12. Proximity 💍

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💕Happy Reading💕

.

.

.

Selama tinggal di Mallawa, baru kali ini Kyara mendapati dirinya sedemikian resah hingga setengah artikel pun tak habis dibaca olehnya. Satu hal yang baru ia khawatirkan adalah kenyataan bahwa Adya pun memiliki masa lalu. Itu pasti.

Sejak awal Kyara memang tidak berpikiran untuk mendikte segala sesuatu tentang Adya. Mereka bukan pasangan yang sudah lama bersama. Akan ada terlalu banyak hal untuk dipertanyakan dan Kyara tahu itu akan menjadi beban bagi satu sama lain. Sebab itu ia ingin semua berjalan perlahan, saling terbuka dan memahami seiring waktu.

Akan tetapi, Kyara sudah patut mengubah haluan pemikirannya. Adya memang mulai melunak. Kyara bisa merasakan kehangatan saat Adya memberi teguran. Kyara sadar Adya memperhatikannya dengan baik, tetapi ada saat di mana suaminya itu tampak menarik diri. Seperti saat mereka berdua berdampingan di tempat tidur, atau ketika dengan tidak sengaja Adya mendapatinya hanya mengenakan pakaian minim saat masuk ke kamar.

Kyara pantas khawatir. Selama ini ia bisa menerima dan menoleransi Adya sebab sejak awal ia tahu benar siapa laki-laki yang akan menjadi tempat bakti pertamanya itu. Namun, percakapan staf kebersihan di kantor Adya kemarin membuatnya tidak ingin menutup mata dan telinga. Instuisinya terlatih untuk membedakan mana yang butuh "sekadar tahu" dan mana yang harus "dicari tahu".

Sekarang yang masih dipertimbangkan Kyara adalah harus mencari tahu pada siapa. Bertanya langsung pada Adya bukan ide yang bagus saat ini. Beberapa kali Kyara mendapati Adya memijat dahi setelah mereka tiba di rumah kemarin.

"Apa kutanyakan pada Bunda?" Kyara bermonolog dalam hati lalu menggeleng. Bunda punya penyakit jantung, salah sedikit akan berdampak buruk pada kesehatannya.

"Pada Ezra atau Kaisar?" Tidak. Jangan dulu. Pandangan orang beda-beda. Bisa-bisa hubungannya dengan Adya semakin goyah.

Pada akhirnya, Kyara memilih keluar rumah. Sebenarnya jalan-jalan keliling kampung di cuaca sore yang bersahabat adalah pilihan yang tepat untuk mengalihkan perhatian. Namun, mengendarai Porsche mewah mengitari desa yang hanya dilalui mobil jenis angkutan umum bukan sikap yang bijak.

Lagipula, sore hari keadaan jalan lumayan ramai. Kyara sudah beberapa kali keluar untuk belanja kebutuhan rumah dan tidak hanya sekali-dua kali ia harus menghentikan mobilnya agar tidak bersinggungan dengan para pekebun yang lewat.

"Segar sekali!" Kyara berseru lalu menghirup udara dalam-dalam Dersik yang sejuk membuat suasananya sedikit membaik.

Kyara merentangkan tangan lalu melenggang santai menuju padang rumput. Ketika melintasi garasi, tidak sengaja matanya menangkap perkakas berhamburan.

Siang tadi pak Aru sedang memperbaiki tiang gazebo atas perintah Adya. Kyara memang merasa kurang nyaman dengan pilar gazebo. Ternyata Adya masih membagi perhatian untuk keluhan yang tidak ditanggapinya dengan serius diperjalanan mereka kemarin.

Kyara lekas mengubah haluan. Garasi mereka cukup besar dan Adya tidak membebaninya untuk pekerjaan di luar rumah kecuali merawat tanaman. Namun, sesekali membantu tidak masalah bagi Kyara. Apalagi Adya sedang sibuk-sibuknya sekarang.

Dengan menyingsingkan lengan, Kyara mulai merapikan perkakas. Matanya membulat begitu mendapati sesuatu yang tertutup terpal saat hendak menggantung gergaji besi. Kyara mendekat lalu menyibak plasik berlapis debu tersebut dengan penasaran.

Detik selanjutnya, senyum penuh kagum mengembang di bibir Kyara. Semesta menunjukkan padanya cara yang tepat untuk berkeliling desa.

🍀🍀🍀

Entah bermula sejak kapan, Adya merasa pulang ke rumah adalah solusi paling baik untuk meredekan penat. Biasanya ia akan betah di kantor hingga malam hari bila sedang menemui masalah, tetapi tidak kali ini. Sandaran kursi kerjanya yang empuk bukan lagi tempat yang nyaman untuk merebahkan diri. Setelah rapat alot yang dipenuhi perdebatan, pikiran dan hati Adya berkoordinasi memberi perintah untuk kembali rumah. Mungkin karena keberadaan Kyara dan segala hal tentangnya yang membuatnya merasa ... nyaman.

Adya tidak ingin mengelak lagi maupun menyalahkan keadaan. Kepalanya sudah berkedut sejak pagi untuk mengarang alasan. Satu-satunya hal yang membuat perasaannya sedikit membaik–paling tidak untuk mengemudi dengan benar–adalah teh hangat yang rutin disiapkan Kyara.

Sebelah siku Adya bertumpu pada panel jendela yang kacanya sengaja dibiarkan terbuka. Tangannya memijat bagian di antara kedua alisnya yang bertaut sedari tadi. Pertemuan hari ini tidak menghadirkan solusi sama sekali. Pembangunan pada sisi barat pun harus dihentikan sementara. Dito telah memaparkan beberapa bukti kecacatan data yang dilaporkan tim analisis, tetapi kelompok khusus dari sekutu perusahaannya itu malah berlindung di balik nama pemimpin mereka yang hanya menampakkan diri sesekali.

Adya menghela napas. Angin yang berembus kencang menyibak rambutnya hingga tampak acak-acakan, membawa ingatannya pada momen manis di kantornya kemarin hari.

Sehabis rapat dadakan untuk membahas retakan yang terjadi pada dinding gua di bawah tiang pancang, Adya mengajak Kyara kembali ke ruangannya untuk beristirahat sebentar. Adya tidak ingin mengambil resiko berkendara saat lelah dan dalam suasana hati yang buruk.

Adya memilih berbaring di sofa untuk meluruskan badan. Ia belum sepenuhnya terpejam ketika Kyara duduk di sebelahnya, mengusap rambutnya penuh kasih dan membisikkan doa-doa yang tulus. Sungguh, Adya merasa hatinya damai seketika. Hal yang paling diinginkan Adya saat itu adalah berbalik, meraih tubuh Kyara agar tidur di sebelahnya, memberinya kecupan singkat, lalu beristirahat dalam pelukannya yang hangat.

Bicara soal Kyara, alasan lain yang memperkuat keinginan Adya untuk pulang cepat adalah karena perubahan sikap yang ditunjukkan istrinya tersebut semenjak kembali dari lokasi proyek. Acap kali Adya menjumpai Kyara melamun atau tersentak kaget ketika menyadari kehadirannya.

Subuh tadi ketika ia turun untuk menyiapkan berkas di kamar kerjanya, Adya mendapati Kyara termenung di depan kompor dengan air rebusan gula aren yang sudah mendidih dan mulai melekat di dinding panci. Bila bukan Adya yang buru-buru mematikannya, Kyara mungkin tidak akan menyadari hal tersebut.

Adya memutar ingatannya sepanjang hari kemarin untuk menemukan sesuatu yang ganjil. Satu-satunya yang dikeluhkan Kyara–itupun bila itu layak disebut sebagai keluhan adalah tiang gazebo yang mulai lapuk, dan Adya sudah meminta pak Aru membereskannya segera.

Kring .... kring ....

Dering bel sepeda membuat Adya memperbaiki posisi menyetirnya. Warga desa memang kebayakan menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Sekilas ia melihat ke belakang melalui spion tengah. Pengendara sepeda tersebut rupanya seorang perempuan dengan kaus putih dan rok model hankerchief yang rasanya pernah Adya lihat di suatu tempat yaitu jemuran.

Mata Adya kontak terbelalak. Ia menundukkan kepala agar bayangan perempuan yang mengejar dengan sepeda di belakangnya terlihat jelas. Menyadari siapa gerangan sosok perempuan cantik tersebut, Adya memutar kepala dengan sangat cepat dan melongok ke luar jendela.

"Kyara!"

Adya melihat Kyara mengayuh semakin kuat dan berhasil menyejajarkan posisi tepat di sebelahnya. "Mas Adya!" serunya.

"Apa yang kau lakukan?" Adya melihat ke depan terlebih dahulu, memastikan tidak ada kendaraan dari arah berlawan. "Sepeda itu sudah tua!"

"Sepeda ini masih bagus kok, Mas!" Kyara menunduk sebentar mengamati sepeda yang didapatkannya di garasi tadi. "Mas Adya, ayo lomba denganku! Siapa yang terakhir sampai di rumah harus cuci piring nanti malam!"

Adya mendesis melihat Kyara melesat begitu saja. Ia sama sekali tidak berniat meladeni ajakan tersebut. Namun ketika melihat sepeda yang digunakan Kyara meliuk-liuk kepayahan saat melewati jalan menanjak, rasa usilnya muncul juga. Dengan enteng ia menyalip Kyara sebelum berbelok.

Untuk pertama kali dalam hari ini, Adya bisa menarik sudut bibirnya dengan santai. Kyara yang bersusah payah menyusulnya sudah tak tampak lagi. Baru saja Adya merasa akan menang dengan mudah, Kyara membalik keadaan dengan muncul tiba-tiba dari jalan setapak di hadapannya.

"Dah, Mas Adya!" Kyara tersenyum lebar dan melambaikan sebelah tangannya.

Adya yang terkejut refleks mengerem.

"Kompetitif sekali! Dia bahkan tidak membunyikan bel!" Adya mengusap dada, membiarkan Kyara berbelok ke pekarangan.

"Aku menang!" Kyara bertepuk kecil saat Adya turun dari mobilnya.

"Apanya?"

Senyum Kyara memudar saat Adya melangkah cepat dan melewatinya menuju teras.

"Aku yang menang." Adya berbalik. "Kau bilang sampai di rumah, kan? Kau masih di pekarangan."

Kyara terpekur selama sepersekian detik sebelum tertawa. "Mas Adya, ya! Aku hanya bercanda, Mas. Tenang saja. Selama aku ada, aku tidak akan membiarkan Mas Adya mencuci piring!"

Adya mendengkus lalu kembali menuruni undakan. "Kau membereskan garasi?"

"Ya, tadi sedikit berantakan." Kyara mengikuti Adya yang mendorong sepedanya masuk ke garasi. "Mas, sepeda itu boleh untukku?"

"Tidak boleh," jawab Adya sambil membuka kotak perkakas.

"Kenapa?"

Adya hanya menoleh sebentar pada Kyara yang berjongkok di sebelahnya lalu mulai mempereteli bagian gir. Kyara duduk di sebelahnya dan memperhatikan dengan sabar tanpa bersuara.

"Sekarang boleh untukmu." Adya membersihkan bekas oli dari tangannya. "Rantainya sudah kuperbaiki."

"Serius, Mas? Kyara yang semula mengerucutkan bibir lantas membulatkan mata dan berdiri semangat.

"Ya. Biar kucoba dulu." Adya duduk di jok depan. "Naikkah."

"Hah?"

"Kubilang naik." Adya mulai memutar pedal ke belakang hingga gir berputar.

"Mas Adya tidak lelah?" Kyara duduk diboncengan malu-malu.

"Kau meragukanku?" Adya mengayuh sepeda keluar garasi lalu menuruni pekarangan hingga keluar gerbang. "Apa ini? Kau peri? Ringan sekali."

Kyara menunduk tersipu. Ia bukan tipikal perempun yang terlalu mempersoalkan berat badan, tetapi kata-kata Adya jelas membuatnya terhibur. "Kita mau ke mana, Mas?"

"Ke tempat yang belum kau kunjungi." Adya berbelok menuju lereng gunung yang menanjak. "Pegangan yang erat."

Mulanya Kyara hanya menggenggam sedikit ujung kemeja Adya. Namun, saat jalan semakin menanjak, mau tidak mau tangannya dibawa melingkar memeluk pinggang suaminya tersebut. Adya benar, lokasi yang mereka lewati adalah tempat yang belum ia kunjungi setelah berkeliling di beberapa dusun. Jalannya yang menanjak membuat Kyara menyerah duluan.

"Mas Adya, berhenti!" Kyara menepuk pundak Adya begitu melihat serumpun bunga warna-warni dari sela-sela batang pohon.

Adya menepi kemudian menahan kakiknya di tanah.

"Indah sekali!" Kyara turun lalu berjalan menghalau belukar menuju bunga-bunga liar yang bermekaran dengan rimbun tersebut. Sayang sekali ia tidak membawa kamera ataupun ponsel untuk memotret.

Tunggu! Kyara berbalik pada Adya.

"Mas Adya bawa ponsel?"

Adya mengangkat alis kemudian merogoh saku celana. "Ada. Kenapa?"

"Boleh kupinjam untuk memotret?"

"Ya." Adya berlutut hingga sepantaran Kyara. Ponselnya diarahkan tegak lurus. "Siap?"

"Bukan aku, Mas!" Kyara mengibaskan tangan setengah terkekeh. "Maksudku, aku ingin mengambil gambar bunga-bunga ini."

Adya mendecakkan lidah. "Sama saja."

"Sama apanya?" Kyara meringis dalam hati. Namun, ia tetap menurut saat Adya mengambil beberapa potretnya. Kyara bersumpah senyumnya pasti tampak aneh lantaran grogi.

"Taman ini cantik sekali, Mas. Seperti taman bunga Thumbelina."

"Tumbler ... apa?"

"Thumbelina, Mas." Kyara tertawa kecil kemudian melangkah menuju sebuah papan yang terpasang pada tiang. Catnya masih utuh, pertanda belum lama dipasang. "Ini apa, Mas?"

Adya melihat papan tersebut dan mengamati sekeliling. Ada beberapa patok yang terpasang. "Tanah ini milik pemerintah. Sepertinya akan ada pembukaan lahan. Mungkin sebagai tempat wisata. Di balik gunung ini memang ada air terjun besar."

"Pembukaan lahan? Itu tidak boleh!"

"Kenapa tidak?"

"Bunga-bunga ini pasti akan digusur!"

"Kita bisa apa? Ini lahan negara." Adya menarik Kyara menuju sepedanya, tetapi Kyara bergeming. "Ayolah, Kyara. Ini sudah hampir gelap."

Tidak mengindahkan Adya, Kyara tetap diam di tempat. Matanya memandang Adya lurus dengan wajah ditekuk.

Adya mempertahankan kontak mata dengan Kyara selama beberapa saat sebelum menghela napas. Lihatlah inkarnasi Persephone ini. Pembukaan lahan baru sekedar prediksi, tetapi ia sudah hampir menangis saja.

"Jadi, apa keinginanmu?"

"Kita beli saja lahan ini."

"Tidak bisa. Lahan ini bersambung sampai lereng gunung."

"Kalau begitu kita beli sampai lereng gunung."

Adya hampir saja terbahak. Istrinya memang luar biasa. Sebelum ini Kyara tidak pernah meminta apapun padanya. Sekalinya memohon, malah minta dibelikan gunung.

"Kalau Mas tidak mau, aku akan minta papa saja," tukas Kyara seraya menggembungkan pipi.

"Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan ayah nanti. Sekarang kita kembali rumah dulu. Oke, Dewi Persephone?" Adya membalikkan badan Kyara.

"Baik, Tuan Hades." Senyum kecil terlukis di wajah Kyara, tetapi tak lama kemudian berganti menjadi eksprei sendu. "Ah, tidak. Mas Adya tidak cocok menjadi Hades."

"Begitu?" Adya memiringkan kepala melihat Kyara menunduk. "Kenapa?"

"Karena Hades sangat mencinta Persephone." Kyara bergumam sambil menerawang.

Adya terpekur. "Kau ... bilang apa?"

"Ah?" Kyara spontan membekap mulut begitu menyadari dirinya melantur. "Bukan apa-apa, Mas! Ayo pulang, biar aku yang membonceng Mas Adya!"

Adya mengamati Kyara yang berlari salah tingkah lalu membunyikan bel sepeda. "Memang kau bisa?"

"Bisa! Jalanannya menurun, kok!"

"Baiklah." Adya duduk di belakang Kyara. Diam-diam Adya menikmati wangi rambutnya yang terbawa angin. "Rambutmu panjang sekali," tuturnya sambil menyisir rambut Kyara dengan jari.

Desir yang menggelikan merayapi punggung Kyara saat Adya memainkan ujung rambutnya. Jantungnya memompa lebih cepat, membuat keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Mas Adya sedang apa?"

"Rambutmu menusuk mataku." Adya berbisik tepat di telinga Kyara.

Perhatian Kyara teralihkan dari jalan. Keseimbangannya seketika goyah saat ban depan sepeda terantuk batu kerikil.

"Aaah! Mas Adya ...!" Kyara memekik saat sepedanya turun melewati lereng tak terkendali.

Adya bergerak cepat, kakinya diturunkan untuk memperlambat kelajuan sedang kedua tangannya berusaha menjangkau setir. Sayang, sepeda mereka terlanjur berbelok arah hingga keduanya berakhir di semak-semak.

"Mas ...." Kyara bangkit seraya meringis. Diperhatikannya Adya yang tertunduk dengan bahu berguncang. "Mas Adya ...?" panggilnya takut-takut.

Adya mengangkat kepala dan tertawa keras. Kyara sampai memundurkan badan saking kaget. Ini baru pertama kalinya Adya tertawa selepas itu di hadapannya.

"Apa yang kau lakukan, hah?" Adya kembali tertawa. "Aku tidak pernah jatuh dari sepeda seperti ini!"

Kyara ikut terkikik. "Mas Adya membuatku tidak fokus, sih!"

"Tidak fokus bagaimana?" Adya membantu Kyara berdiri lalu mengambil sepedanya yang tergeletak. "Sudah, biar aku yang bawa sepedanya."

Kyara membersihkan pakaiannya dari daun-daun kering lalu menghampiri Adya. Belum sempat duduk di boncengan, Adya lebih dulu lepas landas.

"Mas Adya! Aku belum naik!"

"Pulang jalan kaki saja!"

"Ih, Mas Adya! Tunggu!" Kyara mengejar Adya yang terkekeh.

Adya sengaja memperlambat kelajuannya sampai Kyara bisa menyusul. "Mas Adya tega! Ini sudah mau malam!"

"Cerewet." Adya mengetuk dahi Kyara. "Mau naik atau tidak?"

"Mau!" Kyara menghempaskan tubuhnya di jok belakang lalu memeluk Adya saat sepeda melaju cepat.

Adya menatap langit yang menjingga. Bila dipikir-pikir, ini adalah waktu paling lama yang ia habiskan bersama Kyara. Bahu Adya mendadak ringan, seperti semua bebannya menguap ke angkasa.

Ternyata begini rasanya bercanda dengan istri? Menyenangkan sekali.

🍀🍀🍀

Kyara berjalan menuju ruang tengah dengan membawa nampan berisi dua gelas susu. Adya yang duduk di sofa sambil menonton berita di salah satu stasiun televisi mengecilkan volume, diperhatikannya istrinya tersebut yang berjalan dengan pelan sambil menahan ringisan.

"Kenapa jalanmu?" tanya Adya mengambil alih nampan.

Kyara duduk di sebelah Adya dengan bertumpu pada lengan sofa. "Badanku pegal, Mas."

"Itu karena kau tidak pemanasan dulu baru bersepeda." Adya menggeleng. "Bersepeda tergolong olahraga sedang, butuh pemanasan yang baik."

"Memang Mas Adya tidak pegal?" Kyara bersandar di kursi dan mengembuskan napas.

"Tidak." Adya mengangkat bahu. "Aku rutin olahraga."

"Kapan?" Kyara menatap Adya yang menyeruput susunya. "Mas Adya kan sibuk di kantor terus."

"Di dekat lokasi proyek ada lapangan tenis." Adya meneguk lagi, buatan Kyara memang tidak ada yang tidak cocok di lidahnya. "Sore sebelum pulang aku dan Dito sering main di sana."

"Oh, begitu. Mas Adya pasti ditonton banyak orang." Kyara membuang muka.

"Ditonton monyet-monyet, iya. Tempatnya sepi begitu." Adya meletakkan gelasnya lalu bangkit membuka lemari. Tak lama kemudian ia kembali membawa kotak seukuran kardus untuk mengepak barang.

"Berbaringlah dengan tengkurap." Adya menyodorkan bantal kursi. "Pakai ini sebagai penyangga biar tidak sesak."

Kyara belum sepenuhnya mengerti sampai Adya menarik sambungan listrik dan mengubungkannya dengan sebuah alat pijat.

"Mas Adya tidak usah repot-repot."

"Jangan banyak bicara. Gantian nanti kau yang memijatku."

"Pijat pakai alat ini juga?"

"Kira-kira?"

Kyara menggeleng dengan wajah tersipu. Ia lalu berbaring telungkup di sofa.

"Geli, Mas!" Kyara memekik saat pertama kali alat pijat berputar di betisnya. Perlahan, efek relaksasinya mulai terasa.

Adya memperhatikan Kyara yang memperbaiki posisi, mulai kelihatan nyaman. Kaki Kyara yang jenjang dan mulus membuatnya menelan ludah. Alat pijak di tangannya diusahakan tidak berubah posisi ke tempat lain.

"Masih mau lagi?" tanya Adya saat alat pijat yang bekerja otomatis tersebut berhenti. "Kyara? Hei, kau tidur?"

Adya mendengkus dan tersenyum kecil saat mendapati Kyara terpejam dengan napas teratur.

"Katanya mau gantian, malah tidur duluan!" Adya berlutut, mengamai wajah Kyara yang terlihat sangat tenang saat tidur. Diketuknya dahi Kyara dengan lembut. Kebiasaannya akhir-akhir ini ketika sedang gemas.

Adya mendesah pelan. Bila mengingat urusan proyek yang memusingkan, sulit rasanya percaya harinya berakhir damai seperti sekarang.

"Terima kasih," bisik Adya di telinga Kyara. Ia ingin merebahkan kepala di dekat istrinya tersebut, tetapi getar ponsel di atas meja membuatnya menyumpahi siapapun yang menghubunginya di larut malam tersebut.

Adya berdiri lalu membuka pesan yang masuk dengan sedikit kesal. Sebaris kalimat yang tertera membuat matanya membulat tiba-tiba.

From : Irena

Aku akan kembali di Indonesia lusa nanti

TBC
💍💍💍


Chapter 13 bisa dibaca gratis di Karyakarsa dengan voucher IRENA13. Hanya untuk 3 pengguna pertama. Sebelum membaca jangan lupa follow akunku dulu, ya 🙆🏻‍♀️🙆🏻‍♀️🙆🏻‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro