Bab 49

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hidup harus berlanjut. Setidaknya itu yang harus ditanamkan Sherly mulai dari sekarang. Membuka pintu maaf dan menulis lembaran baru bersama Eric tentang mimpi-mimpi yang tertunda. Walau awalnya mendapat pertentangan dari sang kakak sampai adu mulut, Sherly memegang teguh pendirian bahwa dia tidak mau mengulang kesalahan kedua dengan membiarkan Eric pergi dan menyakiti perasaannya sendiri. Alhasil, selama seminggu Barra enggan berbicara dengan Sherly, bahkan sekadar berpapasan di dapur pun lelaki berjanggut itu membuang muka seperti anak-anak tengah merajuk.

Sherly tidak peduli, mengancam tidak akan hadir dalam pernikahan Barra. Selain itu, Sherly lebih memilih menginap di apartemen Eric daripada satu rumah dengan Barra yang kekanakan. Barra makin murka, tapi sikap keras kepala adiknya itu tidak dapat dihancurkan sebesar apa pun usahanya. Sehingga, Barra memilih acuh tak acuh atas gertakan Sherly. 

Sedangkan Eric merasa bersalah membuat kakak-beradik itu terpecah belah hanya karena dirinya. Dia pernah mencoba mempertemukan Sherly dengan Barra tapi yang didapat malah tendangan maut di pangkal paha. Cara Sherly marah sekarang benar-benar menyeramkan, entah setan mana yang merasuki tubuh gadis itu.

"Sekali lagi lo ngajak gue ketemuan sama si kampret itu, gue potong adik kecil lo pakai golok, Ric!" ancam Sherly. 

"Kita enggak bisa bercinta dong kalau-- Argh! Sher!" pekik Eric manakala benda pusakanya kembali mendapat tendangan telak. "Gi-gila lo! Gini-gini bikin lo--"

Salah tingkah, Sherly langsung mencekik leher Eric menimbulkan atensi di tengah-tengah gedung pengadilan sebelum sejoli aneh tersebut kembali ke apartemen. Bisa-bisanya Eric mengatakan hal cabul padahal mereka berada di tempat umum. Dasar sinting! batin Sherly mengapa Tuhan memberikan rasa cinta di hatinya untuk Eric. Atau mungkin Tuhan memang sengaja menjodohkan Sherly karena hanya lelaki itu yang bisa menguji kesabarannya. 

Ponsel Sherly berdering menampilkan nama Sandra ketika gadis itu baru saja menghadiri sidang kasus pemerkosaan terhadap sekumpulan anak-anak di bawah umur. Menggeser ikon hijau lalu mendengar suara Sandra memanggil namanya dilanjut lengkingan tawa membahana mirip kuntilanak. Entah apa yang sedang merasuki teman centilnya itu, apakah dia sedang dimabuk asmara bersama Candra?

"Sehat lo?" tanya Sherly kesal. "Gue mau balik ke kantor. Lo di mana?"

"Gue baru dari tempatnya Candra," lirih Sandra kemudian terkikik lagi. 

"Bucin lo sama dia? Dih, kemaren-kemaren lo ketemu tuh bocah aja ogah," sindir Sherly membuka kunci mobil.

"Orang dia yang deketin gue terus. Btw, gue dapet undangan dari abang lo, Sher," tandas Sandra. "Akhirnya, gue kondangan bisa bawa pasangan."

"Lo dateng aja, gue males sama si kunyuk itu. Udah ya, gue mau nyetir ... lo kalau ngajak gue ke sana, gue ogah!"

Sepertinya hidup Sherly tidak bisa tenang. Belum lama Sandra menelepon kini nama Barra si kampret muncul di layar ponsel Sherly. Gadis itu memutar bola mata, menolak panggilan tapi kakaknya telepon lagi dan lagi. Mau tak mau Sherly menerima telepon tak penting itu kemudian berseru, 

"Lo bilang enggak mau ngomong sama gue!"

"Eh, bocil! Lo pengungsi apa masih nginep di apartemennya Eric? Pulang sana!" perintah Barra nyaris memecah gendang telinga Sherly. 

"Bawel lo!" sembur Sherly hampir mematikan panggilan jikalau suara Barra makin memekik memanggil namanya. 

"Serius gue, Dek! Balik gih! Gue khawatir sama elo," tandas Barra.

"Sejak kapan lo manggil gue adek?" tanya Sherly kaget mendengar panggilan yang terasa aneh di telinga. 

"Barusan. Udah pokoknya gue tunggu lo balik!"

###

Bersama Eric, Sherly terpaksa pulang ke rumah dengan hati yang dongkol, menyeret koper masuk ke dalam rumah. Beberapa saat dia terdiam lalu berbalik seolah-olah enggan untuk bertemu kakaknya. Gengsi Sherly terlalu besar sekadar meminta maupun memberi maaf, terlebih rumah ini menyimpan banyak kenangan sewaktu masih bersama mendiang Sarah. 

"Mau ke mana lo?" tanya Eric menahan lengan kekasihnya. "Lo udah waktunya pulang. Jangan kayak anak kecil, main ngilang mulu."

"Gue males sama Bang Barra," kata Sherly. "Gue juga males ke sini karena selalu ingat sama Mama."

"Katanya lo udah ikhlas?"

Sherly mengangguk tapi dadanya masih menyimpan banyak bebatuan yang tidak akan bisa hilang begitu saja. Dia menengadahkan kepala, mengamati sebentar langit yang mulai mendung. Gumpalan awan hitam bergerak menutupi kota berbarengan udara sedikit kencang berhembus menggoyangkan dedaunan. Apakah Sarah mendengar ucapan Sherly? Sehingga meminta Tuhan mendinginkan alam agar suasana hatinya tak selalu panas. Dia menghela napas, menahan bulir air mata yang tanpa sadar sudah bergumul di pelupuk mata. Hujan lagi, batinnya. 

"Gue ikhlas, tapi enggak bisa lupa dengan apa yang terjadi di rumah ini, Ric," ucap Sherly lirih. "Tapi ..." Dia tertunduk, menatap ujung sepatunya bercumbu dengan ujung sepatu hitam Eric. Kemudian terpejam merasakan Eric mengecup pelan keningnya. 

"Gue ada di samping lo, sampai kapan pun. Asal lo jangan menghilang lagi, Sher. Kita hadapi bersama apa pun yang lo rasakan," bisik Eric menangkup wajah kekasihnya. "Kita ke sana ya? Temuin abang lo."

Sherly mencium telapak tangan Eric dengan penuh kasih sayang kemudian mengecup pelan bibir Eric. Lantas, dia menggandeng tangan kekasihnya berjalan menuju pintu rumah di mana dulu Sarah pernah menyambutnya. Bayang-bayang sang ibu berdiri dengan senyum lebar dan pelukan hangat tergambar jelas dalam benak Sherly. Dia menarik garis samar di bibir, kala angin membelai lembut wajah seakan-akan Sarah sedang memeluk tubuh Sherly sehingat mentari pagi. 

Eric benar, dia mungkin terlalu kekanakan sampai-sampai main kabur alih-alih membicarakan secara baik-baik sebagai kakak dan adik. Barra keluarga satu-satunya yang dimiliki Sherly walau masih ada keluarga dari pihak Sarah. Tidak semestinya Sherly durhaka pada lelaki yang akan menjadi pengganti orang tua di rumah. Mungkin Barra bersikap seperti itu karena tidak ingin Sherly tersakiti oleh masa lalu keluarga Eric yang menghancurkan keluarganya sampai tak tersisa. 

Bukankah ada kesempatan kedua? Toh, Eric juga yang membantu ketika gue punya masalah. 

Dibuka pintu rumah, lantas memanggil kakaknya sambil berteriak, "Bang! Adek lo pulang!"

Tak lama Barra muncul dari dalam kamar dan melongok dari lantai dua mendapati sang adik keras kepala dan bermulut besar itu datang bersama kekasihnya. Dia mencibir lalu menuruni anak tangga dengan cepat tak sabar merangkul sekaligus menjitak kepala Sherly agar sadar bahwa kehidupan tak melulu soal cinta. Begitu menghampiri Sherly dan ingin menggencarkan aksi, Barra mengerang kesakitan ketika Sherly memberikan pukulan telak di ulu hati. 

"Hadiah dari gue sebelum lo kawin," kata Sherly membuat Eric hanya bisa geleng-geleng kepala. 

###

Sherly membanting ponsel ke atas meja kerjanya ketika lagi-lagi disuruh Barra untuk mendatangi katering juga vendor lain, sementara lelaki itu malah leha-leha di rumah menikmati hari sebelum pernikahannya berlangsung. Ternyata di balik permintaan Barra ada pesan terselubung yang seharusnya Sherly ketahui. Mana mungkin kakak satu-satunya itu mau mengurus detail-detail pernikahan seorang diri? Bahkan calon istrinya saja tidak diperbolehkan ikut campur kecuali gaun pernikahan dan fitting baju yang sudah terlaksana kemarin. 

Kesibukan tambahan Sherly menghalanginya kencan bersama Eric, padahal mereka sudah janjian untuk mendatangi konser band Sheila On 7 yang dipesan jauh-jauh hari. Alhasil, Sherly meminta Sandra menghadiri konser tersebut bersama Candra yang disambut sukacita oleh teman centilnya. 

"Kapan lagi gue bisa nonton konser sama ayang Can," kata Sandra mencium tiket konser yang diberikan Sherly. 

"Lagak lo dulu ogah-ogah, pasti lo udah diajak nginep kan? Ngaku lo!" ketus Sherly dengan mata melotot. 

"Dih ... emang elo sama Eric yang ketemuan dikit langsung main celup, gue mah masih sebatas cipokan doang sambil raba-raba dikit," balas Sandra. "Lo mau gue bantuin enggak buat ngurusin katering? Baik kan gue."

"Bolehlah. Dasar Barra setan, dia yang kawin gue mulu yang disuruh ini-itu."

Sandra terpingkal-pingkal melihat wajah Sherly memerah seperti kepiting rebus. Memang kakak Sherly itu tidak pernah bisa benar-benar akur dengan adik padahal usianya juag tidak muda lagi. Namun, melihat Sherly kelabakan, membuat Sandra mengajukan diri untuk membantu temannya. 

"Ya udah, kerjaan lo juga beres kan? Cus lah, daripada macet," ajak Sandra makin bersemangat. "Gue juga mau lihat-lihat siapa tahu bisa bikin referensi kalau gue kawin sama Candra. Enaknya pakai adat Sunda apa Jawa?"

"Buset, mimpi lo ketinggian, San. Sadar woy!" seru Sherly.

"Selagi bisa bermimpi kenapa enggak? Siapa tahu gue sama dia beneran jodoh," ucap Sandra sambil melingkarkan tangan ke lengan Sherly. "Nanti temen Abang lo datang kan? Gue mau cari cadangan buat jaga-jaga kalau Candra belok dari gue."

"Sialan, lo!" sembur Sherly mencubit pinggang Sandra.

"Sher, kayak enggak hapal gue aja. Sebagai mak comblang, gue patut bahagia dong dan cowok-cowok di dunia ini juga enggak bisa dipegang omongannya. Sekalipun sama Candra, kita perlu cari cabang lain biar enggak terlalu makan ati kalau ditinggal doi."

"Sip! Gue juga setuju. Temennya Barra lebih kaya dari Candra, lo mending gebet mereka aja," kata Sherly menekan tombol di depan lift. "Lo tinggal kasih service udah dapet duit sekebon daripada sama Candra yang duitnya enggak pasti. Lagian ke mana-mana tuh anak nempel mulu sama Benedict kayak perangko."

"Mau enggak mau, lagian mereka juga temen satu kampus beda LBH aja," tandas Sandra. "Dia mau pindah ke kantor kita tahu, katanya prospek masa depan lebih bagus dan biar bisa bucin sama gue 24/7."

"Sinting, lo!"

"Biarin, hehe ... sini, gue yang nyetir karena lo udah ngasih gue tiket konser," tawar Sandra merebut kunci mobil Sherly begitu mereka di basemen. "Lo kabarin si Eric, mencak-mencak tuh anak kalau enggak lo kabarin. Ponsel gue kadang penuh sama WA-nya dia terus loh kalau elo cuekin."

"Ck, dasar kampret!" ketus Sherly menuruti permintaan Sandra untuk mengirim pesan teks sekadar memberi kabar bahwa dia akan pergi ke salah satu vendor untuk mengurus pernikahan kakaknya. 

Sherly : Jangan telepon Sandra kalau gue lagi enggak kasih kabar. 

Sherly : Gue cemburu.

Sherly : Lo main ke rumah enggak nanti? Barra kayaknya bakal nginep di rumah calon bininya sebelum dipingit.

Eric : Gaskeun! Gue mau main ayang-ayangan sama elo!

Eric : I luv you!

***

Kurang satu bab lagi tamat. 🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro