39. Golden Spoon 💍

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💕Happy-Reading💕

.

.

.

Porsche milik Kyara berhenti di halaman parkir apartemen Irena. Kyara mengetahui alamat tersebut dari linimasa perjalanan yang ditunjukkan Adya sebagai bukti bila kepergiannya malam itu tidak lebih karena didesak keadaan. Menenteng Lindy Bag, Kyara lalu keluar dengan anggun. Seperti tujuan Irena datang ke Mallawa, Kyara ingin berbicara langsung dengan perempuan itu.

Kyara telah mempertimbangkan hal tersebut berulang kali. Bila Adya tahu, suaminya tersebut pasti tidak mengizinkan. Akan tetapi,Kyara tidak bisa menerima begitu saja perbuatan Irena pada Winter. Bila Irena sedemikian membencinya, perempuan itu seharusnya berani menghadapinya, bukan melampiaskan emosi pada Winter yang tidak tahu apa-apa.

Sembari menarik napas dalam-dalam, Kyara berusaha mendinginkan kepala. Namun, baru beberapa saat ia mendudukkan diri di sofa ruang tunggu, Irena tahu-tahu keluar dari elevator dan berjalan ke lobi. Tatapan Kyara dan Irena bersirobok selama beberapa saat. Di ruang tunggu yang lengang tersebut hanya ada mereka berdua, tetapi hawa ruangan mendadak terasa pengap.

Irena menatap Kyara berkedip, menyorotinya penampilannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kau ...."

Kyara mengembangkan senyum dan berdiri menghadap Irena. "Selamat sore."

Irena mendengkus dengan sebelah sudut bibir tertarik. "Apa yang kau lakukan di sini?" desisnya.

"Bertemu denganmu." Kyara mengubah sorot matanya. "Bukankah itu tujuanmu datang ke rumahku tempo hari?"

Mata Irena membola. "Datang ke rumahmu, hah?"

Kyara melipat bibir melihat Irena berlagak tidak tahu. Namun, ia tidak ingin berlama-lama meladeni sandiwaranya. "Kenapa hanya sampai di depan pagar? Kau terlalu sungkan? Atau tidak berani?"

Umpan Kyara berhasil. Irena yang semula berniat mengelak kini terpancing.

"Tidak berani katamu?" Irena menggertakkan rahang, tidak terima disebut sungkan. Bila bukan karena pengawal-pengawal keluarga Antariksha, ia tidak akan segan menghampiri Kyara saat itu. "Kau terlalu percaya diri!"

"Lalu kenapa kau tidak mengetuk pintu dan masuk sebagai tamu yang santun?" Mengabaikan kata-kata Irena, Kyara berjalan mendekat. "Kenapa kau menyakiti Winter yang tidak mengerti apa-apa? Kau sebut itu berani? Atau memang sampai di situ saja nyalimu?"

Irena membisu. Kyara benar-benar memantik emosinya. Perempuan tersebut berlagak seperti di atas angin setelah merebut semua harapannya.

"Ah, kucing kecil yang merengek-rengek itu?" Irena terkekeh. "Jadi kau menuntutku untuk binatang liar yang tidak berharga? Sebagai putri kesayangan keluarga Jayachandra yang katanya dermawan, kau sangat-sangat perhitungan rupanya."

"Winter sangat berharga bagiku dan kau tidak berhak menyakitinya." Kyara menahan gejolak dalam dirinya mendengar provokasi Irena, tetapi sindiran perempuan tersebut masih terlalu dangkal untuk membuatnya meledak. "Kau membaca artikel tentangku? Terima kasih telah repot-repot menelusuri berita dua tahun yang lalu itu. Aku bahkan hampir lupa."

"Apa katamu?" Irena tertawa sarkastik.  "Ternyata kau tidak sebaik yang orang-orang katakan, Kyara!"

Kyara menatap lurus, menulikan telinganya untuk suara Irena yang berdegung menyakitkan telinga. "Setidaknya tidak seburuk pemikiranmu."

"Begitukah?" Tawa Irena memudar, berganti menjadi air muka tak suka. Kyara masih bisa bersikap tenang saat dadanya mulai membara. "Apa kau merasa menang sekarang? Kau merasa puas setelah merebut Adya dariku? Asal kau tahu saja, Kyara. Aku yang pertama kali mendapatkan hati Adya. Dia mencintaiku!"

Bibir Kyara bergetar menahan amarah, terlebih saat Irena menyodorkan ponsel yang berisi pesan percakapannya dengan Adya di masa lalu. Jadi, inilah tujuan Irena jauh-jauh datang ke Mallawa. Perempuan itu ingin menggoyahkan hatinya. Namun, demi rumah tangganya yang mulai pulih, Kyara tidak ingin memupuk keraguan lagi. Ia hanya menatap sekilas antarmuka tersebut lalu menggenggam tangan Irena dan menurunkannya.

"Aku lebih tahu dari yang kau tahu, Irena." Kyara menjaga suaranya agar tetap stabil. "Aku tidak perlu tahu masa lalu kalian. Kenapa kau terus-menerus mengungkit itu? Apa sekarang kau tidak punya kepercayaan diri?"

Irena terperangah. Wajahnya merah padam mendapati Kyara tidak terpengaruh, bahkan berbalik menyerangnya.

"Kau keterlaluan! Kau kaya-raya, kau punya segalanya, apa kau harus mengambil Adya? Dasar perempuan serakah!" Kemurkaan Irena meluap. "Kau hanya beruntung karena lahir di keluarga yang besar!"

"Ya, itu aku. Kyara Putri Rembulan, putri Keluarga Jayachandra. Keluarga kami besar, semua orang juga tahu. Lalu di mana letak masalahmu?" Kyara menyela dan mempersingkat jarak. Irena mulai bermain korban dan itu membuatnya muak. "Kalau kau begitu tahu tentang keluargaku, seharusnya kau tahu apa yang diperjuangkan keluargaku sedari dulu. Semua tidak seindah rasa dengkimu. Beruntung itu suatu keahlian, bukan hal yang bisa kau peroleh sejak lahir."

"Kau ...." Irena menggigit bibir, matanya memanas. "Kau menghancurkan mimpiku!"

"Dan kau merusak kenyataanku." Kyara memiringkan kepala. Ia belum selesai menjawab pertanyaan Irena. "Asal kau tahu, Irena. Bagiku, mas Adya lebih berarti dari segala hal yang kumiliki. Cukup dirinya saja, bukan karena apa yang dia miliki."

"Jangan sok suci!" Irena mendorong pundak Kyara. "Aku lebih mencintai Adya dibanding dirimu! Kau hanya perempuan kemarin sore!"

"Ya. Kau mungkin lebih mencintai mas Adya dibanding diriku. Karena jika itu aku," Kyara menggeleng prihatin, "aku tidak pernah mengizinkan mas Adya menikah dengan perempuan lain hanya untuk memenangkan hati orang tuanya."

Terpojok oleh kata-katanya sendiri, Irena membungkam. Wajahnya merah padam lantaran merasa kesal bercampur malu. Tidak punya kata-kata untuk membalas, ia melayangkan tangannya pada Kyara. Namun, telapak tangannya justru disambut dengan genggaman erat.

"Adya menikahimu karena aku yang memberinya saran untuk menuruti orang tuanya," desis Irena geram.

"Terima kasih untuk saranmu." Kyara tersenyum tipis. "Bunda sekarang jauh lebih sehat. Niatmu tersampaikan dengan baik."

Irena menjatuhkan tangan ke samping badan saat Kyara melepas genggamannya. Ia tidak ingin kalah, tidak boleh kalah. Irena kembali mengepalkan tangan, saat Kyara membalik badan, sudut matanya menangkap vas bunga di atas meja. Irena tidak memikirkan apa pun lagi selain meluapkan amarahnya.

"Kyara! Awas!"

Kyara memutar badan mendengar seruan seseorang yang menampakkan diri dari ruang tunggu sebelah.

"Kaisar?" Keterkejutan Kyara berganti menjadi perasaan mawas begitu mendapati pot kaca melayang ke arahnya. Kilatan cahaya membuat Kyara menutup mata, sebisa mungkin ia menghindar dengan menjatuhkan badan ke depan. Namun, tubuhnya tertahan oleh sebuah lengan yang melingkar.

Detik berikutnya Kyara merasakan tubuhnya berputar dan lansekap lobi hotel berganti menjadi sebuah dada bidang berbalut kemeja yang baru disiapkannya pagi tadi. Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi vas yang menubruk dinding dan jatuh berserakan di lantai.

"Adya?"

Mewakili Kyara dan Irena yang sama-sama tercengang, Kaisar bersuara. Ia berada di sana sebelum Kyara dan Irena mulai berdebat. Di perjalanan pulang dari percetakan, Kaisar berniat mengikuti Rendra dari depan perumahannya. Namun, laki-laki yang kali ini didampingi anak buahnya itu ternyata bertemu Kyara di sebuah klinik hewan. Dari sana, Kaisar membuntuti Kyara yang menuju apartemen Irena. Kaisar telah menghubungi Adya sebelum Kyara tiba di apartemen tersebut.

"Kau tidak apa-apa?" Adya memeriksa keadaan Kyara terlebih dahulu baru beralih pada Irena yang berdiri terpaku. "Apa ini? Kau menyerang istriku!" tekannya dengan nada tak suka.

"Apa maksudmu, Adya?" Mata Irena menyalang. "Justru dia yang mendatangiku!"

"Dia berbohong." Kaisar ikut kesal dengan Irena yang masih bisa membela diri. "Kyara tidak pernah menyerangnya."

"Diam! Jangan ikut campur! Kau tidak punya hak untuk bicara!" gertak Irena pada Kaisar. "Apa kalian berdua bekerja sama? Dasar penguntit!"

"Jaga kata-katamu, Irena!"

Irena mendesah frustrasi. "Kyara duluan yang merundungku hanya karena kucing kecilnya!"

"Kucing kecil?" Mata Adya memicing. Semalaman ia memikirkan kata-kata Kaisar dan memang menaruh rasa curiga pada Irena. "Jadi ternyata benar kau yang melukai Winter!"

Tidak mendapat reaksi yang diinginkan membuat Irena menghentakkan kakinya dengan gusar. "Winter lagi! Winter lagi! Mengapa kalian terlalu melebih-lebihkan!"

"Kau yang berlebihan! Kau melakukan ini untuk apa? Mengancamku? Menakuti Kyara? Itu sia-sia!" Adya naik pitam, tetapi Kyara menautkan jemari mencegah suaminya bertindak gegabah.

"Dia sengaja memancing emosi, Mas." Kyara berbisik pelan. "Jangan menuruti keinginannya."

Adya menghela napas, menelan sumpah serapahnya untuk Irena dengan susah payah. Kyara benar, Irena pandai sekali memutarbalikkan keadaan. Maka, Adya akan langsung memberikan pukulan telak.

"Aku sudah mengatakan ini berulang kali padamu, dan sekarang akan kukatakan di depan istriku sendiri." Mata Adya memandang nanar. "Kita tidak punya urusan apapun lagi, Irena. Jalani hidup yang kau pilih dan berhenti mengusik rumah tangga kami!"

Kaisar menelan ludah melihat Adya menunjuk Irena dengan gusar. Meski pikirannya masih bekerja ekstra untuk menyatukan semua informasi yang ada, baru sekali ini Kaisar melihat Adya benar-benar marah pada Irena. Jauh dalam hatinya Kaisar merasa puas sekaligus lega.

"Mari pulang, Kyara." Adya merangkul Kyara. Sekarang sudah jam pulang kerja dan ia tidak ingin membuat kekacauan di sana. Sebelum berbalik, Adya menoleh pada Kaisar. "Terima kasih sudah memberi kabar."

Kaisar mengelus tengkuk dan berjalan menghampiri. "Maaf karena tidak percaya pada kata-katamu kemarin."

"Bukan masalah." Adya menepuk bahu Kaisar, sebelah tangannya menyapu kepala Kyara. "Maaf, aku harus pulang sekarang."

Kaisar mengiyakan saja. Ia tahu Adya dan Kyara butuh ruang privasi untuk membahas masalah tersebut. "Biar aku yang mengurus ini."

Tanpa menatap ke belakang lagi, Adya menggiring Kyara keluar. Irena masih ingin menahan, tetapi Kaisar mencegat.

"Apa kau senang membuat keributan?" Kaisar mencekal Irena yang langsung meronta.

"Ini bukan urusanmu!" pekik Irena. "Sekarang kau puas bergabung dengan teman-temanmu yang kaya dan sombong itu? Kalian senang tertawa di belakangku?"

"Tertawa di belakangmu?" Kaisar menyugar rambut. Lama-lama Irena bisa membuatnya frustrasi juga. "Tidak ada yang pernah membicarakanmu, Irena. Untuk apa? Merusak suasana saja!"

Kaisar menatap sekelilingnya yang kacau. Saat seorang petugas keamaan terburu menghampiri mereka dan mempertanyakan kekacauan yang terjadi di sana, dengan enteng ia tertawa kecil, memandang Irena dengan seringai halus dan alis terangkat sebelah.

"Maaf, Pak. Tadi ada anak autis yang tantrum dan melempar vas."

🍀🍀🍀

Ruangan yang pengap membuat tiap tarikan napas Rendra terasa menyesakkan. Meski pandangannya menyapu bidak catur, pikirannya tidak di sana. Baru saja ia mendapat tawaran kerja sama dari seorang politikus untuk pendanaan kampanye dengan imbalan monopoli tender.

Rendra bergelung dengan dirinya sendiri. Menguasai seluruh proyek pembangunan di provinsi tentu membawa keuntungan besar bagi keluarganya. Jauh daripada itu, ia tidak perlu lagi bergantung pada perusahaan Adya. Mereka bebas mengatur anggaran untuk mengembalikan modal yang diberikan untuk kampanye.

Pria di hadapan Rendra menarik tepi bibir ketika permainan catur mereka selesai. Imbang. Rendra menang di babak pertama, tetapi fokusnya mulai pecah ketika babak baru dimulai. Sang pria berdeham sambil terus menilik perubahan air muka Rendra yang mulai tertarik dengan tawarannya.

"Tidak perlu buru-buru memberi jawaban."

Rendra yang masih terhenyak segera menegakkan duduk ketika pria itu menawarkan teh. Aroma melati dari cangkir keramik mahal yang baru disuguhkan peramu saji membuat keningnya bertaut. Dalam hati Rendra terbesit setitik keraguan. Bisa saja ada racun mematikan yang ikut dituang di sana. Namun, senyum sang pria membuatnya menepis segala prasangka.

"Kami menunggu kabar baik dari perusahaanmu," ujar sang ketua partai saat mengantar Rendra ke ambang pintu.

"Ya, tentu." Rendra menyambut uluran tangan sang politikus dengan senyum mengembang penuh. Pria tersebut mengusung partai besar dengan peluang terpilih yang tinggi. Ia tidak punya alasan apa pun untuk menolak.

Anak buah Rendra yang menunggu di depan pintu tergopoh menghampiri. Di ujung lorong saat Rendra berjalan keluar, seorang pelayan yang membawa nampan berpapasan dan menubruknya dengan tidak sengaja.

Rendra benci dengan pesuruh yang tidak becus, tetapi ia tidak ingin menyulut keributan di sana. Ia lekas memutar haluan menuju toilet untuk membersihkan sepercik noda bekas minuman yang tumpah di kemejanya.

"Bagaimana dengan anak yang satu itu? Dia juga tahu rahasia partai. Kerja sama rahasia ini akan merugikan perusahaan lain, termasuk perusahaannya. Dia bisa buka suara."

Suara orang berbisik dari celah pintu di ruang tempat pertemuannya tadi membuat Rendra menahan langkah.

"Jangan khawatir. Untuk sekarang jaga keadaan tetap kondusif. Setelah perjanjian dengan perusahaan Dwiangga selesai, segera lakukan eksekusi.

"Eksekusi?"

Rendra bergumam dengan dahi berkerut. Ia meneruskan langkah sebelum ketahuan sedang menguping. Mendadak rasa khawatir tidak beralasan merasuki nuraninya.

"Siapa yang akan mereka jadikan target untuk dieksekusi?"

💍💍💍
TBC

Konflik semakin seru dan semakin mendekati part paling menyesakkan. Silakan overthinking dari sekarang
🤧🤧🤧💔💔💔

Beberapa part terakhir kemungkinan tidak tayang di Wattpad. Di KK juga akan segera dibuat eksklusif per paket. Kepada silent readers yang malas meninggalkan jejak, nikmati cerita ini selagi masih bisa dibaca :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro