48 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Udah lama?" tanya seorang perempuan dengan gaun minim bahan yang berpotongan cukup rendah di bagian dada. Jemari lentik bercat kuku merah menyala menelusuri lengan berotot Eric. "Lo kayaknya lagi ada masalah. Gue bisa bantu lo jadi happy."

Yang ditanya masih membisu, enggan menanggapi belasan wanita yang masih saja berusaha menggoda atau sekadar ingin menjadi teman bicara. Dia meneguk gelas berisi vodka, menuruni kerongkongan dan menimbulkan sedikit rasa hangat menjalari lambung. Sudut mata Eric hanya melirik sekilas tanpa minat, mengibaskan tangan memerintah perempuan molek tersebut untuk memberinya ruang. 

"Ck! Jual mahal amat," ketus si perempuan lalu bergegas pergi.

Eric menopang kepalan dengan tangan merasakan nyeri luar biasa hingga ingin ambruk saat ini juga. Memejamkan mata sebentar untuk mengalihkan sensasi menyakitkan tersebut dan berteriak dalam hati kalau sakit ini tidak sebanding dengan hatinya yang remuk. 

Entah sudah berapa hari, Eric sudah lupa. Melalang buana mencari pelampiasan untuk menyingkirkan dosa-dosa yang ada pada dirinya. Lebih tepatnya dosa kedua orang tua yang kini mendekam di penjara. Walau sebagai jaksa namanya tidak terseret, tapi Eric merasa mendapat sanksi sosial. Walau jarang aktif di Instagram, Eric tidak yakin akunnya bakal dipenuhi kata-kata simpati. Manalagi tersemat nama Prasaja yang terdengar seperti kutukan. 

Semua hal yang dulu dia cintai kini pergi dan tidak mungkin akan kembali. Dia terkekeh saat bayangan Sherly memenuhi kepala seakan-akan hanya dialah pelipur lara. Eric terlena dalam lembah fatamorgana di mana kenangan-kenangan bersama kekasihnya terus berputar. Andai Tuhan memberinya kesempatan pun, Eric akan memohon untuk tetap tinggal dalam imajinasi tak terbatas itu. Sayang, alam bawah sadarnya menyentak dan mengingatkan kalau di dunia ini semua orang membencinya.

Sherly udah benci sama gue.

Gue benci diri gue sendiri.  

Eric kembali menuangkan vodka dengan gerakan sempoyongan hingga bartender merebut botol itu dan berkata, "Maaf, Mas, udah mabuk gitu jangan diterusin. Bahaya."

"Ck!" Eric menepis kasar, langsung meneguk tanpa memedulikan peringatan bartender berharap semesta mau menghentikan detak jantungnya saat ini juga. Dia merasa sudah tidak pantas untuk hidup. Sebelum diteguk cairan beralkohol itu, seseorang merebut dengan kasar dan memberikan kepada bartender. Eric menoleh ketika orang di samping kanannya menggertak,

"Lo mau reunian sama nyokap-bokap gue di kuburan?"

Pandangan Eric sedikit memburam makin lama makin tak jelas ketika mengamati sosok berpakaian celana pipa dan kemeja merah. Namun, ucapan pedas perempuan itu mengingatkannya pada sang pujaan hati. Dia mengibaskan tangan ingin membalas kalau Eric ingin tidur dalam kedamaian walau ditemani sepi. Sayang, tubuhnya mendadak tak sadarkan diri. 

###

Sherly melajukan mobil dengan kecepatan tinggi membelah jalanan agar bisa sampai ke apartemen Eric. Membiarkan kendaraan roda empat milik Eric berada di parkiran bar untuk diambil Candra esok pagi. Jantungnya berdebar kencang mengetahui lelaki itu hidup tanpa arah seperti ini dan ambruk dengan aroma alkohol yang terendus kuat di hidung. Beruntung, Benedict mengetahui lokasi di mana Eric menghabiskan banyak waktunya di salah satu kelab malam selepas bekerja. Kalau tidak, Sherly bakal kelabakan. 

Si tukang celup bermulut ember itu menjelaskan kalau semenjak kasus kedua orang tuanya semakin menjalar ke masalah pribadi di masa lalu, Eric mengaku telah menyerah atas hidupnya. Ditambah rasa kecewa diri lelaki itu sendiri mengapa harus mengalami patah hati terdahsyat setelah berpisah dengan Sherly. Benedict berusaha menghibur Eric, begitu pula teman terdekatnya. Namun, tidak ada seorang pun yang bisa mencegah Eric untuk menghentikan kebiasaan minum-minuman beralkohol terus-menerus. 

"Jujur aja selama gue kenal sama dia, gue enggak pernah liat si kunyuk itu kayak gini, Sher," terang Benedict kala bertemu di pengadilan negeri Jaksel. "Makan enggak mau, kerja enggak semangat, malah suka ngerokok dan minum-minum. Dikira hidup kayak gitu bikin dia mati dengan tenang?"

"Sekarang dia ada di mana? Gue telepon enggak dijawab," kata Sherly khawatir. 

"Ponselnya  aja udah mati beberapa hari ini. Anak-anak enggak ada yang bisa menghubungi. Dia ngajuin cuti juga kan di kantor," kata Benedict.

"Terus?" Sherly mengernyitkan alis nyaris putus asa.

"Tapi, gue tahu tempat dia kalau benar-benar suntuk. Nih, gue kasih alamatnya di WA lo ya," kata Benedict. "Saran gue, dia udah enggak punya siapa-siapa, Sher, rangkul dia seperti dia ngerangkul lo ketika elo punya masalah. Gue yakin sebenarnya dia enggak ingin kejadian ini terjadi."

Begitu sampai di apartemen, sekuat tenaga Sherly menyeret tubuh besar Eric hingga satpam yang melihat gadis itu kepayahan akhirnya dibantu untuk bisa sampai ke lantai tempat tinggal Eric. Satpam berbadan tambun dengan kulit eksotis langsung berkomentar kalau beberapa hari ini sering melihat Eric pulang dalam keadaan berantakan. Kadang pula jalan seperti zombi kemudian jatuh terduduk sambil menangis seorang diri. 

Pengakuan tersebut membuat hati Sherly tercabik-cabik. Bagaimana bisa seorang Eric Prasaja yang biasanya masa bodoh dengan cinta ataupun masalah keluarga harus menanggung ini semua? Kenapa kedua adik kembarnya seolah-olah acuh akan mental sang kakak? Tadi saat perjalanan ke kelab malam yang ada di area Kelapa Gading, Sherly sempat menelepon dan mengomeli adik perempuan Eric, Farah, kalau kakak mereka benar-benar butuh bantuan psikis.

"Jangankan Bang Eric, gue aja nge-down liat orang tua gue kayak dajjal, Sher!" protes Farah tak terima disalahkan.

"Tapi, meskipun begitu kalian harus saling menguatkan dong. Abang lo kalau ada apa-apa gimana? Lo mau nyesel seumur hidup?" sembur Sherly kesal setengah mati. "Gue emang gedek banget sama kelakuan bokap-nyokap lo, tapi ... setelah gue pikir, Eric enggak ada sangkut pautnya. Begitu juga elo."

"Gue ..." nada bicara Farah merendah terdengar ragu

"Elo harus nerusin hidup, kejar cita-cita lo jangan sampai kayak bokap-nyokap lo. Sorry, kalau gue ngomong gini, tapi mereka enggak pantes punya anak kayak kalian sekali pun mereka yang membesarkan kalian," tandas Sherly. "Gue minta ... kalau gue udah ketemu sama si Eric, lo perlu bicara sama dia, bertiga. Ajak abang lo buat pulang ke apartemennya dia."

Begitu sampai di apartemen, Sherly kepayahan menyeret tubuh besar Eric manalagi lantai tempat tinggalnya berada di lantai atas. Beruntung seorang satpam berpakaian safari mau membantu Sherly dan langsung mengenali salah satu penghuni hunian mewah itu. Dia menggeleng-geleng lantas berkata, 

"Mas Eric ini dari kemarin gini terus."

"Gini gimana?" Sherly mengerutkan kening masih berusaha mengeluarkan seluruh tenaganya membawa tubuh Eric masuk ke dalam lift. Dia menekan lantai lima saat si satpam kembali melanjutkan ceritanya. 

"Dua hari lalu, saya menemukan Mas Eric ketiduran di parkiran. Kemarin, saya lihat dia duduk dengan tatapan kosong gitu. Saya tanya kenapa, tapi Mas Eric enggak jawab. Mbak ini pacarnya?"

Agak lama Sherly menanggapi pertanyaan yang dilontarkan si satpam, membatin apakah masih pantas menyebut diri sebagai kekasih Eric jikalau dia sendirilah yang mencampakkan lelaki itu. Tapi, mengingat semua hal yang dialami Eric tak mudah hingga untuk hidup pun rasanya tanpa arah. Sherly menyengguk pelan, mengukir senyum tipis lalu melihat Eric yang masih terpejam. 

"Saya paham kalau Mas Eric ini lagi ada masalah kan? Cuma ... bagaimana ya, Mbak, kasihan saya lihatnya. Orang tua dia yang salah, tapi Mas Eric yang serasa menanggung dosa," sambung si satpam lalu melihat angka di atas pintu kotak besi itu sudah menunjukkan lantai lima. 

Sherly tak menimpali perkataan si satpam, memilih menarik badan Eric sambil merogoh kunci apartemen yang tadi diambil dari mobil lelaki malang itu. Saat pintu bercat hitam metalik itu terbuka, suasana lembap nan gelap langsung membekap indra penciuman Sherly. Hampir saja dia mengeluarkan isi lambung saat terendus aroma busuk dari makanan-makanan yang dibuang Eric dekat pintu. Dia menggerutu namun sadar kalau Eric saat ini seperti anak-anak yang kehilangan tujuan hidup. Jadi, dia bertekad untuk lembur sekadar membersihkan apartemen yang lebih mirip disebut gua. 

Mereka berhasil membaringkan tubuh Eric ke kamar. Sherly mengucapkan terima kasih dan memberi selembar uang seratus kepada si satpam sebagai imbal balik atas informasi yang diberikan. Lelaki bertubuh agak subur itu awalnya menolak dengan halus, tapi karena keterpaksaan Sherly akhirnya dia bersedia menerima dan pergi meninggalkan sejoli di dalam sana. 

"Ric ... Ric ... heran gue sama elo," gerutu Sherly sambil berkacak pinggang lalu menanggalkan kemeja dan menyisakan tank top hitam. Menggulung rambut panjangnya kemudian melepaskan sepatu, kaus kaki, hingga baju yang dikenakan Eric. "Ck! Nih anak minum berapa botol, bau banget, Tuhan!"

Eric mengerang, lantas mengerjap-ngerjapkan mata mendapati sosok di depannya ini masih saja mengomel pelan. Sudut bibir tipis Eric tertarik ke atas, berpikir apakah ini adalah salah satu fatamorgananya sendiri. Kalau benar, dia akan lebih betah karena terasa begitu nyata. Apakah vodka yang ditenggak Eric sudah berhasil mendominasi setiap sel otak sampai-sampai halusinasi itu tak kunjung berakhir. Tanpa sadar, air matanya mengalir seolah-olah lapisan kenangan dalam kepala pecah, begitu juga perasaan yang tertahan dalam dada akan rasa rindu pada sang kekasih. Apalagi garis wajah yang amat dipujanya makin lama makin jelas hingga Eric menahan lengan Sherly dan berkata,

"Maafin gue."

"Kalau lo mau gue maafin, harusnya lo enggak hidup kayak gini, Ric," tandas Sherly melepas genggaman tangan Eric. Dia berjalan keluar membawa baju kotor Eric untuk ditaruh di bak cucian dilanjut menghidupkan vacuum cleaner. "Bodohnya gue, malam-malam bukannya tidur malah jadi babu!"

Eric tak sanggup beranjak ketika rasa pening dan berputar masih menjalari kepala. Dia kembali meracau sebelum jatuh terlelap kembali. Terbangun di alam mimpi ketika kehidupannya masih dirasa indah bersama Sherly. Di antara mimpi-mimpi itu, dia bergumam bahwa tidak ada perempuan yang bisa memiliki hatinya selain Sherly. 

###

Aroma kaldu menguar sampai di hidung lancip Eric bersamaan jejak matahari yang menerobos masuk ke pintu kaca yang dibiarkan terbuka lebar. Dia memicingkan pandangan, mengimbangi pencahayaan itu sambil menguap lebar dan mencari-cari sisa ingatan apa yang terjadi semalam. Sensasi nyeri di kepala sudah tidak seberapa parah daripada kemarin, namun tubuhnya saat ini benar-benar pegal bagai dipukul ratusan orang. Padahal dulu dia mabuk pun tidak pernah sampai seperti ini. 

Dia menguap lagi lantas merangkai pecahan mimpi hingga alis tebalnya bertaut. Kemudian mengitari sekitar merasa kalau dirinya berada di kamar dengan pengharum ruangan yang menenangkan jiwa. Eric berpikir lagi, apakah fatamorgana kemarin memang benar adanya?

"Udah sadar lo!" 

Suara terdengar ketus itu membuyarkan lamunan Eric. Seketika bola matanya membesar mendapati Sherly berdiri di ujung kamar sambil melipat tangan di dada. Rambut yang digulung asal menampakkan leher jenjang yang dihias kalung berinisial S, tank top hitam memeluk erat bentuk dada seakan kontras dengan kulit putih Sherly, walaupun ada lingkaran hitam di bawah matanya.

"Lo ..." Eric masih mencerna apakah ini benar nyata atau dia masih terjebak dalam mimpi. 

"Gue semalaman bersihin apartemen lo yang kayak gudang, Ric! Mana lo muntah lagi!" protes Sherly jengkel.

"Serius?" Eric menelengkan kepala merasa tidak ada bau tak mengenakkan keluar dari badannya. 

"Gue udah bersihin sama ganti pakaian lo. "Lo minum berapa botol sih sampai teler gitu? Dikira ginjal sama hati lo bakal aman?" omel Sherly gemas.

"Iya ... maaf," cicit Eric masih berusaha membangunkan alam bawah sadar kalau pemandangan di depannya ini benar-benar nyata.

Tapi kok bisa dia di sini?

"Makan sana! Gue mau mandi habis itu pulang!"

Begitu Sherly membalikkan badan, buru-buru Eric beranjak dari kasur dan berlari kemudian merengkuh kekasihnya erat. Merasakan hangat tubuh walau bau keringat tercium di hidung. Tapi, Eric tidak masalah selama bisa memeluk Sherly seperti ini walau sebentar untuk mencurahkan betapa rindu hatinya selama berpisah. 

Sherly bergeming, membiarkan Eric mendekap sementara lelaki itu membisikkan kata sayang. Digigit bibir bawahnya agar tidak ikutan menangis melihat penderitaan yang dirasakan Eric. Sherly berpikir kalau dia dan Eric hanyalah korban dari keegoisan orang tua mereka dan cinta yang pernah terjalin kemudian putus hingga tersambung lagi karena ketulusan.

"Makasih udah datang buat gue, Sher," bisik Eric. "Gue ... kira ... gue..."

Sherly berbalik, membungkam kalimat Eric dengan bibirnya, meredam semua kata-kata yang sudah diketahui hanya dari pandangan mata. Pagutan penuh tuntutan bercampur rindu yang membuncah membuat mereka tenggelam dalam kenikmatan. Semua ego juga masa lalu satu-persatu ditanggalkan berganti dengan goresan harapan bahwa setelah ini tidak ada lagi yang akan memisahkan mereka.

Hanya erangan terdengar memenuhi kamar Eric bersamaan jemari lentik Sherly menarik kaus putih yang digunakan lelaki itu. Eric pun melakukan hal sama hingga tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka. Dia mengangkat tubuh Sherly berjalan menuju kamar mandi untuk bergelut dengan surga dunia yang baru saja mereka buka. 

Hanya mereka seorang. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro