46

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Entah harus ke berapa kali gadis malang itu mengalami betapa sakitnya sebuah kebohongan. Dadanya serasa dihujani batu-batu hingga hancur tak berbentuk, meremukkan segenap tulang belulangnya sampai menyisakan sebuah rasa dendam untuk bisa membalas apa yang sudah dilakukan Gatot kepada keluarganya. Karma? Sherly sudah tidak percaya manakala hukum sepertinya lebih tunduk kepada manusia keji itu. Ataukah ... Tuhan benar-benar selalu berpihak pada Gatot? Kenapa Dia tidak mencabut saja nyawa lelaki tak tahu diri itu untuk menerima pembalasan di alam baka?

Kornea Sherly perih terlalu banyak air mata yang keluar menangisi betapa sial perjalanan hidup keluarganya. Di sisi lain, abangnya tercengang bukan main mengetahui kebenaran telah terlontar dari bibir Sherly atas kejanggalan kematian Sarah. Dia murka setengah mati hendak mengambil pisau untuk menusuk Gatot saat ini juga. Beruntung Sherly berhasil meredam amarah Barra, mengatakan kalau dia ingin mengajukan banding atas keputusan yang akan diterima mantan direktur itu. 

"Dia bukan manusia, Sher!" teriak Barra. "Kita salah apa sampai teganya Gatot membunuh Mama, hah!"

"Gue tahu, Bang! Tapi merampas nyawanya sekarang enggak bikin masalah selesai!" seru Sherly mengimbangi suara Barra yang menggema memenuhi rumah besar ini. Dia menarik napas, memandang Barra seperti anak-anak kehilangan arah lantas mendekap lelaki sawo matang itu sambil terisak.

Barra menjatuhkan pisau ke lantai, memijit keningnya yang terasa pening. Kepalanya nyaris meledak bagai bom siap meluluhlantakkan sekitar. Tanpa sadar, air matanya turut mengalir, menyesali betapa hidupnya benar-benar berat. Kilasan perselingkuhan Sarah dengan Gatot yang berakhir memalukan itu membayangi Barra. Sekarang, siapa yang patuh disalahkan? Sarah telah tiada, jasadnya terlelap dalam pangkuan Tuhan dan tidak akan pernah bangun sekalipun air mata darah mengalir dari sudut mata Barra. Semua telah terjadi dan mungkin inilah garis takdir yang sudah dituliskan semesta untuknya. 

"Kita harus apa, Sher? Diem aja kayak orang bego? Mukulin Eric sampai tewas?" suara Barra gemetaran. "Kita harus apa?"

"Kita cuma bisa berusaha buat memenangkan banding jika putusan itu tidak setara dengan kejahatan Gatot, Bang. Gue cuma punya elo dan elo cuma punya gue di sini, kita harus saling menguatkan diri, Bang," kata Sherly.

"Gatot punya sejuta cara untuk mengurangi masa tahanan, Sher. Satu-satunya hukuman yang setimpal buat dia cuma kematian!" protes Barra mengetatkan rahang. "Orang macam dia kebal hukum. Lo enggak lihat apa ekspresi muka dia sesantai itu menghadapi sidang?"

"Gue tahu, tapi kalau lo membunuh dia, apa bedanya lo sama bajingan itu? Gue enggak mau kehilangan lo lagi, Bang," ucap Sherly memohon.

Barra menepis pelukan adiknya lantas berjalan cepat menuju kamar, mengabaikan panggilan Sherly ketika emosinya masih saja meluap. Tentu saja tidak mudah mendinginkan amarah setelah kebenaran terkuak, manusia paling sabar pun akan geram jika menyangkut orang tua.  Dibanting pintu kamar bercat hitam doff disusul suara teriakan dan barang pecah.

Sherly memeluk diri sendiri dan memejamkan mata merasa ketakutan mengetahui abangnya melampiaskan kekecewaan seperti orang kesetanan. Dia menggumam memanggil Sarah, memohon ampun mengapa semua jadi runyam lantas memaksakan tungkainya untuk masuk ke dalam kamar ibunya. Begitu pintu terbuka, aroma wangi yang ditinggalkan Sarah langsung membekap Sherly dan membuka lembar demi lembar kenangan yang terjadi selama ini. Dia berjalan pelan, membelai seprai kasur Sarah dengan bibir bergetar. Air matanya jatuh lagi, lukanya kembali menganga dan semakin pedih. Andai waktu bisa diputar, ingin sekali Sherly membisikkan betapa sayang dirinya dengan Sarah. 

Diambil bantal bersarung bunga, menyesap aroma sampo yang dikenakan ibunya dulu kemudian berteriak sekencang mungkin. Dilema membelenggu gadis itu, antara membenci atau mencintai Eric. Sampai-sampai dipukul dadanya sendiri dengan kepalan tangan, berusaha mengeluarkan gumpalan batu yang menyumbat agar tak perlulah beban yang dipikulnya seberat ini. Semua janji manis Eric serta ucapan maafnya menggema dalam kepala Sherly, menimbulkan efek pening yang dahsyat hingga titik rasa lelah. Sherly terbuai dalam mimpi di mana ibunya datang memandangi wajah anaknya yang sedang meringkuk dalam kesedihan. 

"Mama ... ma'afin Sherly, Ma ..." gumam Sherly di antara isak tangis dan mata terpejam. 

###

Gedung pengadilan tempat di mana Gatot akan menerima putusan hakim atas kasus penggelapan dana terlihat ramai. Para pengejar berita sudah berjejer di sekitar area gedung besar itu sembari memberi kabar terbaru tentang isu-isu yang menerpa mantan direktur. Mereka menyebutkan bahwa Gatot ikut terlibat dalam percobaan pembunuhan pengacara HAD Law Firm yang dianggap telah menjebloskan dirinya ke penjara. Dibuktikan dengan kamera pengawas jalanan sepi berhasil merekam aksi Gatot tengah memberi segepok uang kepada lelaki di depan sebuah rumah kosong. Hingga bermunculan video dan bukti percakapan mereka untuk menghabisi Sherly disusul keberhasilan rencana mereka menabrak Sarah hingga tewas di tempat.

Begitu keluar dari balik pintu dikawal beberapa orang polisi, Gatot dilempari sumpah serapah nyaris saja membuat ricuh acara sidang hari itu jikalau tidak dilerai oleh petugas keamanan. Iris mata tuanya menyapu ke sekeliling, menangkap sosok Sherly dan Barra tengah duduk berdampingan tak jauh dari posisinya. Satu garis tipis muncul di bibir Gatot dan menyiratkan tatapan tanpa adanya penyesalan sedikit pun. 

Sidang dibuka dengan agenda putusan kasus yang telah merugikan perusahaan alat kesehatan hingga mencapai dua triliun lebih dan melibatkan sejumlah orang disertai jual-beli jabatan di instalasi kesehatan. Gatot tampak sangat tenang dan menganggap angin lalu suara-suara yang mengutuknya ke neraka. Dia berkelakar kalau semua ini bisa dia beli dengan sejumlah uang yang disimpan. 

Termasuk hukum.

Tamu yang menghadiri sidang mendengarkan secara baik-baik kalimat demi kalimat yang dilontarkan hakim ketua, termasuk Eveline yang duduk di bangku paling belakang. Semalam, dia menemui suaminya dan berjanji akan selalu mendampingi Gatot apa pun yang terjadi. Harta yang sempat dirampas sebagai barang bukti tidak membuat Eveline takut. Dia masih memiliki tabungan yang disimpan dan bisa digunakan sewaktu-waktu jika ada orang yang mau memotong masa tahanan suaminya. Ketiga anaknya sudah tidak mau memedulikan ayah mereka, apalagi Eric yang tampak tidak hadir dan memblokir semua akses komunikasi. Eveline sudah tidak ambil pusing. Toh malaikat akan mencatat semua dosa-dosa mereka yang berani mendurhakai orang tua. 

"Mengadili. Satu menyatakan terdakwa Gatot Prasaja telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penggelapan dana sebagai direktur Asa Sehat yang merugikan hingga 2,5 triliun dan jual beli jabatan di instansi kesehatan. Dua, menjatuhkan kepada terdakwa Gatot Prasaja dengan hukuman kurungan tiga belas tahun..."

"Fuck!" umpat Barra memukul pahanya sendiri. "Kenapa enggak hukuman mati saja?"

"Ini masih putusan kasus korupsi, bukan putusan total tindakan lainnya, Bang," jelas Sherly. 

"Maksimal kalau ditotal juga dua puluh tahun," kata Barra tak terima. "Kalau gue punya hak buat nembak kepala dia, udah dari kemaren bakal gue lakuin."

"Lo pikir gue enggak pengen mecahin kepalanya, Bang?" Sherly menatap tajam bola mata Barra walau menyisakan bengkak akibat menangis semalaman hingga terlelap. 

Begitu ketokan palu terdengar, riuh suara yang menyatakan protes terhadap putusan Gatot yang dianggap tidak adil. Gatot berdiri, menyugar rambut berubannya dengan senyum miring seakan menerima secara terbuka semua vonis itu. Dia berpaling ke arah bangku di mana Sherly dan Barra masih berada di sana mengisyaratkan kalau dirinya akan hidup aman dan tentram di balik jeruji besi yang mewah.

Merasa diremehkan, Barra berdiri dan berlari menghampiri Gatot menerobos pembatas antara kursi sidang dan kursi tamu. Seketika itu pula dia melayangkan bogem mentah ke arah wajah lelaki yang tak pantas diberi nyawa. Gatot terhuyung nyaris membentur meja penasihat hukum kalau tidak ditahan oleh polisi yang memegang tubuhnya. Bak kesetanan Barra ditarik beberapa orang lelaki namun dia berhasil melepaskan diri, menendang dada Gatot hingga tersungkur ke lantai. 

"Bangsat! Anjing kau Gatot!" pekiknya murka menarik kerah baju tahanan Gatot, memberinya pukulan di rahang hingga sudut bibir lelaki di bawahnya berdarah. "Harusnya lo mati, Setan!" Barra meludahi Gatot tepat mengenai matanya. 

Gatot terdiam kemudian tertawa terbahak-bahak seakan pukul itu tidak berarti untuknya. Barra hendak menghajar kembali namun ditahan oleh dua polisi yang mengancam akan menyeretnya ke penjara. Barra terpaku, menatap nyalang polisi itu tanpa gentar lantas berdiri menjauhi Gatot yang ditolong polisi lain.

"Dibayar berapa kalian mau bela dia hah!" cibir Barra. "Dia pantas mati. Kalian hanya diperbudak!"

Kemudian lelaki itu bergerak pergi dengan langkah cepat, mengabaikan tatapan penuh tanda tanya lalu menarik lengan Sherly keluar ruang persidangan. Sherly menahan diri, melepaskan cengkeraman tangan Barra yang begitu menyakitkan pembuluh darahnya lantas menampar pipi Barra sekuat tenaga. Pemandangan itu lagi-lagi menarik atensi orang-orang di sana termasuk para wartawan yang menangkap sang pengacara tengah menghajar lelaki sawo matang dengan murka. 

"Gila lo!" pekik Sherly. "Ini bukan tempat lo buat adu kekuatan, Bang!"

"Gue enggak--" ucapan Barra tersendat ketika mendengar teriakan yang tak jauh dari pertikaian kakak-beradik itu. 

Otomatis Sherly berpaling ke sumber keributan manakala beberapa orang berpakaian serba hitam dan berseragam polisi mengerubungi seorang perempuan berjas abu-abu. Sherly mengernyitkan alis merasa kalau perempuan di sana adalah Eveline. Selanjutnya dia berjalan, mengabaikan panggilan Barra yang masih kesal atas tindakan Sherly yang semena-mena padanya. 

"Buktikan kalau saya memang pelakunya!" seru Eveline tak takut sambil melotot ke arah petugas yang ingin memborgol tangannya. 

"Semua bukti-bukti akan kami tunjukkan setelah Anda mau ikut kami," kata salah satu lelaki bertampang sangar. "Anda ditahan atas tuduhan pembunuhan Sarah Paramitha juga percobaan pembunuhan atas nama Sherly Rosalie."

Hah?

Ucapan lelaki yang kemungkinan penyidik di depannya kembali diulang Sherly dalam hati. Dan bagai dihantam batu meteor lalu dihempaskan sampai ke dasar bumi, Sherly nyaris saja pingsan jika tidak ditahan lelaki berkemeja putih. Dia menoleh, mendapati Eric mendekap dirinya sambil berkata,

"Ini karma mereka."

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro