35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tak perlu menunggu sang fajar merangkak naik lebih tinggi, mobil bercat putih buatan negeri sakura itu melaju kencang menuju polsek Mampang Selatan seraya menelepon seseorang yang berprofesi sebagai penyidik di sana. Jikalau memang kasus yang menimpa Sherly didalangi oleh kedua orang tuanya, otomatis Eric tidak bisa langsung mendakwa mereka. Hal ini akibat aturan terikat dari kejaksaan bahwa jaksa tidak dapat menuntut keluarga sendiri. Tapi, dia juga tidak kehabisan ide dikala memiliki beberapa koneksi di lembaga perlindungan masyarakat itu. Eric akan meminta bantuan untuk menangkap pelaku yang nyaris merenggut nyawa gadisnya. 

Jika memang Gatot maupun Eveline main diam-diam dengan putra sulung mereka, maka Eric akan melakukan hal yang sama dan lebih keji. Kejadian itu tidak bisa dimaafkan oleh Eric seumur hidup dan bakal terekam terus dalam otaknya. Andai waktu bisa diputar lagi, ingin sekali Eric menghadiahi bogem bertubi-tubi ke pelaku-pelaku tersebut tak peduli nyawa mereka berada di ujung jurang dengan nyeri yang tak tertahankan di setiap tulang. Tak habis pikir pula, bagaimana bisa kedua orang tuanya tega menyuruh seseorang untuk menghabisi Sherly selagi Gatot sedang dalam tahap persidangan? Apakah dia kebal dengan hukum? Atau mentang-mentang anaknya seorang jaksa mampu melobi hakim atau penuntut umum lain untuk meringankan vonis penjara?

Tidak! Sudut bibir tipis Eric terangkat membentuk senyum miring dengan kilat mata tajam. Pasal berlapis yang didapat Gatot akibat penggelapan dana ditambah pembunuhan berencana. Kalau ditilik, mungkin kurungan dua puluh tahun atau bisa jadi seumur hidup tergantung dari keputusan sidang. Malah dia berharap ayahnya mendapat hukuman seberat mungkin agar bisa merenungkan dosa yang sudah diperbuat. Tak lama, mobil milik Eric berhenti sebentar tepat di seberang kelab malam tempat kejadian perkara ketika suara bariton temannya--Adan--terdengar melalui sambungan telepon. 

"Gue mau minta tolong," kata Eric mengawasi sekitar dari dalam mobil. Dia menangkap ada dua petugas keamanan tengah duduk sambil bercengkerama dengan tukang koran. 

"Iya, ada apa?" tanya Adan sambil menguap begitu dering ponsel membuyarkan bunga tidur.

"Gue mau laporan kejadian di Dragonfly, cewek gue habis tabrak lari dan ... ada kemungkinan itu bukan tabrak lari biasa," terang Eric menoleh ke arah belakang khawatir ada mobil lain yang membuntuti. 

"Cewek lo yang mana nih?" Adan terkekeh mengingat Eric seorang buaya kelas kakap. Jadi aneh kalau tiba-tiba lelaki itu menyebut perempuan sebagai miliknya. 

"Sherly Rosalie, tuh pengacara HAD Law Firm. Gue udah deket sama kantor lo, pokoknya lo yang ngurusin ya," pinta Eric penuh harap agar pelaku segera ditangkap. 

"Kenapa bukan sama elo aja biar gampang?  Biar kita selidiki bareng-bareng," tandas Adan.

Eric mencebik gemas. "Gue datang sebagai pelapor bukan jaksa. Lagian belum ada surat perintah."

"Oke, ya udah deh, lo segera ke kantor aja buat kronologinya nanti gue bakal cek berkas perkaranya."

###

Sesampainya di kantor polisi yang berjarak sekitar tiga kilometer dari kelab malam Dragonfly, Eric diarahkan salah satu petugas polisi untuk masuk ke ruang pelayanan masyarakat untuk membuat laporan tabrak lari. Lantas dia disambut seorang polisi berkulit sawo matang dengan rambut yang mulai beruban melempar senyum ramah di balik wajah lelah. Kemudian petugas yang berusia sekitar lima puluhan itu bertanya tentang kronologi kejadian secara detail sembari jemari-jemari yang dihiasi cincin bantu akik mengetik di atas keyboard komputer. 

Dengan membesarkan hati mengulang kejadian yang menimpa Sherly, Eric bercerita sampai matanya memerah menahan gelombang amarah bercampur gelisah mengingat kalau saat ini gadis yang dicintainya belum juga sadar. Eric menambahkan jika ada kemungkinan Sherly dibuntuti orang tak dikenal karena masalah pribadi antara Eveline dengan gadis atau itu akibat menangani kasus korupsi pemimpin PT. Asa Sehat. 

Petugas itu mengernyit kemudian berkata, "Bukannya Gatot Prasaja ayahnya Mas Eric? Bentar, jadi kemungkinan Mbak Sherly ini salah satu pengacara yang melindungi whistleblower?"

Eric terangguk meski sebenarnya tak yakin apakah Sherly benar-benar terlibat tapi mengingat ucapan Sandra di rumah sakit, kemungkinan besar gadisnya memang menangani kasus itu. Tak lama lelaki berperawakan gagah mengenakan seragam polisi dengan postur lebih pendek dari Eric datang, rambut cepak nan klimisnya berkilau diterpa penerangan ruangan. Dia menghampiri Eric yang mengulurkan tangan kanan dan menjabatnya erat sambil berkata, "Gue buru-buru ke sini habis lo telepon."

"Oke, Mas, ini kita proses dulu ya," sahut polisi yang mewawancarai Eric. "Ini Dan, kamu baca dulu berkasnya," lelaki itu menyerahkan hasil print out laporan. 

Adan membaca cepat runut kejadian yang menimpa korban atas nama Sherly lalu bertanya, "Lo mencurigai seseorang enggak? Maksud gue, ketika lo jalan sama Sherly, lo lihat gerak-gerik seseorang gitu?"

Yang ditanya menggeleng pelan, namun dia mendekat lantas berbisik, "Menurut temennya Sherly yang ikut nanganin kasus bokap gue, kemungkinan dalangnya bokap atau nyokap gue sendiri."

"Hah! Serius lo!" Adan memekik hingga seniornya menoleh. "Sinting lo nuduh orang tua sendiri. Ada bukti?"

"Jaman sekarang, orang jahat enggak mengenal dia itu mantan pacar, mantu, mertua, anak, bahkan orang tua, Dan," timpal polisi itu tak sengaja mendengar pembicaraan Eric.

"Tapi, Pak, ini dalangnya orang yang punya kedudukan di Jakarta loh!" Adan masih tak percaya lalu memandang bola mata lelah Eric. "Ric, gue tahu lo benci sama bokap lo. Tapi ini semua--"

"Gue cuma minta tolong lo tanganin ini, Dan, enggak peduli kalau bokap gue dihukum seumur hidup, Gue hanya pengen Sherly aman," pinta Eric memelas. "Gue percaya sepenuhnya sama lo."

###

Tubuh lelaki itu seakan tidak mengenal kata lelah juga rasa kantuk yang sempat menyapa mendadak hilang. Setelah dari kantor polisi dan mengobrol sebentar dengan Adan, Eric langsung tancap gas ke rumah sakit usai mendapat telepon dari Sandra. Mengejar waktu, Eric menekan pedal mobil melaju cukup kencang menuju rumah sakit dengan jantung berdentum tak karuan. Jemarinya gemetaran mengendalikan kemudi dan rongga paru-paru lelaki itu bak kehabisan oksigen sampai Eric terengah-engah mengambil udara dalam mobil yang makin lama makin menipis. 

"Ric! Sherly, Ric! Lo cepet harus ke sini!" seru Sandra gemetaran.

"Ke-kenapa, San. Lo tenang dulu, gue jadi ikut panik ini!" Eric berjalan cepat menuju mobil Ertiga miliknya.

"Sherly kritis lagi, tiba-tiba tekanan darahnya nge-drop! Padahal tadi enggak apa-apa," ujar Sandra sesenggukan. "Ini Tante Sarah pingsan juga."

Begitu sampai di area basemen rumah sakit, Eric melesat keluar dan berlari menuju lift untuk sampai ke lantai di mana Sherly sedang dirawat. Bolak-balik dia melihat arloji berharap kalau gadis itu masih bisa diselamatkan. Dia berjalan mondar-mandir tak sabar mengamati angka demi angka yang tertera di layar lift yang dinilai terlalu lambat. Baginya satu detik itu sangat berharga apalagi kalau menyangkut keselamatan seseorang yang dikasihinya. 

Suara denting lift terdengar, Eric berlari melintasi lorong hampir saja menabrak seorang lelaki tengah menggendong balita. Tak sempat meminta maaf, Eric berlalu begitu saja dengan dada yang makin bertalu-talu dan menyesakkan. Bulir keringat sebesar biji jagung bermunculan ditambah asam lambungnya juga ikut merangkak menuju kerongkongan. Tenaganya sudah di ambang batas akibat belum tidur sama sekali sejak semalam juga belum ada sesuap nasi yang masuk ke perut. Untuk menenggak air pun Eric lupa saking gelisahnya lelaki itu terhadap keadaan Sherly. 

Dia masuk ke salah satu ruang rawat inap ICU VIP ketika Sandra tengah berdiri cemas seraya menggigit kuku jari. Sandra menoleh menangkap wajah cemas Eric lalu berteriak, "Eric!"

"Gimana? Sherly? Tante Sarah?" 

Tubuh kurus Sandra ingin ambruk melihat teman terbaik yang sudah dianggap sebagai saudara itu dalam kondisi sekarat. Buru-buru dia mendudukkan diri di atas lantai keramik ruangan, mengacak rambut menyalahi diri sendiri kenapa harus meninggalkan Sherly sendirian di kamar. Padahal niatnya ingin membeli sarapan untuk mengisi energi selagi Sarah masih terlelap akibat keletihan. Namun, ketika Sandra kembali dari kantin rumah sakit, para petugas medis berlarian ke arah kamar Sherly bersamaan dengan suara seorang dokter memberi arahan untuk mempertahankan nyawa gadis tak bersalah itu. 

"San ... Sherly ... Sherly ..." Sarah mengguncang tubuh Sandra dengan derai air mata mendapati anaknya kritis lagi. "Mama ... tadi ke kamar mandi sebentar loh ..." wanita itu sesenggukan tak kuat melihat penderitaan anak gadis yang disayangi. 

Tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya Eric bergegas menuju nurse station di mana ada beberapa perawat juga dokter yang sedang berbicara sambil sesekali menyebut nama Sherly. Salah satu dari mereka mengisyaratkan kepada dokter bahwa Eric sepertinya ingin meminta penjelasan terkait kondisi terbaru Sherly. 

Dokter yang memakai name tag Pramudya itu melepas kacamata minusnya lalu berkata, "Hampir saja kami kehilangan dia, Mas Eric."

"Emang kenapa kondisi Sherly tiba-tiba nge-drop, Dok?" tanya Eric dengan nada sedikit meninggi. 

"Begini Mas, Eric," kata dokter Pramudya. "Masa kritis pasca operasi perdarahan di kepala memang membutuhkan waktu agak lama bahkan sampai 48 jam. Kami sudah memantau keadaan sampai ..." dia melihat sekilas jam tangan keperakan yang melingkar di pergelangan tangan kanan, "delapan jam ini masih aman. Hanya saja ..."

"Jangan berbelit-belit, saya tidak paham, Dok!" ketus Eric tak sabaran. "Itu Sherly gimana bisa sampai nge-drop?"

Wanita paruh baya itu berbisik, "Bisa kita bicara di ruangan saya?"

Untuk beberapa saat Eric memicingkan mata menaruh curiga. Insting sebagai jaksa yang biasanya ditugaskan untuk menyelidiki kasus pidana pun menyelimuti benak lelaki itu. Ragu-ragu, dia mengikuti jejak kaki dokter yang menangani Sherly masuk ke ruang konsul. Eric menoleh sebentar ke arah Sherly mengisyaratkan agar ikut masuk mendengarkan penjelasan dari petugas medis itu. 

Di ruang konsul yang tidak seberapa besar dan bercat putih bersih itu, Eric duduk dengan perasaan tak menentu sementara Sandra malah penasaran kenapa mereka harus berbicara bertiga di sini. Dokter Pramudya masih terdiam namun jemarinya sibuk membuka rekam medis yang sudah terintegrasi di komputer lantas dia mengarahkan layar 14 inci itu ke arah Eric dan Sandra kemudian berkata, 

"Mungkin kalian mengira saya dan staf di sini melanggar UU ITE karena menunjukkan rekaman CCTV tanpa ada surat perintah dari atasan, tapi karena saya tahu Anda berdua adalah jaksa dan pengacara maka kalian lebih berhak menilai apa yang terjadi pada Mbak Sherly."

Iris mata Eric dan Sandra mengamati dengan serius ke arah layar komputer di mana ada kamera pengawas yang menyorot di ujung ruang VIP yang dirasa diletakkan di atas pintu masuk. Dari sana tampak perawat dan dokter lalu lalang termasuk diri Sandra sendiri yang terlihat keluar dari kamar nomor empat. Beberapa menit kemudian Sarah juga keluar menuju nurse station  yang letaknya berhadapan dengan kamar nomor tiga dan terlihat berbicara dengan perawat dinas malam. Selanjutnya ada seorang perempuan bertubuh sintal yang mengenakan scrub seperti dokter PPDS tampak berjalan mengawasi sekitar lalu berhenti sebentar di depan pintu kamar yang ditempati Sherly. 

"Saya sudah menanyakan kepada staf perawat saya, bahwa jam terakhir injeksi sekitar pukul delapan pagi, sementara orang tersebut masuk pukul delapan lewat tiga puluh menit dan monitor pusat di nurse station berbunyi pukul delapan lewat tiga puluh lima menit," terang dokter Pramudya. "Saya sudah menanyakan kepada PPDS yang jaga semalam bahwa tidak ada dari mereka yang mengunjungi pasien di jam tersebut karena ada morning report di ruang pertemuan."

"Berarti ada kemungkinan besar orang tersebut memasukkan obat yang kita tak tahu, Dok?" tanya Sandra.

Dokter Pramudya melenggut. "Iya, untuk mengetahui obat yang dimasukkan ke dalam tubuh Mbak Sherly kita perlu uji toksikologi. Kalau saya lihat sih, kemungkinan obat keras yang digunakan pada pasien yang mengalami hipertensi di ruang ICU dan untungnya Mbak Sherly bisa bertahan."

"Dia memang kuat," puji Sandra terharu. "Gue enggak terima kalau sampai terjadi apa-apa sama temen gue. Oh iya, Ric, enggak semua kasus bisa dilakukan tes darah itu kan?" tanya Sandra ragu karena seingatnya tes semacam itu dilakukan pada jenazah atau kasus besar seperti narkoba.

"Bener, tapi ... kayaknya gue ada ide, San," lirih Eric mengepalkan tangan menahan geram. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro