Heart Rhythm #1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di rumah sakit, Diana sedang memeriksa persediaan obat di lemari obat ruang tindakan. Hal yang biasa dia lakukan setiap pagi, sebelum tindakan dimulai. Memeriksa sisa obat setelah terpakai sehari kemarin, lalu mengisi ulang hingga jumlahnya sesuai dengan stok tetap dalam lemari per hari.

Diana membungkuk, mencatat dan menghitung obat di laci paling bawah. Setelah selesai, ia berdiri dan menutup laci dalam lemari obat dengan ragu dan perlahan. Tiba-tiba saja Diana merasa tidak enak, merinding. Diana memberanikan diri melihat sekitarnya tapi masih sepi, tidak ada siapa-siapa, bahkan petugas kebersihan atau OB  pun belum ada. Petugas lainnya baru akan datang pukul sepuluh nanti, dan ini masih pukul delapan pagi,  masih dua jam lagi.

Diana menggeleng dan menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. Dia menutup kedua pintu lemari, menguncinya dengan segera dan berbalik.

“Whoa!!!” Diana terperanjat, nyaris melompat dari tempatnya. Bahkan ia menjatuhkan buku dan pulpennya karena terkejut. “Se-sejak kapan Dokter di sini?”

Dokter Kahfi diam sejenak tanpa ekspresi. “Baru saja.”

Diana melirik ke pintu otomatis yang cukup jauh dan menduga tidak mungkin baru saja, itu terlalu cepat. “Tu-tumben. Tindakan kan jam sepuluh, Dok.”

“Oh, iya. Ng ….”

Diana terus mengawasi laki-laki setinggi 186 sentimeter dan berat sekitar 70 kilogram yang berjarak sekitar dua langkah darinya itu.

“Ada yang mau saya tanyakan sama kamu. Mumpung sepi,” lanjut Dokter Kahfi.

“Se-sepi?” Sebelah alis Diana meninggi, tidak mengerti.

Dokter Kahfi mencoba tersenyum tapi justru terlihat memaksakan diri. Dan itu membuat Diana merasa ketakutan.

“Ap-apa ya, Dok?”

“Saya penasaran kenapa orang-orang bilang kamu itu judes.” Dokter Kahfi maju selangkah. “Kenapa sih?”

Diana memperhatikan gerakan kaki lawan bicaranya dengan was-was. “K-karena … aku jarang senyum, Dok.”

“Oh, begitu.” Dokter Kahfi mengangguk. “Tapi kamu enggak anti smile kan?”

Diana melotot. Tiba-tiba berkeringat dingin. Takut dan mendadak pucat pasi. Ia kehabisan kata-kata karena panik. “A-ak, aku … i, i ….”

Diana berusaha kabur, mencoba pergi, tapi Dokter Kahfi menghalanginya. Diana terpaksa mundur ke tempat semula. Dia terpojok, posisinya kini terkunci. Diana hanya bisa komat-kamit membaca istighfar agar ada pertolongan sebelum nyawanya dihabisi oleh psikopat itu.

Dokter Kahfi menjulurkan tangannya melewati pipi dan telinga Diana, meraih sesuatu di atas lemari obat setinggi satu meter di belakang Diana. Bulu kuduk Diana berdiri, merinding dari tengkuk hingga sepanjang lengannya. Sebuah sensasi seram yang mulai sering dia rasakan sejak hari pertama bertemu dokter psikopat itu. Sebuah pisau bedah tipis tanpa pegangan dan masih dalam kemasan, diperlihatkan Dokter Kahfi tepat di depan kedua mata Diana yang membesar ketakutan.

Dokter Kahfi memainkan pisau bedah itu di hadapan Diana. “Kamu tahu Joker di film Batman? Dia mengklaim dirinya tidak bisa tersenyum lalu ayahnya yang psikopat merobek bibirnya dengan pisau hingga ke pipi sampai Joker tampak seolah-olah dia sedang tersenyum.”

Diana gemetar terpojok sementara Dokter Kahfi semakin mendekat. Sangat dekat bahkan Diana bisa mencium aroma lavender dari kemeja Dokter Kahfi.

Di saat yang bersamaan seorang OB lewat untuk memastikan pintu tidak terkunci baru kemudian akan membawa trolinya untuk bersih-bersih. Tapi berhenti dan terkejut melihat Dokter Kahfi sedang memojokkan seseorang. Satu tangan Dokter Kahfi menempel di tembok, satu lainnya seperti sedang memegang benda kecil. Tubuh Dokter Kahfi yang kekar menutupi seseorang dari pandangan. OB itu coba sembunyi di balik tembok lalu kembali memberanikan diri mengintip lebih jauh. Ia semakin terkejut melihat ternyata Diana di balik badan Dokter Kahfi. Ia teringat kejadian beberapa waktu lalu di toilet pria, ketika hari peresmian Unit Cathlab. OB itu syok, menutup mulutnya lalu pergi pelan-pelan.

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro