02. Perfect Plan 💍

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💕Happy-Reading💕

Matahari di permulaan sore mulai menghangat. Desir ombak dan suara gemerisik dari daun-daun Waru yang terusik angin terdengar seperti bisikan di telinga Kyara untuk segera berlari ke pesisir. Sesuai tekadnya, Kyara ingin berayun santai di buaian dan menikmati panorama alam bahari di sana. Namun jangankan untuk beranjak, tatapan Adya membuatnya terpaku di tempat.

Kyara berulang kali menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, mengimbangi angin laut yang bertiup makin kencang. Tangannya bergerak gelisah, mengaduk koktail buah yang dijadikan dessert sebagai pengalihan. Sorot mata Adya yang terus menilik sedari tadi benar-benar membuat Kyara salah tingkah. Bahkan berhadapan dengan examiner saat viva voce dan thesis defense tidak membuatnya sampai segugup ini.

Di lain pihak, Adya sama sekali tidak menyadari telah menatap calon istrinya sedemikian lama. Kyara yang duduk berhadapan dengannya saat ini mengenakan sleeveless long dress berwarna hijau tosca dengan aksen pita pada bagian bahu yang membuatnya makin manis. Wajahnya yang kini bersih tanpa make up terlihat sangat cerah. Adya sampai dibuat penasaran dengan bulu mata Kyara yang panjang dan lentik, kelihatan alami tanpa jejak riasan sama sekali. Ditambah bibir tipisnya yang merekah indah. Siapapun pasti akan betah memandang lama.

"Apa kau suka makan rambut?"

Satu pertanyaan spontan keluar dari bibir Adya saat Kyara mengangkat wajah dan menatap ke arahnya. Adya berdeham, merasa seperti pencuri yang tertangkap basah. Adya tahu apa yang dikatakannya sangat konyol, tetapi itu masih lebih baik ketimbang ketahuan memperhatikan wajah Kyara.

"Ah?" Kyara yang baru saja menengadah untuk meredakan pegal yang menjalar di tengkuknya terlihat bingung. Pipinya kemudian merona begitu Adya bangkit dari kursinya dan mencondongkan badan. Tangan calon suaminya itu terulur, menyeka anak rambut yang jatuh di pipinya.

Adya sendiri merutuki diri yang lagi-lagi bertindak otonom. Ini jelas bukan perhatian, hanya sekadar reaksi spontan untuk mendukung pembelaan dirinya.

"Terima kasih ...."

"Ya."

Kyara kembali menunduk. Ia tidak pernah kesulitan memulai pembicaraan sebelum ini, tetapi Adya tampaknya lebih suka berbicara lewat mata. Kedua pun kembali larut dalam diam.

"Apa aku mengganggu?"

Adya menggulirkan bola matanya dengan malas mendengar sapaan Kaisar. Laki-laki itu menyengir tak berdosa padanya sambil meringis. "Meja di dalam penuh."

"Oh, Kaisar?" Kyara melirik Adya sebentar lalu menggeleng. "Tentu saja tidak. Mari bergabung."

Adya sebenarnya sudah menunjuk satu meja kosong di sebelahnya lewat isyarat mata. Sayangnya Kaisar terlalu senang sampai tidak memperhatikan. Dengan gerakan cepat Adya kemudian berdiri dan mengambil tempat duduk di sebelah Kyara. Hanya agar Kaisar tidak merasa sungkan.

"Dara, di sini!" seru Kyara tiba-tiba sambil melambaikan tangan. Adya ikut menoleh dan mendapati sahabat Kyara itu menghampiri mereka.

"Tidak masalah aku ikut bergabung?"

Adya berdecak dalam hati. Mengapa orang-orang selalu bertanya untuk sesuatu yang sudah jelas jawabannya? Tentu saja mereka mengganggu. Mengganggu ketidaknyamanan yang ia nikmati antara dirinya dan Kyara.

"Tentu tidak, Nona Dara yang manis." Kaisar menyahut santai lalu menggeser kursi di sebelahnya.

Dara mengangkat bahu dengan cuek lalu duduk di samping Kaisar hingga mereka berempat saling berhadapan.

"Kalian sudah akrab, ya?" tegur Kyara sambil menahan senyum saat Dara melotot padanya.

"Ya, begitulah." Kaisar mengedipkan sebelah matanya pada Dara lalu beralih pada Kyara sambil tersenyum percaya diri. "Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan dengan benar."

Kyara mengiyakan dalam hati. Kyara tahu Kaisar dari interaksinya dengan Adya saja.
Tidak ada salahnya mengakrabkan diri dengan sahabat calon suaminya sendiri. Begitu pikir Kyara. Namun belum sempat ia menyambut tangan Kaisar yang terulur, Adya lebih dulu menjawab.

"Namanya Kyara Putri Rembulan. Panggil saja Kyara." Adya beralih pada Kyara dan menunjuk Kaisar dengan dagu. "Kaisar Aditya. Kau sudah tahu dia dipanggil siapa. Jadi selamat berkenalan."

Kyara hanya melenggut sedangkan Kaisar melongo beberapa saat sebelum tergelak. Dara di sebelahnya pun memalingkan wajah dengan bahu berguncang.

"Seperti aku ingin mencuri Alexandrite di tangan Kyara saja, Adya!" goda Kaisar dengan jahil.

Adya bersedekap menanggapi ocehan Kaisar. Diperhatikannya Kyara yang terkekeh. Gadis itu cukup periang pada orang lain.

"Aku tidak mengenakan cincin" Kyara mengangkat tangannya. "Bisa gawat kalau jatuh di pantai nanti."

Kaisar lantas mengangguk maklum. "Benar juga. Permata mahal begitu memang harus disimpan baik-baik."

"Cincin tunangan memang harus dijaga, bukan? Kalau cuma untuk koleksi, punya papa Kyara juga banyak." Dara berceletuk lalu menyeruput jus alpukatnya sekali. "Bahkan punya Taaffeite."

Kaisar terbatuk seketika. "Serius? Taaffeite yang langka itu?"

"Papa sejak dulu memang kolektor batu permata jadi banyak relasi. Beberapa juga diperoleh dengan saling barter."

Adya merasa Kyara sedang berusaha merendahkan diri dengan kata-katanya barusan. Padahal wajar saja bagi ekonom besar untuk mengoleksi barang mahal.

"Wah, aku curiga papamu punya koleksi Infinity Stones juga seperti Thanos!" Kaisar masih dengan rasa kagumnya menggeleng berulang kali. "Apalah dayaku yang cuma punya batu empedu."

Candaan Kaisar ditanggapi dengan tawa renyah oleh Kyara dan Dara, terutama Kyara. Mereka kemudian berbincang banyak, mengabaikan Adya yang mulai merasa tersisih.

"Kyara," panggil Adya berusaha terdengar normal. "Kau ingin bermain di pantai bukan?"

Kyara masih berusaha memahami keadaan saat Adya berdiri lalu menarik lengannya.

"Mari pergi." Adya tersenyum sambil melemparkan tatapan mengintimidasi pada Kaisar dan Dara yang mendongak padanya. "Berdua saja."

🍀🍀🍀

Kyara melepas Sneaker putihnya dan berlari-lari kecil menuju pantai dengan girang. Topi pantai yang tadi menutup kepalanya dibuka, membuat rambut panjangnya tertiup angin.

Adya yang berjalan di belakangnya tinggal mengawasi. Sejujurnya Adya tidak benar-benar berkeinginan untuk bermain ke pantai, ia hanya ingin menjauhkan Kyara dari jangkauan orang-orang di sekitarnya. Jangan salah, ini bukan jenis cemburu. Tidak lucu sekali bila Adya harus cemburu pada Kaisar yang cuma mengajak Kyara berkenalan.

Atau mungkin ia memang cemburu. Cemburu pada Kyara yang bisa menikmati momen prewedding mereka tanpa dihantui berbagai beban pikiran dan sejuta rencana.

"Indahnya!" Kyara yang sedang bermain dengan ombak bersorak.

Lihat? Dia tampak sangat bahagia.

Adya mendudukkan dirinya di pasir yang lembut, mengamati Kyara yang sesekali berbalik padanya. Adya belum mengenal betul seperti apa Kyara yang akan sah menjadi istrinya beberapa hari lagi.

Sebagai putri bungsu tunggal di keluarga Jayachandra, Adya sudah mewanti-wanti Kyara akan memiliki sifat kekanak-kanakan yang manja dan merepotkan, atau seperti perempuan materialistis lain yang hanya menggemari barang-barang mewah dan banyak maunya. Adya cukup mapan untuk tidak kekurangan materi, Kyara secara fisik juga sangat mengundang atensi untuk tidak diabaikan, tetapi jelas itu bukan jenis pribadi yang disenanginya.

Adya menegakkan punggung begitu Kyara berjalan mendekat. Butiran pasir tampak melekat di kaki jenjang dan ujung dress-nya yang basah oleh air laut. Ia kemudian dibuat terkesiap saat tiba-tiba Kyara merebahkan dirinya di atas pasir.

Ke mana gadis tinggi hati dan Clean Freak dalam bayangannya? Kyara boleh saja menjaga image saat pemotretan tadi, tetapi duduk di pasir tanpa pengalas? Mengapa gadis ini selalu membuat pikirannya rumit?

"Bermain ombak sangat melelahkan," ujar Kyara dengan mata terpejam.

"Tidak ada yang memintamu melakukan itu."

Kyara membuka mata lalu bertumpu pada kedua tangannya dan duduk meluruskan kaki. "Tapi seru sekali!"

Adya bangkit. "Ada banyak hammock bila kau ingin tiduran," katanya singkat lalu menuju ke jejeran pohon kelapa.

Kyara lekas mengikuti, ia terlalu asyik bermain ombak sampai lupa akan tekadnya berayun di buaian. Ketika tak sengaja memandang ke laut, langkahnya langsung terhenti.

"Sepatuku!"

Adya yang mendengar pekikan tersebut berbalik cepat dan mendapati Kyara berlari kembali ke laut untuk mengambil sepatunya yang terseret arus. Adya menyilangkan tangan di depan dada. Tampaknya Kyara sangat suka pada sepatu tersebut, ia tidak menggantinya sejak tadi. Padahal ada sendal vila yang lebih nyaman dipakai berjalan di pantai.

Terserahlah, Adya tidak peduli. Ia merebahkan diri di ayunan. Lagipula hanya sebatas bibir pantai. Kyara tidak mungkin tenggelam. Kecuali bila ia tidak bisa berenang.

Namun, bagaimana bila Kyara memang tidak bisa berenang?

Adya buru-buru bangun. Kekhawatirannya terbukti saat ia membuka mata dan tidak mendapati Kyara di tempat terakhir kali perempuan itu berdiri. Sebuah topi pantai yang dikenalinya sebagai topi milik Kyara tampak mengapung di permukaan. Tanpa menunggu waktu sedetik pun, Adya berlari ke arah laut dan ikut menceburkan dirinya.

"Kyara!" Adya berteriak memanggil Kyara yang terengah-tengah di tengah gulungan ombak. Secepat kilat ia menyelam, meraih lengan kecil Kyara yang terulur lalu membawanya menepi.

"Apa yang kau lakukan, hah! Sepatu itu bisa dibeli lagi!" Adya mengguncang bahu Kyara yang berusaha mengatur napas sambil memeluk erat Sneakers putihnya. Adya tidak habis pikir apa yang membuat sepatu itu begitu berharga. Apa mungkin pemberian dari orang spesial? Adya merasa kesal sendiri dengan kemungkinan itu.

"Kyara ..., kau tidak apa-apa?" Adya menunduk dan mengelus pelan punggung Kyara yang terbatuk-batuk.

Tiba-tiba saja jantung Adya berdebar keras begitu menyadari sesuatu. Jangan bilang Kyara butuh napas buatan!

Bukan tidak ingin memberi pertolongan pertama pada calon istrinya sendiri, Adya hanya takut khilaf bila harus melakukan itu.

Gelengan lemah dari Kyara membuat Adya merasa lega sekaligus kecewa. Ia menghela napas sembari menyugar rambutnya yang jatuh ke dahi karena basah.

"Apa sepatu itu begitu spesial sampai kau mempertaruhkan keselamatanmu?" Pertanyaan spontan lagi-lagi terlontar begitu saja dari mulut Adya saat Kyara menepuk-nepuk sepatunya.

"Ya. Ini hadiah dari kakakku." Kyara menatap Adya sejenak. "Lagi pula kau juga menyukainya," lanjutnya dalam hati.

"Begitukah?" Sebuah perasaan lega tak berdasar membuat Adya merutuki diri untuk kesekian kali.

"Kenapa?" Kyara terkesiap. Adya tidak mendengar isi hatinya, kan?

"Tidak. Bukan apa-apa."

"Baiklah. Terima kasih sudah menyelamatkanku. Aku masih ingin main ayunan. Boleh, ya?

"Sepuluh menit. Setelah itu kembali ke vila dan ganti pakaianmu. Bunda pasti akan memarahiku bila kau sakit karena ini." Adya berujar tegas. Kyara sakit juga sebenarnya ada baiknya, agar pernikahan mereka bisa ditunda. Tetapi ditunda belum berarti dibatalkan. Menunda hanya akan membuat rencananya makin lama terlaksana. Pada intinya Kyara memang tidak boleh sakit.

Kyara mengangguk dan berbalik, namun sesuatu di wajah Adya membuatnya memutar badan lagi.

"Ah, matamu merah." Kyara menahan tangan Adya yang spontan ingin mengucek matanya. "Jangan dikucek, nanti makin parah."

"Sepertinya kemasukan sesuatu." Adya berdecak.

"Lisozim akan menghancurkannya."

"Apa?"

"Lisozim. Enzim dalam air mata."

Adya tidak membantah saat Kyara menariknya menuju ayunan tali.

"Tunggu di sini sebentar. Akan kuambilkan cairan pembersih di kamar."

Dari sudut mata Adya bisa melihat Kyara berlari dan menaiki tangga vila dengan terburu. Adya mendengus kecil. Padahal ia hanya kelilipan, bukan kekurangan darah.

Setelah beberapa menit berlalu, rasa gatal membuat Adya tidak tahan untuk mengucek matanya. Masa bodoh dengan lisozim atau enzim apapun dalam air mata yang dikatakan Kyara tadi.

"Jangan dikucek!" teriakan Kyara dari jauh membuat Adya menyentakkan kepala. Tak lama, perempuan itu tiba di sampingnya dengan napas terengah-engah.

Adya menurut saat Kyara membantunya meneteskan cairan mata steril. Degup jantungnya kembali berpacu melihat wajah Kyara dari dekat yang perlahan memburam. Adya baru sadar tidak berkedip saat suara Kyara menyentakkannya.

"Kau bisa menutup mata? Cairannya jadi keluar semua."

"Oh, iya. Aku lupa." Sungguh, Adya ingin sekali menampar dirinya sendiri.

Kyara terkikik geli dalam hati. Ia kemudian beranjak, berniat merebahkan diri di ayunan sebelah. Sayang ujung dress-nya tersangkut pada kait hammock, Kyara pun hilang keseimbangan hingga justru berakhir di atas tubuh Adya.

Adya membuka mata dan refleks menahan tubuh Kyara agar tidak jatuh, membuat mereka tampak berpelukan di atas ayunan dengan mesra. Wangi rambut Kyara yang semerbak membuat Adya bergeming. Tak berniat bergerak apalagi melepaskan.

"Wow! Amazing!"

Sebuah seruan disusul suara jepretan kamera membuat keduanya menoleh. Kaisar melambai dengan cengiran khasnya.

"Hai kalian, jangan salah sangka. Aku hanya mengetes pencahayaan, kok!" Kaisar memutar badan. "Oh iya, cuma mau mengingatkan. Malam pertama kalian masih beberapa hari lagi."

Sejurus kemudian Kasiar mengambil langkah seribu. Sebelum Adya naik pitam dan mengarungkannya ke laut lepas.

🍀🍀🍀

Waktu bergulir ke pertengahan malam. Jarum jam telah menunjukkan pukul dua belas lewat, tetapi mata Adya enggan terpejam. Ia berguling kanan-kiri dengan resah di tempat tidur.

Adya berkeras menyebut gejala tersebut sebagai gangguan ritme sirkadian. Di rumah warisan kakekya yang ia tinggali setahun belakang dalam rangka memantau jalannya proyek perusahaan, ia memang tidur lebih cepat dari biasanya. Sekitar pukul sebelas atau kurang. Daerah pegunungan yang sunyi dan sejuk membuatnya fokus bekerja dan nyaman beristirahat. 

Dua tahun belakangan setelah menyelesaikan studi profesinya, Adya terjun ke bidang bisnis di bawah naungan Antariksha Grup, kelompok usaha rintisan kakeknya yang telah berjalan selama tiga generasi. Saat ini Adya memimpin sebuah perusahaan konstruksi untuk proyek sipil dan lingkungan atas namanya, PT Adyatama Nusantara. Salah satu perusahaan kontruksi ternama di Indonesia Timur yang bergerak pada sektor real estate dan building construction.

Tidak seperti ayahnya, Adya tidak suka politik. Adya muak tiap kali orang-orang menjilat di hadapan ayahnya. Adya lelah dengan semua pergolakan yang sewaktu-waktu bisa mengancam keselamatan keluarganya.

Namun begitu, sebenarnya mudah bagi Adya untuk duduk santai sambil menandatangi berkas, tanpa harus terlibat urusan lapangan. Kakek dan ayahnya adalah putra tunggal dan pewaris utama keluarga Antariksha saat ini jatuh padanya. Hanya saja, Adya punya prinsip sendiri untuk mempertahankan otoritas profesinya. Begitu cara Adya menjaga martabat keluarganya.

Adya menatap langit-langit kamar yang muram, selaras dengan hati dan pikirannya. Terhitung seminggu lagi pernikahannya berlangsung. Gugup mungkin wajar bagi calon pengantin baru. Namun tentu tidak bagi mereka yang tidak benar-benar menginginkan pernikahan, seperti dirinya.

"Semakin rumit saja." Adya bangkit dan menyugar rambutnya frustrasi. Adya tidak menampik perasaannya yang tak karuan menjelang momen sakralnya tiga hari lagi. Akan tetapi dibanding gelisah, Adya justru merasa cemas. Bukan cemas memikirkan pasangan maupun biaya. Adya cemas memikirkan rencana yang sudah dipersiapkannya jauh hari.

Adya meraih ponselnya di nakas. Room chat Kyara menyapanya saat membuka kunci. Melirik jam yang tertara di status bar membuat Adya berdecak lalu kembali merebahkan diri. Dipandanginya profil Kyara lekat-lekat.

Apa gadis itu sudah tidur? Apa tidurnya belakangan ini nyenyak? Apa dia merasakan kegelisahan yang sama?

Mendadak satu pertanyaan yang paling mengusik Adya kembali terlintas.

Atas dasar apa Kyara menerima pernikahan ini? Apa karena dia memang anak yang penurut pada orang tua? Rasanya tidak mungkin putri kesayangan sepertinya mendapat paksaan untuk menikah hanya karena calon mertuanya seorang pemegang jabatan penting. Keluarga besar Jayachandra punya kekuatan untuk menolak.

Apa dia kurang mandiri sehingga butuh pria dewasa untuk mengayomi? Atau ... karena ada hal tertentu seperti skenarionya?

Sepertinya hanya kemungkinan pertama dan kedua yang memungkinkan. Sebab Kyara terlalu manis untuk membuat siasat yang picik.

Pintu yang diketuk pelan kemudian membuat perhatian Adya teralih. Tanpa menunggu jawaban, seseorang di balik sana langsung menyeruak masuk.

"Baru pulang?" tanya Adya pada Ezra, adik laki-laki yang terpaut 7 tahun dari usianya. Ezra sekarang menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Politik. Aktivitas organisasi kampus yang padat membuatnya selalu pulang larut.

"Begitulah. Masih banyak kerjaan sebenarnya, tapi bunda sudah menelepon."

"Pikirkan kesehatanmu juga, jangan terlalu diforsir."

"Wah, lihat siapa yang bicara." Ezra meringsut ke arah Adya dan menyandarkan kepala di pundaknya. "Kamu bahkan bekerja saat cuti begini, Kak!" tukasnya tak mau kalah.

"Setidaknya jangan membuat bunda khawatir. Nanti sakitnya kambuh." Adya menghela napas pelan. Ibunya yang ia panggil bunda menderita penyempitan pembuluh jantung sejak beberapa tahun yang lalu. Satu alasan lagi yang membuatnya tidak bisa memberontak lebih jauh soal perjodohan dan pernikahannya.

"Oke!" Ezra menyatukan ibu jari dan telunjuknya lalu berbalik pada Adya. "Ngomong-ngomong, bagaimana kak Kyara?"

"Bagaimana apanya?"

"Ya, apa saja. Ceritalah padaku." Ezra tersenyum jahil.

"Kurasa dia baik-baik saja."

"Bukan itu!" Ezra mencebik. "Ceritakan tentang hubungan kalian. Makan siang tadi bagaimana?"

Giliran Adya yang mencebik. Bunda pasti memberitahu Ezra soal makan siang di masion Navagraha milik keluarga Jayachandra. "Hanya makan siang biasa."

"Masa? Wajahmu merah begitu, Kak!"

"Jangan mengada-ada!"

Ezra tertawa kecil melihat reaksi Adya.
"Ngomong-ngomong, kak Kyara cantik sekali, ya. Bisa memperbaiki keturunan, nih!"

Adya mendengkus. "Memang apa yang salah dari kita berdua atau dari bunda dan ayah sampai harus diperbaiki?"

Ezra tergemap. Keahliannya sebagai pembicara di tim debat fakultas rupanya belum bisa menang adu mulut dengan kakaknya itu. "Ralat, deh. Kalau begitu meningkatkan kualitas keturunan."

"Terserah."

Ezra tersenyum puas lalu mematikan lampu tidur. "Aku tidur di sini, ya?"

"Ya."

Adya kemudian menarik selimut. Dengkuran halus Ezra terdengar sangat damai. Adiknya itu pasti sangat kelelahan.

Pikiran Adya kembali menerawang. Kata-kata Ezra terngiang serupa degungan yang menulikan telinganya.

"Keturunan?" Sudut bibir Adya tertarik membentuk senyum miris.

Keturunan. Sesuatu yang mempererat ikatan sebuah pernikahan. Sesuatu yang bertolak-belakang dengan semua rencananya. Tentu saja, ia tidak pernah memikirkan hal sejauh itu.

Adya menggeliat sebentar lalu memaksa matanya terpejam, mengistirahatkan dirinya untuk momen pernikahan beberapa hari menjelang.

💍💍💍
TBC

Chapter 3–6 sudah ada di Karyakarsa, ya. See you next chapter! 🥰🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro