47

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Berita tersiarnya Eveline sebagai dalang pembunuhan Sarah terkuak membuat Sherly seperti dijungkir semesta berulang kali. Tungkainya tak bertulang manakala mengamati siaran televisi yang masih saja membacakan kronologi di mana ibunya meregang nyawa. Walau objek di jalanan besar area hotel tempat kejadian perkara sengaja diburamkan, tetap saja bola mata Sherly bisa menangkap bahwa sosok terkapar di jalanan dengan darah membanjirinya. CCTV berhasil merekam sebuah mobil yang menabrak Sarah hingga tewas kemudian diakhiri adanya baku tembak dengan pelaku. 

Bukti ponsel berisi percakapan dengan Gatot dilanjut obrolan bersama Eveline menambah mimpi buruk Sherly. Pernyataan sang dokter bedah yang mengaku melakukan pembunuhan berencana tersebut dikarenakan sakit hati atas masa lalu yang menimpa keluarganya dulu seketika melubangi hati Sherly. Eveline berkata bahwa pernah memergoki Sarah menemui Gatot diam-diam di penjara tanpa rasa takut sehingga memunculkan rasa dendam untuk menghabisi mantan selingkuhan suaminya itu.

Barra duduk di sofa sambil bersedekap dan kerutan di dahinya cukup dalam mendengarkan perkembangan kasus Sarah. Suara pembawa acara yang memenuhi ruang tamu bagai serbuan lebah menyengat telinga. Sementara Sherly membisu semenjak Eric tiba-tiba datang merangkulnya ketika Eveline diseret beberapa lelaki di gedung pengadilan. Dia berada di samping sang kekasih menanti ucapan yang keluar dari mulutnya dengan waswas. Tidak ada lagi hal yang bisa disembunyikan dari Sherly manakala dunia membuka semua rahasia keluarga Prasaja.  

Eric merintih merasakan sudut bibirnya masih terasa pedih setelah dihajar Barra. Dia rela menerima pelampiasan kakak Sherly atas dosa besar keluarga Prasaja asalkan Eric masih diperbolehkan untuk mendekap kekasihnya, menyembuhkan luka batinnya. Dia bergerak, berlutut di hadapan dua kakak-beradik itu lantas berkata, 

"Gue minta maaf sebesar-besarnya."

Barra termangu, mengambil remote control dari atas meja lalu mematikan siaran berita. "Lo gantung diri dulu. Kalau lo masih hidup, bakal gue maafin."

"Bang!" seru Sherly membuka suara melempar sorot tajam ke arah kakaknya yang masih terbakar emosi. 

"Lo boleh pukul gue semau lo, Bang," tawar Eric memelas. "Tapi, gue bener-bener minta maaf atas nama keluarga gue."

"Bacot!" ketus Barra membuang muka. "Sekarang terserah kalian deh! Gue butuh waktu lama buat nerima elo lagi, Ric. Dan ketika gue menerima elo, gue enggak bisa kayak sebelumnya lagi!"

Barra beranjak dan melengang pergi menuju kamarnya tanpa memedulikan panggilan Sherly yang meminta untuk tetap di tempat. Kemudian dia berpaling kepada Eric, menilik ekspresi lelaki di depannya ini. Eric tertunduk bagai kalah perang dan telah kehilangan harga diri. Bibirnya bergetar seolah sebuah kata maaf saja tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan orang yang sudah disakiti keluarganya. Tangan Eric terkepal kuat lantas mendongak memandang Sherly penuh harap bahwa ada sedikit pintu maaf yang terbuka. Bahkan Eric bersumpah akan melakukan apa saja asal Sherly mau menerimanya lagi. Merajut asmara bersamanya lagi. 

"Sher, gue--"

Sherly menarik napas panjang, ikut berdiri menyusul kakaknya dan berkata, "Sebaiknya lo pergi, Ric," sela Sherly. "Gue juga butuh waktu untuk mencerna ini semua."

Buru-buru Eric berdiri, mendekap erat tubuh Sherly yang makin kurus dari belakang, menyesap kuat wangi yang sudah membuatnya kecanduan. Tidak ada penolakan dari Sherly justru isak tangis terdengar menyayat hati Eric. Bahu Sherly bergetar, dia menutup muka ketika Eric membalikkan badan menghadap dirinya. Lelaki itu paham bahwa mereka sama-sama terluka atas kesalahan orang-orang di masa lalu. Ingin bersatu tapi cobaan yang menerpa tidak pernah berhenti, berpisah pun selalu terikat kenangan bahwa cinta mereka masih ada dan makin membara. 

Dicium puncak kepala Sherly penuh kasih sayang sambil berbisik, "Sher, gue cinta sama elo sampai kapan pun. Kalau emang elo mau kita berpisah sampai di sini ... gue bakal menghilang supaya elo dan Bang Barra enggak tersakiti karena keluarga gue."

Eric mendekap tubuh Sherly lebih erat lagi seolah ini adalah waktu terakhirnya untuk bisa menyentuh kekasihnya. Menghidu aroma tubuh Sherly berharap kesedihan yang menyelimuti pujaan hatinya bisa berpindah ke diri Eric. Dia rela disakiti asal bisa melihat Sherly kembali seperti dulu. Perempuan kuat nan tegas yang tak gentar terhadap apa pun. Tanpa sadar bulir bening jatuh membasahi pipi Eric, bahwa sejujurnya tanpa mereka tahu dia lebih terluka akibat ulah dan keegoisan orang tuanya. Dia sudah menaruh banyak harapan atas kembalinya hubungan bersama Sherly tapi terpaksa kandas lagi. Mana mungkin Sherly mau menerima anak seorang pembunuh ibunya?

Melepas pelukan sama saja merelakan hubungan yang sempat berkobar itu padam. Eric mengatupkan bibir menahan rangkaian kata yang bakal meluncur dan tentu saja hal itu akan melemahkan dirinya lagi. Tidak! Eric harus menerima hukum alam ini. Sherly lebih pantas bahagia bersama orang lain bukan dengan dirinya. 

Seorang Prasaja yang membawa malapetaka.

Dia menyeret paksa kaki keluar rumah Sherly tanpa menoleh sedikit pun walau batinnya menyuruh untuk kembali, merasakan sang pujaan memanggilnya lirih. Eric mengepalkan kedua tangan, bersumpah pada diri sendiri akan menghilang sejenak sampai semuanya mereda. Dia berencana mengambil cuti tahunan lebih awal daripada harus mendekam dalam lubang penuh penyesalan. Eric yakin kalau dirinya juga bisa menyembuhkan luka menganga dalam batinnya seorang diri tanpa kehadiran Sherly. 

Aku bisa ... pasti bisa ...

###

Sidang tuntutan atas kasus pembunuhan berencana Sarah dibuka, Eveline tampak tertunduk lesu ketika keluar dari balik pintu bercat cokelat mengilap sembari menutupi sebagian wajah dengan masker. Dari sana sorot kamera langsung membidik tiap gerakan Eveline hingga duduk di atas kursi sidang mengenakan baju tahanan. Meski gelagatnya terlihat tenang, gerakan mengusap-usap tangan mengisyaratkan kalau wanita angkuh tersebut tengah gelisah menghadapi karmanya sendiri. 

Saat jaksa penuntut umum membacakan kalimat demi kalimat, Sherly yang duduk berdampingan dengan Barra mendengarkan baik-baik tanpa melewati satu runtutan kejadian. Kecelakaan yang menewaskan ibunya ternyata buntut dari gagalnya Eveline menghabisi nyawa Sherly saat koma. Dalih yang digunakan Eveline adalah menggunakan nama Gatot agar orang-orang tidak mencurigainya sebagai pelaku utama. Menurut keterangan JPU, suami Eveline mengetahui rencana istrinya dan tidak menunjukkan adanya penolakan untuk mencegah aksi keji yang membuat Sarah meregang nyawa. 

Barra nyaris berteriak jika tidak ditahan oleh Sherly untuk meredam amarah demi kelancaran sidang. Dia tidak ingin kakaknya terjerat masalah apalagi beberapa polisi juga ikut berjaga di luar. Barra mengetatkan rahang, mengepalkan kedua tangan tak sabar menanti hukuman macam apa yang akan diterima Eveline. 

"Gue sumpahi kalau dia mati, bumi enggak bakal nerima dia!" ucap Barra menggebu-gebu. 

"Bang ... udahlah," tandas Sherly dengan wajah penuh kelelahan. 

Setelah selesai membacakan tuntutan, Eveline mengajukan eksepsi bersama pengacara karena merasa ada beberapa poin yang tidak sesuai dengan kenyataan. Sontak saja Sherly bangkit, menunjuk Eveline dan memaki kalau wanita iblis sepertinya tidak pantas mengajukan eksepsi di saat pembunuhan tersebut memang benar adanya. Barra menarik lengan Sherly namun ditepis kasar dan masih meneruskan sumpah serapah bahwa Eveline dan Gatot tidak pantas hidup. 

Hakim ketua mengetuk palu meminta Sherly diam atau memaksa petugas keamanan menyeretnya keluar. Sherly membungkam diri, menatap nyalang sosok Eveline dengan napas memburu. Kemudian dia menarik tas berjalan cepat meninggalkan ruang sidang tak memedulikan ratusan pasang mata menatapnya penuh murka. Jika diberi kesempatan, Sherly bakal meladeni orang-orang yang ingin mengajaknya bertengkar, menjelaskan bahwa keluarganya menjadi korban keegoisan Prasaja. Sherly juga tak segan untuk mengutuk manusia-manusia tak tahu diri itu agar merasakan apa yang dirasakannya suatu hari nanti. 

"Sher!" panggil Barra mengejar langkah cepat adiknya. 

Memilih menulikan diri, Sherly berlari menjauhi sesaknya persidangan Eveline dan berharap Tuhan mau melenyapkannya sebentar saja. Dia terlalu lelah menghadapi masalah demi masalah hingga tak ada minat untuk hidup di dunia. Sherly merindukan Sarah. Sebuah kerinduan yang makin lama makin membuncah namun tak dapat dibayar mudah. Hatinya seperti diiris-iris mengingat kronologi pembunuhan ibunya yang didasari atas dendam lama. 

"Sher!" panggil Barra berhasil mengimbangi Sherly, menahan lengan gadis itu dan berseru,"Hei!"

"Gue capek, Bang!" pekik Sherly. "Gue capek sama orang-orang!"

"Sher ... hei ..." Barra langsung mendekap tubuh adiknya. "Gue paham, Sher ... gue paham ..."

"Gue cuma ... menyesal, Bang .... kenapa Mama harus berakhir kayak gitu. Kenapa enggak gue aja, Bang. Gue udah berdosa sama Mama ..." isak tangis Sherly makin menjadi-jadi hingga dadanya terasa sesak dijejali bebatuan besar. Kepala Sherly seperti dihantam meteor lalu ditusuk pisau panas sampai-sampai tidak ada sesuatu yang bisa mendinginkan gejolak emosi yang menguasai.

"Udah, Sher ... udah ... Mama juga enggak pengen kamu seperti ini, Sayang. Udah ya, Dek ... kita bakal bisa menyelesaikan ini berdua, oke," ucap Barra mengelus punggung adiknya. "Kita cuma butuh waktu lebih banyak untuk sembuh, Dek ... lo bilang ke gue kan kalau ada hukum karma? Eric sendiri juga bilang gitu kan?"

Sherly melepas pelukan abangnya, menghapus jejak basah di pipi dengan kedua tangan. Hidungnya memerah dan pasti make up yang dikenakan gadis itu rusak tak beraturan. Dia mengembuskan napas melalui mulut, mengelus dada berharap gumpalan menyakitkan ini bisa lenyap tanpa bekas. Sayangnya justru serbuan kenangan bersama Eric dan kata terakhirnya untuk menghilang membayangi pikiran Sherly. 

Ke mana lelaki itu?

Dia pun lupa sejak kapan pertemuan terakhirnya bersama sang kekasih. Sherly mengerutkan kening beberapa saat apakah dirinya masih pantas menyebut Eric seperti itu padahal dia sendiri yang memintanya pergi? Seberkas ingatan berputar, mengulang perkataan Eric kemudian menggema menyadarkan Sherly bahwa lelaki itu tidak sepenuhnya salah. Dia hanya menerima sanksi sosial atas perbuatan keji kedua orang tuanya namun cinta yang disuguhkan Eric benar adanya. 

"Eric ..." Sherly mencoba merangkai kata sambil sesenggukan. 

"Iya?" Barra mengerutkan kening. "Lo mau cari bajingan itu lagi?"

Sherly menggeleng pelan, menundukkan pandangan mengamati sepasang sepatu heels yang dikenakannya dan sepatu kets yang dipakai Barra. Dia memejamkan mata merasakan ucapan Eric makin lama makin merasuk ke setiap pembuluh darahnya, membangkitkan degup jantung yang sudah lama tak berpacu secepat ini. 

"Gue cinta sama elo sampai kapan pun..."

"Gue ..." Sherly melanjutkan ucapannya. "Gue rasa Eric juga menderita seperti kita, Bang. Kita cuma melihat sisi kita sebagai korban tapi enggak melihat dia sebagai orang yang berusaha ada buat kita."

"Iya, memang ... tapi gue masih belum bisa memaafkan dia, Sher. Melihat Eric kayak melihat kedua orang tuanya. Gue enggak mau tangan gue menghajar dia sampai mati," jelas Barra. "Gue paham kalian--"

"Masih cinta," sela Sherly mengukir senyum nanar dan matanya kembali berkaca-kaca. "Kita saling jatuh cinta tapi dunia tidak pernah memberikan restu, Bang. Sampai detik ini."

"Lalu?" Barra melempar pertanyaan.

"Gue enggak tahu, Bang. Cuma ... gue merasa ucapan Eric waktu itu bener-bener tulus. "

"Lantas? Lo mau mengasihani dia di saat bokap-nyokapnya enggak pernah kasihan sama kita?" Barra memandang Sherly tak suka. "Hanya karena lo cinta sama dia?"

Sherly membisu cukup lama membiarkan suara hatinya menyerukan apa yang sebenarnya diinginkan. Lapisan kenangan yang sempat dikubur dalam-dalam akibat kekecewaan berbarengan masa-masa di mana bersama Eric adalah hal terindah yang pernah dilalui Sherly. Manalagi hasrat di antara mereka menggelora tanpa bisa diredam begitu saja. Sudah terlalu banyak rintangan yang dilewati Sherly dan Eric sampai sekarang. Ego yang menggebu-gebu pernah menggelapkan mata hati mereka sampai pada akhirnya akan kalah oleh kekuatan perasaan. 

"Gue pernah kehilangan, Bang. Kehilangan orang yang gue cintai karena ego Eveline dan Mama. Memang benar dia bajingan tapi secara enggak langsung dia yang bantu gue buat bangkit, masih mau meminta maaf meski bukan dia pelakunya," ucap Sherly. "Kehilangan Mama memang berat buat gue, Bang, tapi ... di sisi lain, Eric yang mau merangkul gue selain elo."

Sherly menarik napas panjang, mengisi kekosongan di relung dadanya. Tangan kanannya terangkat tuk menghapus air mata yang menetes tanpa permisi. "Gue sudah merenungkan semua yang terjadi dan apa yang gue inginkan. Gue tetap menuntut Eveline dan Gatot, tapi gue pengen bahagia bersama Eric. Gue cinta dia, Bang. Cuma dia yang gue punya selain elo. Enggak selamanya juga kan elo ada di samping gue?"

"Tapi ..."

"Sudah saatnya gue mencari dia," tandas Sherly mantap. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro