14 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Media sosial gempar dengan adanya penangkapan seorang petinggi perusahaan alat kesehatan berbasis di Jakarta Selatan. Tak hanya direkturnya saja melainkan kuasa direktur dan ketua pengadaan barang rumah sakit Sejahtera juga ikut terseret dalam kasus penggelapan dana alat kesehatan. Mereka ditahan oleh kejari Jakarta Selatan tak lama setelah menerima surat aduan. Otomatis sorot kamera tidak henti-hentinya menayangkan wajah-wajah pelaku termasuk istri direktur yang bekerja di rumah sakit tersebut sebagai ahli bedah saraf. 

Rumah mewah berlantai dua dengan pagar tinggi di kawasan Pantai Indah Kapuk dipenuhi oleh pencari berita untuk mengetahui kondisi terkini penghuninya. Dokter Eveline--istri dari sang direktur PT. Asa Sehat memilih berlalu menggunakan mobil ketika keluar dari kediamannya. Asisten rumah tangga di sana juga tidak banyak memberi komentar atas kasus yang menimpa majikan mereka karena tidak ingin ikut campur. 

"Direktur utama PT. Asa Sehat, Gatot Prasaja beserta dua rekannya yaitu kuasa direktur Eko Sahandi dan ketua pengadaan alat kesehatan rumah sakit Mawardi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Gatot Prasaja diduga melakukan penggelapan dana alat kesehatan senilai tiga milyar rupiah," terang si pembawa acara dengan tegas.

Eric dan Sherly yang menyaksikan berita itu di sebuah rumah makan pinggir jalan hanya terdiam seribu bahasa. Beruntung pertemuan rahasianya ditunda esok sore sehingga tak perlu Eric tahu kalau Sherly sedang menangani kasus penggelapan dana yang dilakukan oleh Gatot. Dua porsi nasi padang yang seharusnya bisa menjadi penyemangat setelah Jakarta diguyur hujan deras tak lagi menarik minat. Terlebih ekspresi Eric yang tak bisa diraba Sherly mengenai kasus yang menyeret ayahnya itu.

"Lo enggak apa-apa?" tanya Sherly. 

Lelaki itu tak menjawab, hanya mengaduk nasi padang yang tertinggal setengah porsi lagi. Lalu dia menghela napas membesarkan hati dan menatap Sherly kemudian berkata dengan lesu , "Enggak apa-apa."

"Ya udah muka lo biasa aja. Kayak lo yang bakal kena hukuman mati aja," ketus Sherly. "Makan!"

"Enggak nafsu gue," kata Eric menaruh sendok. 

"Lo makan atau gue jejal itu sendok ke mulut lo!" ancam Sherly membuat Eric mau tak mau menuruti perintahnya. "Meski lo ada masalah, lo harus makan!"

Eric kembali menyendok dan mengunyah nasi padangnya sambil menopang pelipis dengan tangan kiri mengamati sikap Sherly yang begitu perhatian padanya. Sejudes apa pun gadis tinggi itu, tetap saja ada sisi baik Sherly yang tak semua orang bisa melihat. Tak berapa lama dering ponsel Eric berbunyi, Cantik kembali meneleponnya membuat Eric mendengus kesal membuyarkan imajinasi liar dalam kepala. Dia segera menolak panggilan itu dan menonaktifkan ponsel agar tidak seorang pun mengganggu kebersamaannya dengan sang mantan terindah. 

"Karena lo enggak punya acara, gimana kalau lo anter gue pulang sampai apartemen?" kata Eric. "Lagian di luar juga hujan.

"Modus banget lo." Sherly melirik jam di tangan kirinya. "Ah, lo kan ada acara sama cewek itu. Suruh dia jemput lo lah, kok gue."

"Udah gue tolak," tandas Eric sudah menghabiskan nasinya dengan kekuatan penuh. Menunduk sebentar melihat raut Sherly yang sedikit memerah. Mungkin masih cemburu, pikirnya. "Gue pengennya sama elo."

Hanya ucapan itu saja Sherly langsung membeku, untung saja makanannya sudah habis begitu juga dengan milik Eric. Dia meraih gelas berisi teh, meneguknya dengan anggun tak ingin menunjukkan kalau ada sesuatu yang mengganjal hatinya kala Eric menerima telepon dari perempuan begitu mudah. 

"Pengennya sama gue, jalannya sama yang lain," sindir Sherly tak memandang Eric. "Dasar buaya."

"Lo marah?" Eric terkekeh sambil mencolek dagu Sherly.

"Apaan sih colak-colek, lo pikir gue sabun cuci?" Sherly menepuk tangan Eric tak suka. Padahal jantungnya saat ini sudah berdebar tak karuan. "Sana bayar makanannya!"

Eric mengeluarkan dompet berbahan kulit buaya sesuai karakternya sebagai lelaki pencari cinta yang suka tebar pesona. Diberikan dompet tebal itu kepada Sherly dan berkata, "Lo aja, ambil duit gue dan bayar ke kasir. Gue mau nge-vape dulu."

Tak sempat menanggapi permintaan yang terkesan seperti memerintah itu, Eric langsung beranjak pergi ke luar rumah makan seraya mengeluarkan rokok elektriknya dan mengajak berbicara tukang parkir di sana. Sherly mencibir tak terima menjadi babu sambil berjalan mendekati kasir dan membuka dompet hitam Eric. 

Detik berikutnya, gadis berkemeja kuning itu bergeming mendapati sebuah foto lama yang terselip di sana. Foto dua manusia yang pernah terlibat dalam percintaan yang dulu merangkai barisan impian untuk dicapai bersama-sama. Di sana mereka tampak begitu bahagia, tertawa lepas dengan latar belakang seekor jerapah saat mengunjungi kebun binatang Ragunan. Terlihat Eric yang mengenakan kaus polo putih dengan celana jeans serta tatanan rambut ala jamet yang tren kala itu. Sementara dirinya mengenakan kaus putih longgar dengan jeans 7/8 berwarna terang sambil menjunjung gula kapas besar.

Hati siapa yang tidak terhanyut menemukan foto yang sudah sangat lama itu? Apalagi mengingat Eric selalu menggaung kalau dia sudah berhasil melupakan apa yang terjadi di antara mereka. Nyatanya, lidah Eric hanyalah sebagian kecil dari kebohongan yang diikrarkan sang mantan. Sherly berdeham pelan mencoba melenyapkan gelombang masa lalu yang dulu membuatnya mabuk kepayang. Dia perlu berjalan maju tanpa melihat apa yang ada di belakang termasuk kejadian-kejadian romantis bersama Eric.

"Lagian kenapa juga sih dia nyimpen foto jadul ini?" gumam Sherly mengambil selembar uang seratus ribu dan diberikannya kepada kasir. 

###

Perjalanan pulang yang seharusnya menjadi momen paling menyenangkan agar terbebas dari Eric, nyatanya kini menjadi sesuatu yang mulai menggerogoti Sherly. Bagai dua sisi yang berlawanan, dia merasa ingin pergi namun tak merelakan kalau kebersamaan mereka malam ini berakhir begitu saja. Tadi, selepas membayar di rumah makan, lagi-lagi Sherly menemukan sebuah kertas usang yang sudah lusuh dengan tulisan tangan yang jelas itu ukiran tangannya sendiri. 

Akibatnya, lembar demi lembar masa lalu yang dilalui bersama Eric langsung menerjang menciptakan sensasi yang menyesakkan dada. Luka di hati itu kini terbuka lagi berbarengan dengan luka-luka lain yang menyiksa batin Sherly sampai ke tulang. Mereka bertarung dengan gairah yang membekap Sherly atas kepiawaian Eric menyenangkan dirinya. Bayangan kecupan yang berakhir dengan saling menyerukan nama untuk pertama kali terlintas. Juga sebuah janji yang diikrarkan mereka agar tidak pernah ada kata pisah. 

Sherly mendecih, berpaling memandangi jalanan yang masih padat merayap di kala malam sudah menaungi Jakarta dengan gerimis yang menghiasinya. Walau suasana menjadi syahdu tidak menurunkan betapa gemerlap kota besar ini. Sayangnya, seheboh apa pun papan iklan yang menghiasi jalanan tak mampu menerangi betapa kacau perasaan Sherly sekarang. Sialnya, semua ini karena satu surat yang pernah dikirimkan kepada Eric. 

Kamu jaksa. Aku pengacara. 

Satu kalimat yang dulu dia ukir di surat saat Eric menghadapi sidang skripsi bersamaan dengan sebuah fakta yang membuat pesan itu menjadi ujung hubungan mereka. Kini keduanya berhasil mewujudkan apa yang ditulis Sherly. Lantas apakah mereka juga akan mewujudkan impian lain? Membangun keluarga? Sherly menggeleng pelan tidak mau terlalu menaruh ekspektasi tinggi.

Mobil putih Sherly memasuki area apartemen mewah di kawasan Simprug. Gedung-gedung berlantai 24 itu tampak kokoh dengan model bangunan ala 1950-an. Barisan pohon-pohon yang memayungi jalan masuk begitu harmonis dengan lampu taman belum lagi penerangan dari tiap apartemen seakan menjadi bintang yang menerangi gelap malam. Bulan tak tampak karena terlalu malu untuk menunjukkan diri hingga dia memilih bersembunyi di balik gumpalan awan mendung. 

Sherly keluar dari mobil begitu selesai diparkir. Dia menengadah untuk mengisi dadanya dengan udara yang beraroma tanah sebanyak mungkin agar tidak terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Sudah cukup malam ini dia terbawa perasaan dan tak perlu lagi mengenang apa yang sudah lewat. 

"Gue pulang," pamit Sherly. "Kunci gue mana?"

Eric menggenggam kunci mobil Sherly dan memasukkannya ke dalam kantong celana belakang. "Lo udah liat foto waktu kita pacaran di dompet gue?"

"Gue enggak tertarik, Ric, ayo balikin kuncinya!" pinta Sherly mulai cemas karena takut kalau Eric mengurai perasaannya. 

"Lo enggak baca surat yang lo tulis buat gue sebelum lo menghilang?" Eric masih memberondong Sherly seakan tak terima kalau gadis itu tidak memiliki percikan terhadap apa yang terjadi lima tahun silam. 

"Gue udah enggak tertarik dan gue lupa, Eric," tegas Sherly. 

"Enggak tertarik? Lupa? Lo juga lupa kemarin kita bercinta?"

"Itu kesalahan terbesar yang kita lakukan, oke. Gue sama sekali enggak--"

Eric menarik tubuh Sherly ke arahnya, menatap lurus ke dalam bola mata itu untuk mencari kebohongan mana lagi yang sedang dilontarkan Sherly. Kontan saja Sherly tak bisa melanjutkan kata-katanya, otaknya seperti dihipnotis oleh padangan intens Eric serta wangi tubuh yang sudah menjadi candu baru. 

"Lo bakal menyesal setelah tahu kebenarannya, Ric," desis Sherly. 

"Tapi gue enggak takut selama lo mau sama gue lagi, Sher," balas Eric membelai bibir Sherly dengan jempol, menempelkan dahinya ke dahi Sherly dan merasakan embusan napas yang menerpa pipinya. "Gue setengah mati nyari tahu apa yang buat lo benci sama gue. Tapi ... gue enggak bisa menemukannya. Gue akui masalah di antara kita terlalu pelik, Sher."

Hujan mendadak datang lagi dan makin lama makin deras tanpa aba-aba, guntur menggelegar mengirim kilatan seolah itu adalah cambuk alam. Beruntung posisi mereka berada di garasi yang disediakan khusus oleh pengelola apartemen sehingga mereka berdua tidak basah. Kejadian seperti ini rasanya Sherly kembali ditarik ke masa lalu saat dia dan Eric bertengkar di jalan. Akibatnya, mereka terpaksa berteduh di depan emperan toko sambil menggigil kedinginan. 

"Pakai jaket gue," perintah Eric memberikan jaket tebalnya. "Lo bakal masuk angin."

"Jangan sok manis lo sama gue!" omel Sherly tapi menerima jaket pemberian Eric. "Inget ya, flashdisk berisi materi ilang gara-gara lo, gue enggak mau tahu pokoknya lusa harus ketemu!"

"Lo kedinginan masih sempet ngomel ya, bawel lo."

"Lo yang bawel! Nih, gue lebih tahan banting dibanding lo anak mami!"

Kedua tangan Eric menangkup wajah Sherly di bawah cahaya lampu area parkir, dia tercengang saat mengetahui kalau gadis itu ternyata menangis diam-diam. Kening Eric mengerut namun semua ucapannya tidak bisa menembus pendirian Sherly atas apa yang disembunyikan darinya. 

Oleh karenanya, Eric menghapus jejak air mata di pipi Sherly dengan kedua jempol dan memberikan satu kecupan di bibir untuk menenangkan gadis itu. Sherly memejamkan kedua matanya, membuka bibirnya menerima perlakuan Eric malam ini. 

Hanya malam ini. 

Seperti api abadi yang tidak kala akan derasnya hujan, kecupan lembut itu berubah menjadi lumatan penuh tuntutan yang menyiratkan betapa gelisahnya dua insan yang sama-sama masih saling tertarik tapi terhalang oleh dinding besar. Sherly melingkarkan kedua tangannya di leher Eric, merekatkan jarak di antara mereka ketika lidah Eric membelai miliknya. 

"Ric..." Sherly melenguh pelan memandang Eric dengan wajah memerah. "Gue ..." ucapannya lenyap di udara karena terlalu malu untuk mengungkapkan apa yang diinginkannya sekarang. Sherly merasa terlalu egois dan naif dalam waktu bersamaan sementara Eric terus-menerus memantik gairah bersamanya. 

"Gue tahu," desis Eric di depan bibir Sherly lalu membawanya pergi menaiki lantai apartemen miliknya. 

***

Yang nggak sabaran boleh banget langsung ke Karyakarsa krna di sana udah tamat. Jangan lupa gunakan kode MudikKitaSenang buat dapetin potongan harga 10rb.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro