebih sedikit beruntung karena setelah sah langsung dapat rumah dan pernikahan yang bisa dibilang megah. Nggak kayak Naqeesya yang cukup memiriskan dengan hanya akad di balai desa dan disaksikan tatapan penuh intimidasi para warga."

"Kasihan Mantu saya, awas aja kalau sampai Hamizan buat ulah dan bertindak gegabah. Berurusannya langsung sama saya!"

Hamzah dan Hazman meneguk ludahnya susah payah.

"Jangan jadi mertua kayak Mama ya, Na," peringat Hamzah.

Detik itu juga Hamna mendelik tajam. "Ya nggak akan, lha. Kebahagiaan menantu saya jauh lebih utama!"

Padalarang, 11 September 2024

Masalah kalau diselesaikan secara dewasa dan kepala yang dingin, kan adem bawaannya. 🤗☺️😉

Masih mau digaskennn??

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro