Bab 14 { The Plan to Turn Things Around }

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit jingga yang menaunginya beberapa saat lalu kini sudah berubah menjadi hamparan langit hitam yang di hiasi beberapa titik kilau bintang saat Sakura keluar dari kediaman Sarutobi. Waktu yang terukir pada jam tangannya, menunjukan masih sangat dini untuk pulang dan tertidur nyenyak.

Sakura pun lebih memilih berjalan-jalan, menikmati udara malam yang terasa lebih menenangkan. Dari kejauhan manik emeraldnya nampak menangkap sosok Tsunade bersama Sizune juga Kiba yang tengah berjalan ke sebuah kedai sake.

Ia pun seketika berbalik mencari jalan lain karena untuk saat ini ia tidak boleh dekat dengan Shisounya, karena ia akan memaksa Sakura untuk minum hingga tak sadarkan diri dan bisa saja ia mengetahui misi rahasia yang tengah mereka jalani karena celotehan tanpa batas Sakura saat mabuk.

Ia pun kembali berjalan sembari memikirkan banyak hal, terutama ucapan Sasuke yang membisikinya agar Sakura mau mendukungnya saat pemilihan kepala Nanadaime

Jalan fikiran manusia memang tak bisa di tebak. Kemarin Sasuke menolak perintah menjadi Nanadaime mentah-mentah, tapi kini ia bersikukuh ingin mendapatkan posisi itu. Kurenai juga entah kenapa malah mendukungnya. Sakura benar-benar merasa bingung akan memilih siapa nanti untuk menjadi Rokudaime, karena yang akan beradu untuk mendapatkan kursi itu adalah dua sahabat karibnya, Naruto dan Sasuke.

Tiba-tiba saat akan berbelok ke taman, ia tak sengaja menabrak seseorang. Perlahan ia mendongak sembari mengusap keningnya yang terasa sedikit sakit dan sangat terkejut begitu tahu yang ia tabrak adalah Kakashi.

"Ah rupanya kau di sini anak nakal," ucapnya sembari mencubit pipi gadis musim semi itu.

"Kakashi-Sensei! Lepaskan," ucap Sakura sembari memukul tangannya membuat pria perak itu terkekeh.

"Kenapa kau ada di sini? Bukankah ...."

"Bukankah kau menyuruh perawat menggantungku di sebuah pohon dengan kertas peledak dan para kucing ganas?" Sela Kakashi sembari menaikan alis kirinya, mencoba mencari raut penyesalan dari sang gadis. Namun, ia hanya mendapat tatapan acuh karena Sakura malah melihat ke arah lain sembari mengerucutkan bibirnya, tak suka.

"Salah sendiri, kau berani membohongiku dan itu hukumannya," dengus Sakura yang membuat pria itu kembali tersenyum dari balik maskernya.

"Ya, ya aku terima hukuman itu. Sekarang aku lelah, jadi ayo kita pergi ke suatu tempat," ucap Kakashi yang seketika menarik lengannya dan berlari dengan sedikit cepat.

"Chotto, kita mau kemana!" Teriak Sakura namun pria perak itu tak menghiraukannya.

Beberapa orang yang melihat nampak saling berbisik satu sama lain, entah senang, iri atau tak suka. Tak lama mereka sampai di depan rumah orang tuanya.

Ia yang tengah mematung seketika di kejutkan dengan tarikan Kakashi yang langsung membawanya masuk setelah mengetuk pintu. Mebuki juga Kizashi terlihat begitu senang melihat kakashi sudah menggenggam kembali tangan Sakura. Mereka pun segera menuntunnya masuk dan mendudukannya di meja makan.

Beragam makanan dengan tampilan sederhana namun menggoda membuat Sakura semakin keheranan. Apalagi melihat Kakashi tengah membantu ibunya menyiapkan teh.

Bukan hal baru memang jika Kakashi banyak membantu pekerjaan rumah. Namun, entah sejak kapan ibunya bisa sangat akur dengan Kakashi karena setahunya hubungan mereka cukup renggang karena Kakashi selalu gelagapan juga merasa malu ketika berbicara dengan kedua orang tuanya.

Saat ia tengah memerhatikan keduanya, Tiba-tiba sebuah tangan menggenggamnya. Sang gadis musim semi seketika melirik ke arah pemilik tangan itu yang merupakan ayahnya sendiri.

"Dia sama dengan Kazekage itu, hmm?" Tanyanya dengan setengah berbisik yang segera di sambut anggukan oleh sang gadis musim semi.

"Tapi aku lebih suka dengan Kazekage itu. ah siapa ya namanya aku benar-benar pikun. Padahal sudah beberapa kali bertemu,"

Sakura kembali menatap ayahnya itu sembari membalikkan tangannya. Jemarinya mulai menuliskan setiap huruf dari nama sang Kazekage pada telapak Kizashi. Senyumannya seketika terkembang ketika ia menggariskan setiap huruf dari nama Gaara dengan sesenyap mungkin.

Sakura pun kembali menggesturkannya agar diam dengan meletakan jari telunjuknya di depan bibir. Kizashi seketika mengangguk sembari mengikuti gerakan sang gadis musim semi dan kembali pada aktifitasnya membaca koran.

Tak lama ibunya datang bersama Kakashi yang membawa nampan berisi poci juga beberapa gelas kecil.

"Nah semuanya sudah tersaji, ayo kita makan," ucap Mebuki dengan ekspresi yang terlihat sangat senang.

Sakura yang sudah mengisi perutnya hingga begah di kediaman Sarutobi mau tak mau harus ikut makan untuk menghormati ibunya. Hingga saat ia akan mengambil sumpit, Sakura mulai bersuara mengatakan keganjilan dalam suasana itu.

"Chotto, Kaasan. Kenapa kalian memasak makanan sebanyak ini? Dan .... Kalian bisa akur?"

Kedua pasangan paruh baya itu nampak saling melempar tatap. Seolah menyuruh menjelaskan sesuatu tetapi keduanya nampak enggan untuk mengawali pembicaraan dan malah terkekeh geli.

"Rokudaime besok akan bertemu dengan beberapa daimyo juga delegasi penting. Jadi kami berinisiatif untuk membuatnya sedikit rileks juga agar ia lebih percaya diri. Ia juga akan menikah denganmu kan?" Ucap Mebuki yang terasa begitu tulus.

"Besok? Kenapa kau tidak memberitahuku, Bakka!" Teriak Sakura sembari menggebrak meja.

"Sakura! Jaga sikapmu, kau ini benar-benar masih kekanakan," gerutu Kizashi sembari menjewer kupingnya dan membuat semua orang di meja itu tertawa.

"Ittai! Dia juga masih kekanakan kenapa aku tidak boleh?" Gerutu gadis musim semi itu sembari mengusap kupingnya yang memerah.

"Haha, sudahlah. Apa artinya kejutan jika aku memberitahumu lebih dahulu, lagipula tadi aku sudah mencari ke tiap sudut tempat tapi tidak menemukan bayanganmu sekalipun,"

"Itu karena kau tidak mencari dengan benar,"

"Aku mencarimu dengan benar karena menggunakan sharingan,"

"Kau tidak mencari dengan benar,"

"Aku mencari dengan benar,"

"Tidak,"

"Sudahlah, ayo kita makan sebelum dingin," sela Mebuki yang segera di jawab oleh anggukan.

Suasana rumah itu seketika menjadi dingin. hanya dentang sumpit yang terdengar. Sakura nampak hanyut dalam lamunan yang entah apa sembari mengaduk-aduk mangkuknya tanpa sadar.

Tiba-tiba Kakashi menyodorkan makanan yang telah ia sumpit ke depan mulut Sakura yang seketika membuatnya terkejut.

"Buka mulutmu. Aku tidak ingin salah satu pemandu sorakku berteriak seperti ayam tercekik," ucap Kakashi dengan nada meledeknya seperti biasa.

Sakura segera mendorong pelan tangannya, lalu mulai makan sembari tertunduk, "Kau akan bertemu orang-orang penting. Bukan untuk bertarung jadi kau tidak membutuhkan suaraku,"

"Aku membutuhkanmu, sangat .... Jadi ayo buka mulutmu dan makan ini,"

"Aku bukan anak kecil, Kakashi," ucapnya sembari kembali mendorong mundur tangannya secara pelan, membuat pria perak itu terlihat semakin bingung.

Sakura kini telah menyelesaikan makananya terlebih dahulu dan berjalan pergi ke kamarnya setelah Kakashi memutuskan untuk menginap selama beberapa hari.

Ia seketika menjatuhkan dirinya ke ranjang dan menatap pada jendela yang menampakan langit malam. Suara pintu yang bergeser nampak tak membuatnya bergeming, "Kau ingin tidur di sini?"

Tiba-tiba Kakashi sudah berada di sisinya. Ia nampak berbaring dengan menyamping dan menyangga kepalanya dengan tangan kanan, "Ya, memangnya tidak boleh?"

"Kita belum menikah,"

"Itu tidak masalah, aku tidak akan macam-macam,"

"Mau macam-macam pun aku tidak keberatan," Ucapnya membuat pria perak itu mengernyit lalu memiringkan tubuhnya, "Apa ada sesuatu yang terjadi?" Tanyanya sembari memainkan helai rambut gadis musim semi itu.

"Apa kau siap turun dari posisimu sebagai Rokudaime?"

"Ya, aku sudah sangat lelah dengan semua ini,"

"Kau akan memilih Naruto atau Sasuke sebagai penerus kursi kekuasaanmu?"

"Entahlah keduanya begitu berbakat," Ucapnya membuat sang gadis musim semi kembali terdiam karena sudah kehabisan topik mengenai perkembangan bidang politik, "Apa ada hal lain yang ingin kau katakan?"

Sakura nampak beberapa kali meliriknya dengan ragu, ia tak yakin harus menceritakannya atau tidak. Hingga akhirnya setelah beberapa saat ia menghela napas panjang lalu bertanya, "Apa kau tahu bagaimana cara menghentikan pernikahan politik?"

Kakashi nampak mengernyitkan alis sebelum ia membaringkan tubuhnya dan menatap pada langit-langit yang tak begitu menarik.

"Itu sangat sulit. Tapi ada dua hal yang bisa membatalkannya,"

Jawaban itu seketika membuat Sakura melontarkan ribuan pertanyaan dari sorot matanya. Kesunyian ruangan itu membuat setiap gerakan isyarat maupun sorot mata terbaca deng jelas.

"Hal pertama pernikahan politik batal adalah matinya salah satu calon pengantin. Hal kedua salah satu calon pengantin yang mati tidak memiliki saudara. Jika kau berfikir untuk menyingkirkan atau membunuh Haru itu sangat sulit karena dia putra ke sepuluh dari tujuh belas bersaudara, yang otomatis jika ia mati hak perkawinan akan di lemparkan pada kakak atau adiknya,"

"Bagaimana kau tahu perihal masalah ini?"

"Ibu dari Shikamaru pagi tadi datang meminta izin untuk menikahkannya dengan Temari. Tapi tentu saja aku  menolak karena itu bisa menimbulkan bencana besar dan aku yakin ia lari meminta tolong padamu karena Gaara hanya tunduk padamu," Jelasnya sembari perlahan melirik pada Sakura yang hanya terdiam.

Ia yang tidak suka di abaikan seperti itu, tiba-tiba menarik tangannya dan mendekap sang gadis musim semi yang kini menyandarkan kepalanya pada dada sang pria perak.

"Aku harap kau tidak menyetujuinya, Sakura. Jangan sampai kau berurusan dengan Sunagakure lagi,"

Sakura seketika meneguk ludah dengan kasar, ia kini hanya bisa mengangguk. Berharap Kakashi tak mengetahui jika ia sudah menyetujui misi itu. Ia mulai melingkarkan tangannya pada tubuh Kakashi sembari merapatkan tubuhnya.

"Sakura, kau selalu melarangku melakukan hal itu sebelum pernikahan. Tapi kenapa kau malah memancingku?"

"Aku hanya ingin tidur karena gulingku sedang di cuci. Jadi singkirkanlah fikiran kotormu itu atau aku akan membakar buku mesum itu," gerutu Sakura sembari memukul dadanya.

Kekehan Kakashi perlahan terganti dengan heningnya suasana malam. Sakura benar-benar tidak bisa tidur kali ini, beberapa kali ia memutar tubuhnya mencari posisi yang pas agar bisa terlelap namun tetap tidak bisa.

Tidur bersama seorang pria asing seharusnya bukan masalah, tapi entah kenapa rasanya ia perlu waspada jika tidur bersama Kakashi.

Ia pun perlahan bangkit dari ranjangnya dan duduk di balkoni, mencoba merilekasasikan fikirannya dengan udara malam yang cukup dingin.

"Kami-sama. Apa yang harus ku lakukan kali ini?" Ucapnya dengan setengah berbisik sembari menatap bintang yang satu persatu mulai redup.

********

Denting lonceng yang mengalun lembut bersama angin pagi di sebuah kuil, membuat Sakura yang tengah berdoa semakin fokus dan ingin terus berlama-lama di sana. Kebingungan juga harapan ia gantung pada setiap untaian kata yang terucap dari lubuk hatinya.

Di hari terakhir musim semi ini, entah ia harus bersyukur atau khawatir dengan yang tengah terjadi. Karena di satu sisi dua orang yang begitu ia sayangi akan bertarung memperebutkan tampuk kekuasan.

Tiba-tiba ketenangan Sakura seketika buyar begitu mendengar alarm pada jam tangannya. Ia seketika terlihat panik begitu melihat jam yang sudah menunjukan angka delapan pagi itu.

Dengan terburu-buru ia segera keluar dari kuil dan pergi ke istana para Daimyo yang akan mengadakan rapat penentuan. Saat ia akan sampai tiba-tiba Sai melompat tepat di hadapannya, membuat gadis musim semi itu tersentak kaget hingga hampir jatuh.

Saat ia akan melontarkan kekesalannya, Sai tiba-tiba menggenggam tangannya lalu dengan cepat menghilang dari sana. Sakura pun segera menyadari jika mayat hidup itu menyisipkan sebuah kertas yang sudah di lipat serapih mungkin saat ia menggenggamnya beberapa saat lalu.

Dengan cepat Sakura membuka surat itu dan mencermati isinya yang begitu rancu.

Jam pasir telah terputar beriringan dengan terkibasnya kipas merah. Dua belas perisai telah kembali tertata. Para gembala kini sedang di murnikan.

Sakura seketika mengernyitkan keningnya tak mengerti apa yang tengah di maksud Sai. Ia pun segera memasukan kertas itu pada saku celananya dan kembali bergegas ke istana yang sudah semakin dekat.

Tsunade, Kakashi, Shizune, Sai, Naruto dan Itachi sudah berdiri di depan gerbang dan terdengar meneriakinya agar berlari dengan cepat. Begitu tiba Tsunade pun segera mengomelinya tanpa henti hingga Shizune harus menengahi mereka.

Ia pun segera menarik tangan Tsunade untuk masuk terlebih dahulu. Namun, Kakashi segera menghentikannya. Ia meminta mereka untuk menunggu Sasuke yang belum juga tiba. Tsunade yang mulai kesal pun seketika mendelik lalu duduk di meja penunggu gerbang.

Saat di tanya dimana Sasuke berada, sulung Uchiha itu nampak hanya tersenyum sembari mengatakan kalau ia tidak tahu apapun. Para penjaga yang akan memberitahu mereka untuk masuk juga segera mengurungkan niatnya begitu melihat Tsunade mendumel tanpa henti seperti kereta api yang kehilangan rem.

Tiba-tiba Shizune menunjuk ke ujung jalan yang menampakan sosok Sasuke tengah berjalan dengan santai. Mereka semua terperanga dengan penampilannya yang benar-benar seperti Danzou.

Sasuke terlihat memakai kimono hitam dengan bagian dada yang terbuka, mengekspos pahatan keindahan yang pastinya membuat setiap kaum hawa terpesona. Lambang klan Uchiha juga terpatri jelas di bagian kiri kimono itu.

"Hoy, apa kau lupa ini acara rapat daimyo bukan acara catwalk," celetuk Kakashi sembari menutup mata Sakura dengan tangan kanannya.

Namun, bungsu Uchiha itu tak mendengar dan melengos begitu saja melewati mereka, membuat Tsunade hampir saja naik darah. Tanpa di suruh ia juga nampak segera meletakan katana yang melingkar di pinggangnya pada penjaga.

Begitu ia akan membuka pintu utama, Sasuke seketika melirik ke belakangnya dan menyentak lamunan mereka yang masih mematung di pintu masuk, "Kalian menunggu apa? Ayo masuk,"

Tanpa banya bicara mereka pun mengikuti langngkahnya. Para daimyo yang berjumlah lima orang itu melemparkan tatapan kesal, tak suka juga bosan. Mungkin karena lelah menunggu kehadiran mereka.

Setelah memberi hormat Naruto juga Sasuke duduk pada kursi yang berada di tengah ruangan. Sementara Tsunade bersama yang lainnya duduk melingkari mereka bersama para daimyo. Raut tegang nampak menghiasi tiap-tiap wajah yang ada di sana, kecuali Sasuke yang masih bisa bertindak tidak sopan dengan menyilangkan kedua tangan di dada sembari menundukan kepalanya.

Tiga ketukan keras dari palu membuat mereka langsung menatap pada ketua daimyo yang sudah siap membuka persidangan. Pria tua berambut kecoklatan itu mulai memperhatikan dua calon Nanadaime di hadapannya lalu beralih pada Kakashi.

Setelah mendapat anggukan dari pria itu, sang daimyo menghela napas panjang lalu menghentakan kipas di tangannya dan mulai mengipasi dirinya sendiri sembari memberikan ceramah yang cukup panjang tentang peranan seorang hokage hingga kewajiban juga tugasnya.

Setelah selesai dengan ceramahnya, giliran seorang daimyo wanita tua di sampingnya yang mulai menanyai kedua pria di tengah ruangan itu.

"Uzumaki dan Uchiha. Dengarkan baik-baik, ada beberapa hal yang akan aku tanyakan untuk menilai kepantasan kalian menjadi hokage. Apa kalian sudah siap?" Tanyanya dengan tatapan yang beberapa kali terlihat membidik Sasuke. Mungkin karena ia teringat akan saudaranya yang sudah mati, Danzou.

Jinchuriki nampak segera menjawab dengan begitu bersemangat, namun lain hal dengan sang bungsu Uchiha yang hanya menganggukan kepala. Itachi nampak begitu was-was, karena khawatie adiknya akan bertindak kurang ajar atau seenaknya.

"Dari wilayah kekuasaan. Klan Uzumaki hanya memegang 30% wilayah dan Uchiha memegang 80%. Ini berarti Klan Uchiha lebih unggul dan bisa membantu pembangunan kemajuan perkembangan penduduk yang lebih besar," jelas daimyo wanita itu sembari membaca kertas di hadapannya.

"Tapi dalam catatan ini, kalian baru menyelesaikan 16 misi?" Sela daimyo lain dengan nada merendahkan pada sang bungsu Uchiha.

Sasuke nampak menghela napas panjang, menahan rasa sabar dalam dadanya lalu berkata, "Aku tidak ingin menyia-nyiakan chakraku untuk misi tidak penting seperti menangkap kucing, berburu babi hutan, mengawal pemimpin mesum dan lain sebagainya,"

"Aku juga telah melakukan banyak misi, tapi kalian tidak mencatatnya dengan benar dattebayo!"

"Tapi itu bisa mengasah kemampuan kalian. Kami juga telah mencatatnya dengan benar," Lagi, daimyo itu masih terus menjegal namun Sasuke masih terlihat bisa mengendalikan diri.

"Orochimaru telah mendidikku menjadi lebih kuat tanpa misi konyol seperti itu. Apa aku harus mengulang peperangan kemarin agar kalian ingat prestasiku?"

"Hah, baiklah. Berbicara denganmu hanya membuat darah tinggiku kambuh," ucap tetua daimyo sembari mengurut pelipisnya.

"Selanjutnya. Seorang pemimpin harus memiliki pendamping yang setara. Apa kalian sudah memilikinya?"

"Ya, saya memiliki Hinata Hyuga," ucap Naruto dengan tegas.

"Calon pendampingku, Sarutobi Kurenai."

"Are!" Pekik semua orang yang tak percaya dengan jawaban dari bungsu uchiha itu.

"Uchiha, kau benar-benar telah melewati batas! Kurenai telah menjadi anggota klan Sarutobi dan itu permanen. Sekalipun klan kalian sama kuatnya, Kurenai adalah aset berharga satu-satunya milik klan Sarutobi yang tak boleh di ganggu!" Teriak Tsunade sembari menggebrak mejanya hingga terbelah menjadi dua dan terlempar ke tiap sudut ruangan.

Wanita paruh baya itu pun segera melompat tepat di hadapannya dan mencengkram kerah pria itu. Namun, tak di sangka Sasuke hanya menatapnya dengan dingin yang membuat Tsunade menjadi semakin kesal.

Kakashi juga Naruto segera mencoba memisahkan mereka. Tatapan keduanya seketika membekukan suasana ruangan itu.

"Aku tarik suaraku untukmu," ucap Tsunade sembari menunjuk bungsu Uchiha itu

"Kau benar-benar licik, Tsunade-sama. Anak muridmu saja kau izinkan menikah dengan senseinya, kenapa tidak denganku?"

Jawaban bungsu Uchiha itu membuat seluruh ruangan menatap padanya. Gemeretak tangan dari Tsunade sudah benar-benar tak bisa di tahan. Dalam sekejap ia mengepalkan tangan dan berlari ke arah Sasuke dengan cepat untuk meninjunya.

Tiba-tiba Kakashi mencengkram kepalan tangannya dengan sekuat tenaga hingga terdorong mundur.

"Hentikan! Jika kau memang bersikukuh menikahi Sarutobi Kurenai. Tanggalkan nama klanmu dan berikan wilayah kekuasaan Uchiha pada kami sekarang juga," teriak sang ketua daimyo.

Sasuke tiba-tiba melepas pakaiannya dan melemparkan pada tetua daimyo itu sembari berkata, "Aku telah menanggalkan nama klanku tetapi tidak dengan wilayah klanku karena sudah terjual pada orang yang lebih berhak."

"Siapa?" Tanya semua orang bersamaan.

Sasuke nampak kembali menutup rapat mulutnya dan memalingkan wajah dengan acuh. Sakura benar-benar tak mengerti dengan perubahan drastis dari pria itu.

Perlahan ia mendekat padanya dan menggenggam tangan bungsu Uchiha itu. Tatapan tajam seketika terpancar jelas dari matanya. Namun, Sakura tidak takut lagi seperti dahulu.

Bahasa dari mata ke mata sering mereka lakukan dan ia berharap bungsu Uchiha itu mau mengerti. Tapi Sasuke hanya melirik ke arah lain, hingga Itachi juga maju dan menepuk pundaknya.

Ia nampak mengangguk pelan, mencoba meyakinkannya. Jemari yang Sakura genggam sedari tadi terasa kaku dan menegang kini terasa mulai sedikit rileks.

Sai juga tiba-tiba memegang pundak kirinya sembari tersenyum. Sekalipun sudah bertahun-tahun mereka bersama, Sakura masih tak mengerti arti senyuman palsu itu.

"Aku telah berjanji untuk tidak mengatakannya. Jadi jangan memaksaku," Ucap Sasuke yang segera berbalik, menghempas para tangan yang menggenggamnya.

"Apa kau benar-benar serius mencintai Kurenai, Uchiha?" Tanya wanita daimyo tua itu.

Sasuke hanya berdeham ringan seperti biasa dan tak di sangka para daimyo memutuskan menunda persidangan itu.

********

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro