13. Surprise 💍

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

♡Happy-Reading♡

.

.

.

Kepulangan Irena harusnya menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Adya. Irena adalah cinta pertamanya, perempuan yang ia dambakan sejak dulu. Setengah mati Adya berusaha membenarkan itu. Namun, kenyataannya ternyata tidak demikian. Malam tadi sehabis membaca pesan dari Irena, Adya mendapati dirinya termagu seperti orang tengak yang baru tersadar dari mimpi indah setelah tidur  panjang.

Bukan Adya tidak menyadari bagaimana Kyara bisa mengalihkan afeksinya. Ia paham bahwa saat ini hatinya terjerat oleh rasa yang tidak seharusnya. Kyara adalah mimpi indah yang nyata. Wajahnya, senyumannya, bahkan deru napas dan lenguhan kecilnya saat tidur bukan ilusi. Adya hampir tidak mengusai diri saat berbaring di sebelahnya sepanjang malam. Dorongan nafsu dan indikasi hormon yang terus menjadi tiap hari semakin sulit dikendalikan.

Sejujurnya Adya merasa tak sanggup juga. Ia ingin menyentuh Kyara, menelusuri lekuk tubuhnya yang menggoda, mendengar istrinya itu menyerukan namanya saat raga mereka melebur jadi satu.

Ada suatu waktu di mana Adya merasa tidak ingin pelampiasan dalam bentuk apapun lagi. Adya sungguh-sungguh ingin mencurahkan apa yang seharusnya ia curahkan pada Kyara sedari dulu. Menahan hasrat yang menggelora tidak hanya menyiksa batin, melainkan juga mengancam kesehatan fisiknya.

Akan tetapi, ia telah berjanji pada Irena untuk memberikan masa depan dengan menerima bagaimanapun keadaannya, seperti bagaimana perempuan itu bersedia menjadi pendonor untuk menyelamatkan nyawanya di masa lalu. Lagipula ia memang mencintainya. Atau mungkin, harus mencintainya.

"Sudah lama menunggu?"

Sebuah sapaan membuat Adya memutar kepala. Alisnya tertekuk melihat pria jangkung dengan dagu terangkat berjalan ke arahnya. Rendra, nama pria itu. Pemimpin perusahaan sekutu dalam kerjasama joint venture proyek mereka.

"Lewat satu jam lima belas menit." Adya meregangkan otot lehernya. "Bukan. Lewat dua hari tepatnya."

Rendra menyerengeh tipis. "Kau ingin menyalahkan cuaca? Penerbanganku ditunda karena badai. Aku bisa apa?"

Adya mendengkus. Rendra jelas hanya mencari-cari alibi. Bukan hanya sekali ini ia mengelak dari kerjaannya. Absensinya untuk kunjungan wajib dua kali dalam seminggu saja banyak yang tidak terisi.

"Mari bicara di dalam." Adya membuka pintu ruang kerjanya begitu memperhatikan koridor yang mulai ramai.

"Workaholic." Rendra berujar setengah mengejek saat duduk di sofa dan memperhatikan tumpukan buku di meja kerja Adya. "Kau terlalu serius, Adya. Kau  memilih bekerja di tempat terpencil begini setiap hari, sementara menara Antariksha Grup adalah milikmu."

"Sepertinya kau lupa tipe kerja sama yang kita jalani. Privasi perusahaanku bukan urusanmu." Adya memasang sikap defensif dengan menyilangkan tangan di depan dada. "Sekarang jelaskan mengapa kau meloloskan laporan observasi tim analisis yang memanipulasi hasil pengukuran."

"Memanipulasi data?" Rendra menaikkan sebelah alisnya.

"Tidak usah berlagak tidak tahu." Adya mengubah penekanan suaranya. "Di antara kurang jeli atau manipulator, yang mana dirimu?"

Rendra melipat bibirnya membentuk seringai tipis. "Menurutmu?"

"Dua-duanya."

"Mencegangkan."

Tidak peduli dengan reaksi Rendra, Adya kembali mengintimidasi. "Kau cukup picik memalsukan data, tapi tidak cukup pintar membaca situasi."

"Tidak ada yang memalsukan data, Adya. Itu namanya prediksi." Rendra merentangkan tangan dengan pongah. "Kau tidak akan mengatakan prakiraan cuaca itu sekedar manipulasi, bukan?"

Adya menahan geram. Dalam hati ia mengakui kemampuan Rendra memainkan keadaan dengan tetap bersikap santai.

"Prediksi lahir dari hasil perhitungan dengan premis dan indikator yang jelas." Adya tersenyum singkat sebelum melanjutkan. "Kau bisa mengarang data yang masuk akal. Presisimu tepat, tapi tidak akurat sama sekali."

"Jangan naif, Adya. Kau ingin apa? Merevisi rancangan terus menerus untuk menyesuaikan dengan keadaalan lingkungan?" Rendra terbahak, membuat Adya ingin mendaratkan satu pukulan di wajahnya. "Yang kulakukan hanyalah mempersingkat waktu dan menekan anggaran."

"Kau yang jangan tamak!" Suara Adya meninggi. "Aku sudah mengkaji laporan logistik. Waktu pengerjaan kita berjalan lebih cepat dari yang semestinya. Kau bilang untuk menekan anggaran? Jawab aku, untuk siapa anggaran itu kau irit sedemikian rupa!"

Rendra mulai terserang panik, tetapi dengan segera ia membuka topik pembicaraan yang baru. "Adya, aku paham kau seorang visioner. Tapi pandanganmu terlalu jauh. Soal retakan itu, siapa yang peduli? Proses alam memakan waktu bertahun-tahun. Pola lingkungan bisa berubah kapan saja. Tidak akan ada yang bisa menuntut kita."

"Geolog lokal jelas tahu itu! Ini rumah mereka!" Adya tahu Rendra berniat menghindari pertanyaannya, tetapi emosinya terlanjur terpancing.

"Ah, para cecunguk itu lagi!" Rendra mendesis. "Kau takut pada gertakan mereka? Ayolah, Adya. Mereka bahkan tidak memiliki wajah yang bisa dimuat media. Kita bisa mendatangkan profesor dari luar negeri. Wartawan jelas lebih menyorot mereka!"

"Jaga bicaramu!" Adya menggebrak meja dan bangkit. Sekali ini ia tidak bisa mengontrol emosinya lagi. "Kalau kau berniat berbuat kecurangan dengan bekerja sama denganku, tinggalkan rencanamu atau kita berurusan di depan hakim!"

Rendra mengumpat rendah. Ia mulai kehabisan akal. Adya terlalu berprinsip untuk digoyahkan, sekalipun Rendra tahu posisinya sekarang sedang terhimpit. Kalau sudah seperti ini, tidak ada jalan lain selain menyisipkan perkara harkat dan martabat keluarga.

"Aku kagum dengan kegigihanmu." Rendra ikut bangkit. "Tapi bukankah membuat perkara menjelang pemilihan umum sama kurang pertimbangannya dengan memalsukan data pengukuran?"

Senyum yang terukir di wajah Rendra membuat rahang Adya mengeras. Sialnya, apa yang dikatakan olehnya benar. Musim pemilihan umum sebentar lagi. Sedikit pergerakan saja bisa mencoreng nama ayahnya. Bahkan Ezra sekalipun diminta menjaga reputasinya di kampus.

"Pikirkan tindakanmu, Adya. Walau orang tua kita berbeda koalisi, aku hanya ingin mengingatkan." Rendra berbalik, sekilas pandangannya di arahkan pada monitor komputer Adya. "Kau tidak bisa terus memiliki segalanya," katanya lalu mengulas senyum palsu dan melangkah pergi.

"Ah, sial!" Adya mendudukkan dirinya dengan gusar, nyeri di punggungnya akibat terhentak keras tidak ia acuhkan lagi. Tangannya meraih ponsel, berniat menghubungi seseorang. Suasana hatinya mungkin bisa sedikit membaik dengan obrolan kecil. Di pikiran Adya nama Irena terlintas. Namun entah bagaimana, panggilannya berakhir pada nomor Kyara.

Saat suara istrinya yang lembut dan ceria menyapa dari seberang, Adya menepis bayangan Rendra di benaknya. Adya bersumpah tidak akan menyerah. Bukan berarti karena Rendra adalah anak dari seorang mentri negara, pembual ulung itu bisa berbuat seenak jidat dalam pembangunan proyeknya.

🍀🍀🍀

Seulas senyum terbit di wajah Kyara begitu menerima terusan surel yang menghubungkannya dengan seorang pakar geologi teman lama ayahnya sewaktu kuliah di Amerika. Profesor ternama tersebut adalah salah-satu penulis buku yang digunakan Adya sebagai referensi. 

Kyara sudah merencanakan hal tersebut sejak mengetahui masalah tiang pancang tempo hari, tetapi ia menunggu dan mengamati sikap suaminya tersebut terlebih dahulu. Kyara tidak ingin langsung mencampuri urusan Adya. Ia tahu sifat Adya yang selalu ingin mendominasi. Langsung menawarkan bantuan akan terkesan menyepelakan kemampuannya.

Baru setelah melihat keadaan Adya semakin kacau makin kacau dan Adya mulai kehabisan tenaga, Kyara memantapkan keputusannya untuk menghubungi papa. Sehabis menyiapkan camilan sore tadi, Kyara mendapati Adya yang baru kembali dari kantor tergeletak di sofa. Kemejanya tertarik sana-sini. Kaos kaki bahkan sepatu pun belum dilepas.

Kyara tahu Adya pasti kelelahan dengan semua masalah yang terjadi. Meski  proyek sejauh ini masih stabil dan tim keuangan telah memetakan kondisi geografis dalam manajemen risiko, pihak vendor kemungkinan besar akan berubah pikiran bila mengetahui perkara tiang pancang tersebut.

Kyara bangkit dan meregangkan badan. Ketika berniat merapikan buku di lemari, sekilas ia menangkap sosok Adya di ambang pintu. Kontan Kyara terkesiap, sebab sampai sekarang Adya tidak mengetahui isi ruang pribadinya.

"Mas Adya?" Kyara menghampir Adya dan menutup pelan pintu ruangannya. Diperhatikannya Adya yang menguap kecil. Wajah suaminya itu masih mengantuk. Rambutnya mencuat kesana-kemari. Kemeja yang tadi kusut sudah ditanggalkan, hanya tersisa kaos putih yang melekat pas di tubuhnya.

Adya tidak menjawab panggilan Kyara. Matanya mengerjap berulang kali, seperti belum sepenuhnya sadar.

"Mas Adya sedang apa di sini? Kyara mengerling pada kaos Adya yang basah keringat di bagian leher. "Mas Adya tidak ingin mandi dulu? Aku sudah siapkan camilan."

"Tersesat."

"Hah?"

Adya yang mulai menguasai diri berdecak. "Aku mengantuk dan tersesat sampai ke sini!" jawabnya cepat lalu menuruni tangga.

Kyara mengerutkan bibir. Adya jelas berbohong dan ia berniat menggodanya.

"Masa?"

Di pertengahan tangga, Adya memutar kepala menghadap Kyara.

"Apanya?"

"Mas Adya bukannnya sedang memperhatikanku?" Kyara menggulirkan bola matanya untuk menghindari tatapan Adya.

Adya mendengkus, berusaha tidak tertawa. "Baiklah. Kalau menurutmu begitu, maka seperti itulah."

Kyara melirik Adya yang masih mengunci tatapannya dengannya.

"Be-berarti tebakanku benar!" Kyara terbata lalu memalingkah wajahnya yang memerah. Secepat kilat ia bergegas masuk kembali ke ruangan. Misinya untuk menjahili Adya gagal total.

🍀🍀🍀

Jika di hari-hari sebelumnya selepas makan malam Adya akan menghabiskan waktu di kamar kerjanya hingga larut, maka malam ini ia hanya sekadar merapikan dokumen. Adya merasa luar biasa lelah. Beban pikirannya menumpuk satu per satu. Mulai dari kepulangan Irena, masalah di proyek, si brengsek Rendra, sampai urusan pemilihan umum.

Adya merebahkan dirinya di ranjang lalu membalikkan badan menghadap sisi tempat tidur Kyara yang masih rapi. Ini memang baru pukul sembilan lewat. Meski tampak tidak peduli, Adya tahu jelas runititas Kyara. Istrinya itu akan kembali dari ruang pribadinya di loteng menjelang pukul sepuluh dan sudah terlelap saat ia selesai dengan pekerjaannya.

Diam-diam Adya penasaran juga apa yang dilakukan Kyara di kamar kecil tersebut. Sore tadi ketika terbangun dan tidak mendapati Kyara di sekitarnya, Adya dilanda panik. Ia bergegas mencari Kyara di lantai tiga dan mendengar istrinya tersebut berbincang dengan seseorang. Adya tidak melihat lebih jauh ke dalam sebab pintunya yang hampir tertutup hanya menyisakan celah, tetapi selayang pandang ia melihat layar laptop yang menyala, juga tumpukan buku.

Apa Kyara berkirim pesan dengan seseorang? Atau mungkin menelepon sembunyi-sembunyi? Adya menepuk jidat. Ia melantur.

Dengan resah Adya mengubah posisinya menjadi telentang kembali. Di waktu-waktu seperti ini, terkadang ia merasa Kyara sengaja menghindarinya dengan tidur lebih dulu. Adya tidak tahu seperti apa reaksi Kyara bila mendapatinya di kamar saat ini.

Pintu yang terbuka kemudian membuat Adya mengambil posisi duduk. Kyara muncul dari balik pintu dengan ekspresi tak kalah terkejut.

"Oh, Mas Adya!" Kyara berseru antara kaget dan gugup. "Mas Adya kerjaannya sudah selesai?"

"Ya." Adya membalas singkat dan mengalihkan pandangannya dari Kyara yang tengah mengikat rambutnya ke atas hingga leher jenjangnya tampak jelas. Adya meneguk ludah, beruntung Kyara segera masuk ke kamar mandi hingga pikirannya tidak mengembara ke mana-mana.

Beberapa menit kemudian saat pintu kamar mandi terbuka, Adya pura-pura menyibukkan diri dengan ponselnya. Wangi bunga yang merebak saat Kyara mengambil tempat di sisinya membuat Adya mempertanyakan ke mana rasa lelah yang tadi membuatnya ingin cepat-cepat merebahkan diri.

Kyara sendiri diliputi kecanggungan yang luar biasa. Ia membalikkan badan dan berusaha memejamkan mata, tetapi perasaannya terus terusik. Perlahan, ia menghadap kembali pada Adya.

Dengan bertumpu pada siku, Kyara bangkit. Perlahan tangannya terulur. Ujung jarinya digunakan untuk mencuil lengan Adya dengan sangat pelan. "Mas Adya ...." panggilnya takut-takut.

Adya lantas menoleh. Tawanya hampir pecah melihat Kyara menyembunyikan tangan di balik punggung dengan ekspresi kecut. Ia meraih tangan yang mencolek lengannya itu dan meremasnya sedikit kuat sampai Kyara mengaduh.

"Sakit?" Adya mengurangi tekanannya.

Kyara menggeleng. "Tidak, Mas. Aku suka tanganku diremas seperti ini. Apalagi kalau sedang takut."

"Memang sekarang kau sedang takut?"

"Se-sedikit."

Adya mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Sebuah ide jahil terlintas di kepalanya. Hitung-hitung untuk membalas Kyara tadi sore. "Suka ya, diremas seperti ini?"

Kyara melenggut satu kali.

"Kalau bagian yang lain, suka juga?"

"Eh-ah, itu ...." Kyara mendadak salah tingkah. Pipinya yang semerah buah delima digembungkan. "Mas Adya ini bicara apa!"

"Memang apa yang kau pikirkan?" Adya tersenyum samar lalu mengetuk dahi Kyara yang bersandar pada penyangga tempat tidur.

"Katakan saja apa yang ingin kau tanyakan." Adya melirik Kyara. "Kau ingin menanyakan sesuatu, bukan?"

Kyara mendongak, menatap Adya yang ikut bersandar di sebelahnya. Setelah berpikir sebentar, ia lalu bergumam pelan. "Soal retakan yang kemarin itu bagaimana, Mas?"

Adya tergemap sebelum senyum tulus menghiasi wajahnya. Reaksi tersebut membuat Kyara bernapas lega.

"Masih dirundingkan. Belum ada titik temu." Adya menghela napas. Baru sebaris kalimat, tetapi keresahaannya sudah mulai menyurut. Kyara tahu benar apa yang ia butuhkan. Teman cerita.

"Yang jadi masalah, pengecoran harus segera dirampungkan." Adya kembali melanjutkan sambil menyugar rambutnya. "Bila tidak, anggaran akan membengkak."

Kyara merengut prihatin. "Apa dampak retakan itu cukup serius?"

"Untuk sekarang memang tidak. Namun, itu akan berpengaruh besar pada ekosistem karst ke depan."

Melihat raut wajah kebingungan yang ditunjukkan Kyara, Adya beringsut turun dari tempat tidur dan mengambil sebuah tablet pc dari laci meja.

"Akan kutunjukkan peta kontur wilayahnya." Adya menyalakan tabletnya kemudian menurunkan intensitas cahaya saat melihat Kyara refleks menyipitkan mata karena silau. "Geser ke sini sedikit."

Kyara menurut, menggeser posisinya lebih dekat dengan Adya. Jantungnya kembali berdetak tak normal saat Adya merengkuh pundaknya.

"Ini adalah peta wilayah karst sebelum pembangunan." Adya meminimalis tampilan. "Coba tebak di mana lokasi proyek sekarang."

Kyara mengerutkan dahi sambil memindai tiap gambar pada layar. Matanya seketika membelalak. "Di sini, Mas?"

Anggukan dari Adya membuat Kyara menepuk paha suaminya itu dengan gemas. Kyara tahu proyek Adya memangkas tebing, tetapi ia tidak menyangka bagian yang diratakan tersebut hampir setengah bagian gunung. "Mas Adya tidak bilang memangkas wilayah karst sebesar ini!"

Adya meringis pelan kemudian terkekeh saat Kyara buru-buru minta maaf dan mengusap bagian yang habis dipukulinya.

"Sudah kubilang, proyek ini mendapat izin resmi." Adya menunjuk satu titik dari peta kontur tersebut. "Daerah karst memiliki banyak gua di bawah tanah yang menyimpan air, bebatuan penyusunnya tidak masif. Karena itu bila retakan terus menjalar, dinding goa akan ambuk. Pada akhirnya, tiang panjang bisa jatuh dan jembatan akan runtuh."

"Aku paham, Mas." Kyara mengelus bahu Adya. "Aku punya kontak seorang ahli geologi kenalan papa. Profesor yang pernah bekerja di Walsh Group. Setelah pensiun, beliau menjadi guru besar dan menjadi penulis dari banyak buku ilmiah, salah-satunya yang Mas Adya jadikan referensi."

Adya membeku seketika. Hatinya mencelus saat Kyara mengambil ponselnya di nakas dan mengirimkan padanya kontak seorang profesor dari universitas ternama dunia.

"Mas Adya bisa menghubunginya untuk mengatur jadwal online meeting." Kyara tersenyum. Ia menguap kemudian kembali mengutak-atik tablet milik Adya.

"Kyara ...." Adya berdeham beberapa kali meski tenggorokannya tidak gatal. "Terima kasih."

Tidak ada jawaban.

"Kyara? Hei, kau ketiduran lagi?" Adya menunduk, menengok wajah Kyara yang sudah terpejam sempurna, padahal tangannya masih berada di layar tablet.

Senyum Adya terkembang penuh. Ia merapikan rambut di wajah Kyara lalu mematikan tablet dan menyimpannya kembali ke dalam laci. Saat Kyara mulai pulas, Adya mematikan lampu kamar hingga hanya cahaya remang dari bed lamp di nakas yang tersisa.

Adya berusaha untuk menjauhkan diri setelah itu. Namun, wajah Kyara  membuatnya enggan berpaling. Tangan Adya mulai bergerak otonom tanpa bisa dicegah. Jemarinya menelusuri wajah Kyara. Membelai pelan kelopak mata, pangkal hidung, lalu turun ke bibirnya yang ranum merekah.

Gelanyar yang menggelitik di perut Adya merambat cepat hingga satu badannya terasa kaku. Perlahan ia menunduk, mencium dahi Kyara yang selama ini hanya bisa diketuknya dengan gemas. Adya menahan kecupannya lebih lama, sampai lenguhan Kyara membuat tersadar.

Adya menarik diri. Sungguh, ia menginginkan lebih dari ini. Adya ingin sekali merasakan manisnya bibir indah Kyara, tetapi ia tidak ingin menjadi pengecut dengan merasakan nikmat tersebut seorang diri.

Sekoyong-koyong bayangan Irena pun terlintas di benak Adya. Sebelum pulang dari kantor tadi, Irena meneleponnya. Seperti biasa, perempuan itu memaklumi urusan kantornya dan tidak meminta untuk dijemput. Namun, ia ingin bertemu di akhir pekan dan Adya dengan berat hati mengaku merasa kesulitan dengan itu.

Adya berusaha membenarkan pertemuannya dengan Irena. Barangkali dengan melihat Irena, hatinya akan kembali teguh. Mudah saja beralasan pada Kyara ada rapat manajerial di kantor pusat. Namun entah mengapa, Adya merasa tidak benar. Ia memang memiliki niat untuk berpisah dengan Kyara. Niat itu pula yang membuatnya harus menyiksa diri dan menahan nafsunya seperti sekarang, tetapi Adya tidak bisa membiarkan Kyara terluka tanpa melukai dirinya sendiri.

Setengah mengerang, Adya bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk menuntaskan hasratnya yang tak sampai. Membayangkan dirinya memeluk Kyara hingga ia sampai pada puncaknya.

Ketika keluar kamar, Adya mendapati Kyara mengubah haluan menghadap jendela. Ada perasaan kecewa di hatinya karena tidak mampu melihat wajah istrinya itu sampai menutup mata. Adya sempat melirik ponselnya yang bergetar, tetapi ia memilih mencari pakaian di lemari. 

Baru setelah siap dengan kemeja tidur, Adya meraih ponselnya dan menghempaskan tubuhnya di kasur. Keningnya berkerut saat membaca pesan dari Irena. Satu pesan sebelumnya telah dihapus.

From : Irena
Pesan ini telah dihapus
Aku punya kejutan besar 😊

"Kejutan apa?" Adya bergumam pelan, bersamaan dengan Kyara yang mengingau dalam tidurnya.

"Kyara ...," panggil Adya pelan. Ia meletakkan ponselnya lalu beringsut mendekati Kyara dan menepuk-nepuk lengannya sampai istrinya itu tenang kembali.

Dalam hati Adya meratapi diri.

Sebenarnya, ia sedang mengkhianati siapa?

TBC
💍💍💍

Part selanjutnya bakal lebih seru. Yang mau baca lebih cepat boleh follow akun Karyakarsa Kireiskye dengan judul cerita yang sama. Masukkan kode voucher KAISAR14 untuk baca gratis chapter 14. Jangan lupa tap love dan komen, ya ....
😉😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro