38

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jam berdetak lamat-lamat menuju angka satu malam, namun suaranya menggema seakan waktu begitu tak sabar menunggu manusia terbuai dalam mimpi indah. Sementara di luar area rumah sakit, hujan baru saja reda setelah mengguyur hingga mengakibatkan banjir di beberapa sudut ibukota. Menyisakan rintik-rintik yang membuat manusia makin terlena dalam bunga tidur untuk melupakan kenyataan pahit dunia. 

Seseorang tengah mengawasi keadaan sekitar begitu ruang rawat inap yang ditempati Sherly dipastikan hening, lantas menyorot ke arah CCTV yang berada di ujung ruangan tepat di bawah pintu masuk sebelah utara. Nyala lampu merah kamera pengawas di sana berkelip-kelip seakan menunjukkan jika dia tidak akan lelah memantau apa yang terjadi di ruangan berbentuk L itu.

Dia merapikan masker yang menutupi sebagian wajahnya kemudian mengeluarkan sebuah suntikan dari dalam saku yang berisi obat bius dalam dosis besar yang bisa menewaskan target sesuai perintah. Meletakkannya ke dalam baki kecil yang biasa dibawa oleh perawat lengkap dengan alkohol swab sekali pakai. Dia menilik kembali lalu melihat angka di smartwatch yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Pukul 01.10 WIB. Sudah beberapa hari ini dia mengawasi setiap pergerakan dan kegiatan para perawat di sini termasuk jam-jam ketika mereka akan melakukan penyuntikan obat-obatan kepada pasien. Ini dilakukan agar tidak menimbulkan kesan curiga maupun tidak berpapasan dengan petugas medis yang asli. 

Lelaki berbaju dinas jaga perawat berwarna merah bata itu bergerak dengan mengenakan sarung tangan karet layaknya petugas yang akan menggantikan botol infus yang habis. Sambil membawa sebuah bak instrumen berbahan stainless steel, dia mencerling sebentar ke arah CCTV lagi lalu tersenyum sinis di balik masker medis seakan mengejek betapa bodoh kamera pengawas itu. 

Kenop pintu kamar nomor empat terbuka, menampilkan ruang VIP yang terdapat satu tempat tidur pasien lengkap dengan sofa di mana Sandra terlelap di sana. Dia berjalan cepat tanpa suara bak melayang di atas tanah menghampiri target yang tengah tertidur pulas dengan cairan infus menetes perlahan seirama tarikan dada. Diamati sekian detik sebelum akhirnya dia membuka wadah penyimpanan obat untuk menyuntikkan cairan ke selang infus tersebut. 

Tanpa disadari, di balik selimut yang menutupi tubuh si target, Sherly menggenggam erat sebuah pisau kecil. Setelah  mengetahui ada seseorang yang mencelakainya selepas operasi beberapa waktu lalu, Sherly menjadi lebih waspada terlebih Eric berkata kalau kemungkinan orang yang menyerang Sherly akan datang malam ini. Sengaja dia berpura-pura terlelap untuk mengelabui si pelaku padahal jantung Sherly sudah tidak karuan atas apa yang akan terjadi. Di balik bulu matanya, Sherly mengintip untuk merekam sosok lelaki berperawakan tegap mengenakan baju mirip dengan perawat. Sayang, dia tak dapat melihat jelas bentuk mukanya karena tertutup masker dan kacamata.

Ketika si lelaki misterius hendak memasukkan obat tanpa membangunkan pasien sesuai SOP, Sherly langsung menancapkan pisau itu ke paha kanan tanpa aba-aba. Teriakkan tak terelakkan terdengar hingga suntikan yang sedang dipegang jatuh ke lantai tanpa sempat dimasukkan ke selang infus. 

Benda tajam yang menancap di paha dicabut paksa oleh si pelaku sambil menahan nyeri luar biasa bersamaan darah merembes deras dari sana. Dia hendak membalas Sherly yang merusak rencana eksekusinya. Sayang, dewi fortuna seakan sedang tidak memihak si perawat abal-abal ketika Eric keluar dari kamar mandi sebagai tempat persembunyian dan langsung menghajar tanpa ampun. Sandra yang pura-pura terlelap langsung bangun dan menghampiri Sherly apakah gadis itu baik-baik saja, kemudian menelepon polisi untuk menangkap pelaku.

Seperti kerasukan, Eric menghadiahi pukulan di wajah lelaki yang nyaris babak belur itu. Matanya melotot lalu menarik kerah baju lawannya sambil berseru, "Siapa yang nyuruh lo?"

Pria di bawah Eric tersenyum di antara sensasi ngilu yang menyerang setiap tulang termasuk luka di paha yang terasa nyut-nyutan. Mata lebamnya menatap Eric tanpa gentar kemudian berbisik, "Bacot."

Merasa ditantang, Eric ingin meluncurkan pukulan tuk sekian kali namun tertahan kala Sherly menyuruhnya berhenti. Lelaki itu menggeram berusaha meredam emosi yang terlanjur meledak lalu mendorong tubuh si pelaku hingga membentur lantai. Perawat jaga yang dinas malam itu berteriak terkejut menangkap kekacauan yang dilakukan oleh orang tak dikenal. Salah satu dari mereka hendak menelepon petugas keamanan rumah sakit sedangkan yang lain memeriksa kondisi Sherly. Eric menoleh lalu berkata, 

"Sudah kami tangani."

"Dia mau menyuntikkan obat yang tidak saya tahu," sahut Sherly menunjuk ke arah alat suntik yang menjadi saksi bisu itu. 

Perawat berpotongan cepak memungutnya dengan sarung tangan karet agar tidak meninggalkan sidik jari kemudian menimpali, "Sungguh kami minta maaf atas kejadian ini, Mbak Sherly. Astaga ... siapa dia?"

"Bukan Anda yang salah, tapi oknum yang mau mencelakainya," sahut Eric. "Sekarang kita tunggu polisi datang buat menjebloskan dia ke penjara."

###

Tak lama beberapa polisi datang ke TKP dan memborgol pelaku hingga membuat kegaduhan di ruangan itu. Eric dan Sandra memberikan beberapa keterangan tambahan agar bisa memberatkan hukuman yang diterima lelaki yang berjalan terpincang-pincang di sana. Tak lupa, Eric memberitahu kalau insiden ini ada kaitannya dengan kecelakaan yang menyebabkan Sherly hampir tewas. Dia meminta kepada polisi untuk segera mengusut tuntas termasuk siapa dalang di balik semua ini. 

"Oh iya," ucap Eric menahan salah satu polisi yang akan pergi. Dia mengeluarkan sebuah alat rekaman berbentuk persegi panjang berukuran kecil kemudian menyerahkannya kepada polisi itu. "Ini ... bukti rekaman percakapan yang berhasil saya dapatkan bersama Sandra."

Untuk sesaat Eric menarik napas panjang menghalangi gelombang emosi yang ingin menguasainya lagi. Matanya memerah dan berkaca-kaca kalau rekaman yang didapat ternyata berhasil merobek-robek hati lelaki itu. Entah apa yang menjadi ambisi orang yang tega merencanakan untuk menghabisi Sherly padahal dia hanyalah seorang pengacara yang ingin melindungi pelapor. Tapi, Eric juga disadarkan kalau profesi seperti ini memang sangat berisiko besar seperti halnya kasus penyiraman air keras atau pembunuhan saksi kunci kasus korupsi. 

"Baik, terima kasih," ucap polisi menerima barang bukti untuk diselidiki lebih lanjut.

Setelah mereka pergi membawa pelaku penyerangan ke kantor polisi, Eric menyeret kedua kaki untuk menenangkan diri di luar ruang rawat inap sambil bersandar di bangku semen tempat keluarga pasien biasanya duduk di sana. Dia menengadahkan kepala mengamati temaram lampu lalu mengedarkan pandangan ke sekitar di mana lorong rumah sakit tampak hening. Hanya suara jangkrik maupun cicak-cicak saling bersahutan ditambah rintik air hujan masih terdengar menyentuh atap-atap memenuhi rasa kesepian yang membelenggu lelaki itu. 

Sejenak pikirannya melayang ke rentetan peristiwa dan membatin bagaimana semua ini bisa terjadi padanya secara beruntun. Seberkas ingatan tentang suara dalam rekaman itu juga menggema di telinga, menggetarkan dada Eric sampai bulir air mata tanpa sadar sudah menetes dari ekor matanya. Segera dihapus jejak basah itu seraya menekankan diri kalau tak semestinya Eric bersikap lemah di saat Sherly tengah berjuang untuk tetap hidup. 

"Dokumen kasus Bapak tidak ada di sana," lapor seorang lelaki bersuara berat. "Saya sudah membongkarnya di kantor HAD."

"Rumahnya?" kini terdengar suara bass yang terkesan menuntut. 

"Terlalu mencurigakan dan saya yakin dokumen itu tidak ada di sana," balas si pelapor. "Sherly terlalu cerdik, Pak."

"Bereskan saja dia."

"Tentu. Untuk malam ini, saya sudah siapkan sesuatu atas bantuan Ibu Eveline. Selanjutnya, kami akan eksekusi tanpa jejak."

"Bagus! Jangan sampai ketahuan Eric. Dia sudah terlalu curiga sama saya."

"Tapi, dia tidak bisa sembarangan menuntut Bapak kan?" tanya si pelapor seakan tahu aturan hukum menjadi jaksa. "Tapi ... tidak menutup kemungkinan dia bisa jadi saksi dalam insiden kecelakaan mobil itu." 

"Maka dari itu kita harus bermain rapi. Setelah selesai membunuh Sherly, kamu segera kamu dengan semua tiket dan paspor yang sudah saya siapkan. Pergi dari negara ini dan putuskan komunikasi kita berdua."

"Baik, Pak. Terima kasih banyak."

"Andai kita tidak bertemu apakah semua akan masih seperti ini?" gumam Eric tersenyum getir. 

"Ric," panggil Sandra mendatangi lelaki itu. "Lo dipanggil Sherly tuh. Ada yang mau dia bicarakan."

Eric menyeka air matanya lagi membuat Sandra merasa iba. Dia menepuk pundak sang jaksa lalu berkata, "Sabar ya. Gue enggak bisa bantu apa-apa selain bilang kalau lo dan Sherly pantas berbahagia setelah masalah ini selesai."

"Thanks," jawab Eric datar. 

"Gue akan memberi kalian privasi untuk ngomong berdua," kata Sandra lagi.

Eric mengangguk tanpa menimpali ucapan Sandra lantas berjalan cepat ke kamar Sherly. Dibuka pintu bernomor empat itu dan langsung bertemu tatap dengan sang mantan yang terbaring menanti dirinya datang. Eric menarik napas sebanyak mungkin untuk menambal lubang besar yang ada di dalam dada lalu melempar senyum tipis ke arah gadis itu. Kemudian, tangan kanannya menutup pintu seperti sedang membuat sebuah ruang pribadi yang hanya bisa dimasuki mereka berdua. Sungguh Eric penasaran apa yang ingin dibicarakan Sherly dengannya jika ditilik dari ekspresi muka sang mantan yang menatapnya tanpa henti.

Eric mendudukkan diri di kursi sebelah kanan Sherly lalu menarik tangan lembut sang mantan sekadar memberi kekuatan kalau mereka berdua bisa melewati cobaan ini. Tidak ada perlawanan seperti biasanya. Mungkin Sherly ikut lelah, pikir Eric. Dikecup pelan punggung tangan Sherly, merasakan betapa hangat dan nyaman telapak tangan gadis itu menyentuh kulitnya. Dia mendongak, memandang lurus bola mata Sherly dan berkata,

"Apa yang ingin lo bicarakan?"

"Lo enggak apa-apa?" tanya Sherly melepas tangan yang dipegang Eric lalu membelai wajah yang terbingkai rahang tegas itu. "Lo kelihatan lelah."

Tentu saja bibir Eric langsung terbuka sedikit mendengar penuturan Sherly yang mengkhawatirkannya padahal dirinya sendiri saja sedang terbaring sakit. Dia mengatupkan bibir mengalangi semua kalimat betapa dia benar-benar lelah dengan keluarga Prasaja. Andai bisa pun, Eric ingin mengganti nama belakangnya menjadi nama lain agar terlepas dari bayang-bayang orang tuanya yang terlalu ambisius memupuk kekayaan. 

Pada akhirnya Eric hanya menggeleng lemah lantas memegang tangan Sherly agar tetap di pipinya. "Gue malah khawatir sama elo, Sher."

"Gue enggak apa-apa selama ..." ucapan Sherly terhenti beberapa saat namun tak dilanjutkan ketika gadis itu berpaling menghindari tatapan intens Eric. 

Mendadak udara di sekeliling Sherly berubah panas membakar dirinya dari dalam sampai ke tulang. Meningkatkan desiran darah sampai dadanya ikut bertabuhan menimbulkan gelenyar aneh yang memenuhi perut. Sebesar apa pun usahanya untuk menghindar, tetap saja perasaan atas masa lalu di antara keduanya tak bisa lenyap begitu saja. Ingin sekali Sherly pergi dari sini agar Eric tidak perlu tahu bahwa sejujurnya dia masih menyimpan secuil kenangan dan rasa yang ada di benaknya. Perasaan itu ternyata telah tumbuh tanpa sadar selama kebersamaannya dengan Eric. Bahkan pikiran Sherly juga terbayang-bayang akan malam penuh gairah bersama jaksa tampan di sampingnya ini. Sherly mengepalkan kedua tangan kala Eric menarik dagunya untuk mempertemukan iris mata cokelat mereka. 

"Kenapa?" tanya Eric penasaran. 

"Lo berpikir gue pasti gila," jawab Sherly. "Tapi ... gue merasa kalau ... hubungan kita ini ... mungkin bisa diperbaiki lagi, Ric."

"Hah?" Eric menganga beberapa saat. Namun, wajahnya langsung bersinar bahwa sang mantan ternyata juga memiliki hal yang sama dengannya. Cinta mereka di masa lalu terlalu kuat untuk diruntuhkan hanya karena hubungan gelap kedua orang tua. Detik berikutnya dia menggelang pelan seakan tidak yakin, mungkin saja telinganya salah mendengar ucapan Sherly kan? Dia tidak mau langsung berbesar hati karena hafal dengan kelakuan Sherly yang bisa menjatuhkan harapan orang. 

"Mungkin kita bisa memperbaiki hubungan ini setelah semua kasus selesai, Ric," lanjut Sherly lebih tegas mengunci tatapannya pada bola mata Eric. Air mukanya tersipu dan jujur saja dia belum pernah mengatakan hal semanis madu kepada lelaki kalau bukan Eric. "Gue sama elo."

"Gue pasti mimpi," gumam Eric masih tak percaya. 

Gemas, Sherly menangkup wajah Eric kemudian mengecup bibir lelaki itu dan memagutnya pelan. Sontak saja sentuhan lembut seperti ini berhasil membangunkan pikiran lambat Eric bahwa ucapan yang dilontarkan sang mantan memang benar adanya. Dia tersenyum lalu menerima cumbuan Sherly, menahan tengkuk leher gadis itu agar tetap berada di posisi ini. Keresahan yang sempat melingkari dua insan itu berganti dengan gelombang rindu setinggi langit kemudian pecah bagai kembang api yang meledak di langit. 

Rasa sakit yang diderita Sherly langsung menguap ketika Eric mencumbunya penuh hasrat. Aliran dalam darahnya makin cepat bersamaan getaran yang mengaduk-aduk perut Sherly. Mungkin kupu-kupu di dalam sana sudah tak sabar keluar untuk memberitahu semesta bahwa ada dua manusia yang kini telah bersatu untuk merajut apa yang dulu sempat terputus. Merangkai kembali kenangan-kenangan baik di masa silam maupun sekarang.

"Sher, lo enggak mau kan kalau tiba-tiba perawat memergoki kita lagi mesum kayak gini?" desis Eric di depan bibir Sherly. Dia menyapu lembut bibir pucat itu dengan jempol kanannya lalu mengecup kening pujaan hati dengan penuh kasih sayang. "Apalagi kalau kita kepergok Sandra. Bisa dibabat gue sama dia."

Sherly terkikik geli. "Ups, sorry, gue kelepasan karena lo terlalu lemot."

"Habisnya gue enggak nyangka kalau lo mau balikan sama gue," terang Eric jujur. "Gue enggak ada duanya kan?"

"Sinting lo!" sembur Sherly melihat Eric mulai membanggakan diri.

Eric memberi kecupan singkat di bibir Sherly. "Lo juga enggak ada duanya. Susah cari cewek judes kayak elo."

"Eric!" seru Sherly mencubit lengan Eric.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro