45

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Ck, harusnya kurang tuh! Dibikin mampus sekalian biar impas!" cerocos Sherly melihat siaran berita ketika pelaku tabrak lari yang membuatnya nyaris mati dijatuhi hukuman lima tahun penjara. "Lo kurang pinter menuntut mereka," tambahnya seraya menyuapi Eric popcorn buatan sendiri. 

Eric mengunyah tanpa menanggapi aksi protes Sherly, memilih merangkul kekasihnya dari belakang sembari menyandarkan punggung di atas kasur dan menikmati tontonan televisi. Dia meraih remote memindahkan channel ke Netflix daripada mendengar berita yang makin hari makin bikin emosi. Selain vonis yang tidak sesuai dengan harapan, rencananya besok akan dibacakan putusan akhir Gatot atas tindak pidana yang sudah dilakukan. Sementara Eric memikirkan hal lain kalau keputusan terakhir yang akan diterima ayahnya tidak di situ saja, mungkin Gatot akan menjalani sidang lain dengan kasus pidana yang sudah melibatkan keselamatan Sherly juga nyawa mendiang Sarah. 

"Sher ... apa yang lo harapkan buat putusan bokap gue besok?" tanya Eric tiba-tiba, sesekali mengecup puncak kepala kekasihnya. 

Sherly terdiam beberapa saat sambil mengunyah pop corn manakala iris mata cokelatnya mengarah ke layar televisi yang sedang menampilkan adegan di mana perempuan berkulit pucat dengan rambut blonde tengah berdebat dengan lelaki bermata biru. Kisah tentang lelaki green flag yang jatuh cinta pada pelacur cantik membuat Sherly sedikit berkhayal apakah benar ada makhluk Tuhan yang benar-benar mencintai tanpa pamrih? Ingatannya di bawa ke masa di mana Sarah begitu rela menjadi simpanan Gatot selama bertahun-tahun, menjadikan ibunya mirip seperti perempuan jalang. 

"Kalau bisa ... gue pengen dia mati," jawab Sherly. "Gue pengen Tuhan membakar bokap lo di alam kubur terus memotong tubuhnya jadi bagian-bagian kecil. Gue pengen malaikat menusuk mata dan kemaluan bokap lo pakai garpu panas, Ric karena gue yakin hukuman di penjara enggak bakal setimpal dengan apa yang dia lakukan sama keluarga gue."

Gadis itu bergerak, membalikkan badan menghadap Eric yang menatapnya penuh arti. Kening Sherly mengerut merasakan ada sesuatu tengah disembunyikan pujaan hatinya. Tapi, Sherly bukanlah cenayang yang bisa mengetahui isi kepala orang lain tanpa bertanya. Dia juga tidak bisa meraba-raba arti pandangan tersebut, kecuali ... apakah Eric tersinggung atas ucapannya tadi? Bukankah Eric dan Gatot sudah tidak sejalan berdasarkan idealisme yang dipegang? Apakah Eric terlalu khawatir atas putusan hakim esok pagi?

"Kenapa lo tanya begitu?" 

Eric menggeleng pelan seraya mengulum senyum tipis walau kepalanya terasa pening. Ditarik tubuh Sherly dalam dekap, menyesap kuat bahu gadis itu hingga memenuhi rongga dadanya yang terasa hampa. Walau bergelimang harta, Eric merasa kalau semua yang disimpan kedua orang tuanya tidak membuat dirinya benar-benar bahagia. Mungkin selama ini banyak yang mengira bahwa menjadi Eric yang memiliki keluarga sempurna dan tak perlu resah akan uang hingga tujuh turunan. Nyatanya semua itu berbanding terbalik, ambisi keluarganya untuk menimbun kekayaan telah berhasil melenyapkan rasa kasih sayang yang seharusnya ada. Manalagi sebagai anak pertama yang menanggung beban di pundak seorang diri, Eric kadang dilanda rasa lelah luar biasa.

"Enggak apa-apa," tutur Eric dengan suara pelan. Tangan kanannya terulur tuk membelai rambut kekasihnya yang setengah basah setelah keramas tadi lalu turun ke pipi di mana kesedihan masih tergambar jelas di wajah Sherly. Dia merendahkan posisi, memberi sebuah kecupan lembut di bibir Sherly dan mengabaikan adegan romantis di film Reedeming Love di depannya. 

"Kalau ada masalah lo bisa cerita sama gue," ucap Sherly. "Lo benar-benar kelihatan capek."

"Gue butuh liburan," kilah Eric menutupi keresahannya. "Mungkin akhir tahun ini kita bisa jalan-jalan ke luar kota."

"Gue pengen ke Lombok, nepatin janji sama Mama," ujar Sherly sendu. "Gili Trawangan. Gue pengen ke sana."

"Rame di sana, Sher. Banyak bule yang enggak bakal bikin kita tenang."

"Terus?" Sherly memiringkan kepala ingin tahu ide apa yang akan dilontarkan Eric. 

"Bisa ke Gili Asahan. Itu masih bagus atau ke Gili Nanggu." Tangan Eric kini bergerilya ke leher jenjang Sherly, menelusuri jejak samar yang ditinggalkannya di sana serta ingin membangkitkan gairah untuk bercumbu dengan gadis itu lagi. 

"Gue ngikut lo aja." Sherly bergerak untuk duduk di pangkuan Eric menerima godaan yang diberikan lelaki itu dan melingkarkan lengannya ke leher sang pujaan hati. "Gue ngikut ke manapun lo pergi."

"Ke altar? Lo bakal ikut gue enggak?" tanya Eric mengunci iris mata Sherly, mengamati pantulan wajahnya di mata lentik itu.

"Lo ngelamar gue?" Sherly menaikkan sebelah alisnya. "Lo yakin hidup sama gue?" 

"Itu kalau lo mau sih," jawab Eric yang dibalas dengan pukul di dada. "Tapi, beneran, Sher. Itu wish list gue tahu! Siapa tahu kan kita beneran jodoh?"

"Gue enggak mau terburu-buru, Ric," balas Sherly. "Gue masih belum pantas menerima tawaran lo di saat nyokap enggak bisa lihat gue pakai baju pengantin."

Siapa yang tidak nelangsa mendengar pernyataan Sherly? Eric sampai tertegun cukup lama mengetahui kalau gadisnya masih enggan keluar dari masa berkabung. Senyum yang tadinya sempat mengembang langsung lenyap tanpa bekas, berganti perasaan bersalah melingkupi diri Eric. Bayang-bayang kematian Sarah dan kematian pelaku tabrakan itu memenuhi kepala Eric hingga menimbulkan rasa sesak yang begitu hebat. Buru-buru dia beranjak dari kasur, meraih bungkus rokok di atas nakasnya dan memilih mendinginkan kepala juga meredam debaran jantung di balkon. Sementara Sherly cukup terkejut mengamati perubahan mood Eric yang mendadak berubah bahkan belum sampai beberapa detik.

Dirundung penasaran yang makin menjadi-jadi, Sherly menyusul Eric di balkon, mendudukkan diri di kursi rotan sambil merangkul lengannya dan berkata, "Lo kenapa sih?"

"Enggak apa-apa," jawab Eric memantik gas korek api tuk membakar batang tembakau lalu menyesap dalam-dalam nikotin memenuhi rongga dadanya. Dia tidak berani memandang Sherly ketika bayangan pelaku, Gatot, juga Sarah masih memenuhi isi kepalanya. Dilema-dilema yang membelenggu Eric seakan-akan mencekik leher dan membunuhnya perlahan-lahan. Setiap aliran darah yang berdesir di tubuhnya mengantarkan jutaan rasa bersalah kenapa harus gadis di sampingnya yang mengalami kemalangan berturut-turut, kenapa pula harus orang tuanya yang menjadi dalang, kenapa juga dia melabuhkan cintanya pada Sherly.

Dorongan untuk berkata jujur memang ada, tapi Eric terlalu takut kalau Sherly murka lantas memutuskan hubungan yang terlanjur menyatu ini. Dia tidak ingin kehilangan Sherly tuk kedua kali akibat kesalahan yang tidak benar-benar dilakukannya. Mungkin terdengar egois, tapi salahkah dia menyembunyikan kegelisahannya?

Tak kunjung mendapat jawaban, Sherly merebut putung rokok Eric kemudian menginjaknya hingga mati dan membuang ke tempat sampah. Dia yakin sesuatu yang mengganjal hati Eric bukanlah hal sepele jika biasanya lelaki itu mudah terbuka kepadanya. Setidaknya dulu sebelum mereka memutuskan untuk kembali merajut asmara. Siapa yang tidak khawatir juga manakala raut wajah Eric mendadak gelisah seperti itu. Seolah-olah dia sedang memanggul batu ratusan kilo di pundak. 

"Gue tanya, lo kenapa enggak cerita apa yang bikin lo berubah kayak gitu?" ketus Sherly. 

"Gue enggak apa-apa, Sher. Lo kenapa sewot gitu sih?" balas Eric tersulut emosi. 

"Iya elo yang kenapa? Muka lo pucet kayak mayat tuh!" tunjuk Sherly. "Kalau ada masalah cerita."

"Enggak semua masalah gue harus lo ketahui, Sher," tandas Eric kembali mengambil satu batang rokok namun direbut Sherly dan dibuang ke tempat sampah. 

"Lo mau mati?" seru Sherly.

Eric terbungkam cukup lama tak mampu menanggapi ucapan Sherly justru tertunduk ketika dorongan itu makin kuat. Bagai bangkai yang dipendam dalam, aroma busuknya bakal terendus juga. Rahasia yang disembunyikan serapi apa pun suatu hari nanti akan terkuak, cepat atau lambat. Diremas tangannya sendiri hingga buku-buku jarinya memutih saat Sherly masih saja menuntut jawaban. 

"Gue pergi aja," tutur Sherly beranjak pergi. 

"Kecelakaan itu," ujar Eric menghentikan langkah Sherly yang akan masuk ke dalam apartemen. "Yang merenggut nyawa tante Sarah ..."

Sherly membalikkan badan, mengernyitkan alis menanti kalimat yang akan meluncur dari bibir Eric. Entah mengapa, hatinya mendadak tak enak seolah kabar itu bakal meluluhlantakkan dirinya tuk ke sekian kali. Eric mendongak, sinar matanya redup seperti kehilangan gairah hidup. Bibirnya bergetar dan beberapa kali hendak berucap namun tak kunjung terucap. 

"Pelakunya tewas," sambung Eric. "Itu info yang gue dapat dari teman yang ada di kepolisian. Tapi ... mereka menemukan kalau pelaku itu sengaja dibayar sebelum akhirnya--"

"Lo berbelit-belit!" sela Sherly saat debaran jantungnya makin lama makin meningkat.

"Bokap gue, Sher," ujar Eric. "Bokap gue yang bikin nyokap lo tewas."

Seperti dihantam meteor, tubuh Sherly rasanya ingin ambruk saat ini juga mengetahui kenyataan bahwa ibunya tidak murni kecelakaan, melainkan ada seseorang yang menginginkan nyawanya. Dia terhuyung dan langsung ditahan Eric namun ditepis kasar lantas menampar lelaki itu sekuat tenaga. Dada Sherly naik-turun bersamaan derai air mata mengalir deras membasahi pipi. Dunianya dijungkir balik untuk sekali lagi, Tuhan membuat kejutan lagi yang terasa pahit, sementara Eric kembali membuka paksa lukanya yang belum benar-benar mengering. 

Eric berusaha meraih kekasihnya, meminta maaf atas apa yang diperbuat Gatot pada Sarah. Sherly menghindar, memukul dada bidang Eric seraya melontarkan sumpah serapah bahwa keluarga Prasaja adalah pembawa malapetaka. 

"Mama salah apa sama bokap lo, hah! Gue salah apa, Ric!" teriak Sherly mendorong tubuh Eric agar menjauh darinya. 

"Maka dari itu, gue enggak mau cerita sama lo karena pasti bakal jadi kayak gini," balas Eric berusaha mendekap Sherly tuk memberikan ketabahan bahwa semua ini bukanlah keinginannya. "Gue minta maaf, Sher!"

"Gue benci sama lo, Ric! Bangsat kalian semua!" pekik Sherly menyambar tasnya lantas berjalan cepat meninggalkan Eric. 

"Sher!"

"Jangan deketin gue, Ric!" teriak gadis itu memenuhi apartemen. "Jangan deketin gue ... gue ... gue ..." gadis itu menutup wajahnya lalu kembali menatap nyalang bola mata Eric. "Selama ini gue berusaha buat menerima kenyataan Mama jadi simpenan bokap lo, tapi ini ... kematian Mama ... kalian tega. Kalian tega menghancurkan kami. Belum puas lo bikin gue sama Mama bertengkar bertahun-tahun, hah!"

"Sher ..."

"Kita sudahi ini, Ric! Gue enggak bisa menerima lo lagi! Gue harap lo bisa mati dengan tenang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro