15 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika dinding penghalang yang memisahkan dua hati itu luluh lantak, menyisakan perasaan yang kini membara bak dituang minyak tanah. Kulit yang saling bersentuhan di bawah temaram lampu kamar itu silih berganti mengirimkan kehangatan untuk melelehkan ego dan gengsi. Melupakan sejenak sebongkah masa lalu buruk yang sempat membuat sikap Sherly menjadi begitu dingin. Kini hanya desau yang terdengar, mata yang berkabut untuk mencari puncak kenikmatan kala gerimis masih saja turun membasahi ibukota.

Pikirannya sudah kacau balau setiap jemari dan bibir Eric membelai memuja lekuk tubuhnya, lelaki itu menunduk di bawah pusat tubuh Sherly menyapa dan memberi kecupan-kecupan kecil yang membuat otot-otot perutnya langsung mengejang. Tangan Sherly menjenggut rambut Eric menahan lelaki itu untuk tetap di sana menyenangkan dirinya. Tulang punggungnya melengkung tak sabar untuk menyatukan diri bersama Eric tenggelam dalam kubangan api yang bisa membakar mereka. 

Eric beranjak, merangkak perlahan sementara lidahnya tak berhenti untuk bergerilya. Sesaat, dia bermain di puncak dada Sherly lalu memandang wajah kemerahan gadis itu yang dipenuhi butiran keringat berkilauan. Dia menunduk, memberi ciuman lagi sementara tangan kanannya membawa pusat tubuh lelaki itu untuk bersatu dengan Sherly. Pinggulnya bergerak lamat-lamat mencoba bermain tak terlalu cepat.

Sherly mendorong tubuh Eric hingga berguling sampai posisinya berada di atas, mengurung tubuh kekar itu seolah dia bisa mengalahkan permainan panas mereka. Pinggulnya naik turun menaikkan tempo ketika tubuh Eric menyentaknya. Mulut Sherly terbuka, matanya terpejam saat gelombang yang diberikan Eric akan datang. Lelaki itu pun sama, Sherly terlalu pintar membalikkan keadaan padahal selama ini dialah yang memegang kendali. 

Kecuali malam ini...

Saat permainan itu semakin cepat hingga gelombang kenikmatan datang bersamaan, meledakkan dua insan bagai bunga api yang menerangi gelapnya malam. Eric menyerukan nama Sherly dengan deru napas yang memburu. Jantungnya sudah meletup tak mampu memompa darah untuk menetralkan pikirannya yang sudah menancapkan bendera putih. Dadanya sudah berada dalam fase mati suri namun sudut bibir Eric yang terangkat penuh mengisyaratkan kalau dia begitu bahagia. 

Dirangkul tubuh Sherly tanpa melepas penyatuan mereka. Aroma tubuhnya dan tubuh Sherly bersatu, semerbak bunga, vanila, juga aroma musk miliknya berbaur dengan sisa percintaan panas. Eric membelai pipi Sherly lembut, mendekapnya erat seolah tak rela jika semesta memisahkannya lagi. Lima tahun baginya sudah cukup untuk kehilangan Sherly. Kali ini Eric tidak ingin gadisnya pergi apa pun alasannya. Dia hanya perlu pintar-pintar mengorek sisi lain yang disembunyikan gadis itu untuk mengetahui apa yang menyebabkannya menjadi begitu dingin. 

"Gue ... enggak bisa melupakan semua yang kita lewati," kata Eric dengan suara serak. Tangan kanannya kini kembali menelusuri leher lalu merangkak turun ke tulang punggung Sherly. Dia berhenti tepat di tulang ekor yang merupakan titik sensitif Sherly. "Hati lo ... gue ... enggak bisa menemukan orang yang bisa mencintai gue seperti lo."

Sherly mendongak hendak memisahkan diri dari penyatuan itu, namun Eric menolak malah memeluknya makin erat tak peduli Sherly akan kehilangan napas. Sherly menutup wajahnya dengan tangan menyembunyikan kekalutan yang menyelimuti hati. Dia dirundung rasa dilema. Antara perasaannya yang masih tertinggal atau rasa benci terhadap keluarga Prasaja. Kadang dia menyalahkan diri sendiri kenapa harus menaruh hati pada Eric. 

Tapi, bukankah cinta tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan berlabuh? Cinta juga tidak butuh alasan, kan? 

"Hei, kok nangis?" Eric sedikit panik melihat Sherly terisak. 

"Gue harus pulang," pinta Sherly gemetaran. 

"Ini jam satu pagi, Sher. Bahaya lo pulang. Lagian kan besok weeekend. Di luar juga masih hujan."

"Gue ..."

"Anggap masalah yang ada dalam kepala lo hilang, please," kata Eric memohon. "Lo tahu gue masih menginginkan lo, Sher."

Sherly tak mampu berkata saat merasakan betapa penuh diri Eric di dalamnya, berdenyut seakan ingin memulai permainan itu lagi. Eric menarik dagunya untuk mempertemukan iris mata mereka yang dilanda gairah tak berkesudahan, mengecup lembut kening Sherly dan berbisik, "Gue enggak akan melepaskan elo lagi. Apa pun yang terjadi."

###

Mereka baru bangun hampir tengah hari saat ponsel Sherly berdering. Seraya menarik selimut untuk menutupi dada telanjangnya, Sherly meraih gawai itu di atas nakas dan mendapati Sandra menelepon. Sontak saja kedua matanya membelalak dan buru-buru beranjak tanpa membangunkan Eric yang mendengkur di sisi kanannya. Dia jawab panggilan itu dan detik berikutnya Sandra berseru sampai Sherly menjauhkan ponsel dari telinga. 

"Ah, bisa-bisa gue budek," gerutu Sherly. "Apa sih, Nek!"

"Lo di mana anjir, gue Wa dan telepon lo dari subuh enggak ada jawaban. Kita hari ini ada janjian sama klien yang si whistleblower itu."

Ah! Sherly menepuk kening hampir melupakan pertemuannya dengan klien yang sempat dibatalkan kemarin. Sore ini sesuai rencana dia dan Sandra akan mengumpulkan beberapa bukti lain yang sudah didapat pelapor berupa catatan pembelian dan mutasi rekening tiga tersangka. Dia berpaling seraya menggigiti bibir bawah memandangi Eric yang tertidur di sana dengan bertelanjang dada. 

Pandangan Sherly beralih pada detak jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sebelas. "Oke, gue ke tempat lo."

"Napa lo bisik-bisik ngomongnya," celetuk Sandra, "Bentar, nyokap lo kemaren telepon gue. Dia bilang lo enggak pulang semalam. Nginep di mana lo?"

"Astaga, gue udah gede gini masih aja dicariin," gerutu Sherly gemas. "Gue nginep di--"

"Sher," panggil Eric yang nada suaranya sungguh seksi di telinga, memotong pembicaraan Sherly.

"Siapa tuh? Mantan lo ya? Wah ... lo harus--"

Sherly memutus sambungan telepon daripada mendengarkan omelan dan ejekan Sandra kepadanya. Sebelum membalikkan badan, Eric merangkul Sherly dari belakang dan mencium bahu telanjang gadis itu. 

"Lo mau balik?" tanya Eric.

"Nyokap gue nyariin," jawab Sherly tanpa memberitahu kalau Sandra juga mencarinya. "Gue pulang, udah terlalu lo nahan gue di sini."

Eric terkekeh lantas memutar tubuh tinggi nan ramping Sherly yang diselimuti oleh kain selimut. "Gue udah lama enggak ketemu nyokap lo. Gimana kalau kita ke sana? Gue mau sungkem sama calon mertua gue."

"Enggak usah mimpi lo!" ketus Sherly mencoba melepaskan diri. 

"Setelah kita bercinta kemaren, gue kira sifat judes lo bakal ilang," ejek Eric lalu membungkuk dan menggendong Sherly ke kamar mandi. "Gue masih punya beberapa menit sampai lo pulang."

"Eric!" teriak Sherly.

###

Pertemuan itu diadakan di restoran di kawasan Gandaria sesuai perjanjian awal. Tak banyak yang berkunjung karena selain memiliki konsep private dining harga makanan yang ditawarkan juga mahal. Namun, Sherly tidak memedulikannya selama tidak ada seorang pun yang tahu tentang siapa si whistleblower. 

Lelaki bertubuh pendek yang kepalanya botak itu mengenakan masker hitam dan memberikan sebuah file dalam map cokelat kepada Sherly namun diterima Sandra. Si pelapor berbisik tentang kecurigaannya selama bekerja di perusahaan alat kesehatan yang bekerja sama dengan Singapura itu. Di antaranya adalah tiga distributor yang bekerja sama dengan PT. Asa Sehat dan Rumah Sakit Sejahtera hanyalah karangan bukan real.

"Selain itu, saya juga sering melihat direktur bersama seorang wanita," ujarnya.

"Wanita?" ulang Sherly gugup. 

"Gue denger kalau direktur ini suka main cewek," bisik Sandra. 

"Tapi ini kan tidak ada hubungannya dengan kasus yang sedang kita tangani," tegas Sherly. "Sebaiknya kita fokus dulu dengan penggelapan dana ini baru ke yang lain."

"Ah, benar," ucap lelaki itu. "Maaf. Tapi ... apakah saya benar-benar aman?"

"Maksudnya?" Sandra mengernyitkan alis. 

"Semua bagian keuangan sedang diselidiki oleh seseorang kepercayaan direktur. Saya takut jika hal ini akan membuat hidup saya tidak tenang. Walau desas-desus, kekuatan direktur dan koneksinya dengan orang-orang penting tidak bisa disepelekan."

Sherly menggeleng tak habis pikir dengan kelakuan Gatot yang rakus uang juga wanita. Sepertinya dia harus mengorek siapa saja orang-orang penting yang membantu Gatot untuk memeriksa karyawannya sendiri. Bisa jadi mereka adalah pelaku lain yang tidak terendus. 

"Sher, bukannya Eric anaknya si Gatot? Lo ..." bisik Sandra ragu.

"Lo mau gue jadi cepu?" Sherly menatap tajam Sandra seakan tahu isi pikiran temannya. 

"Siapa tahu kan? Lagian banyak juga kok jaksa yang terseret kasus korupsi. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Sher," tandas Sandra. 

"Tapi, gue tahu siapa Eric, San."

"Mas Eric?" sahut lelaki itu terlihat kaget. "Setahu saya, Mas Eric sudah keluar rumah sekitar enam tahunan. Hubungan dia sama keluarganya juga rada renggang."

"Renggang? Kenapa?" kini Sherly dilanda rasa penasaran. Padahal seingatnya dulu, Eric adalah kebanggaan Gatot yang sempat diharapkan jadi penerus perusahaan. Sayangnya Eric menolak mentah-mentah dengan alasan ingin mengabdi kepada negara sebagai penegak hukum. 

Mungkinkah karena alasan kecil itu Eric hengkang dari rumahnya? Tidak. Sherly yakin bukan hanya itu saja. Pasti ada sesuatu yang lain yang disembunyikan Eric darinya. Terlebih dia adalah anak emas Eveline, mana mungkin Eric tega meninggalkan ibunya itu.  

Lalu apa?

***

Gimana? Panas dingin enggak baca part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro