10. Cincin Lamaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Binatang kumbang nempel di kaca
Wajib tap bintang sebelum baca



Benda lingkaran kecil di tangan masih menjadi pusat perhatianku. Benda ini membuat hatiku tak tenang, selalu memikirkannya. Menurut keluarga dia, ini bukan cincin lamaran, melainkan hadiah untukku. Tetap saja aku menganggap jika ini cincin lamaran. Rasa ragu masih menghantuiku sampai saat ini. Antara belum siap dan terpaksa. Hubunganku dengan dia masih sama seperti sebelumnya. Kami bahkan hampir tak pernah komunikasi setelah dia datang ke rumah untuk melamarku. Semalam, setelah dia datang ke sini, aku sudah mengirim pesan mengenai apa yang ingin aku sampaikan perihal penting. Namun, sampai saat ini belum ada balasan. Dia semakin membuatku kesal.

Aku membetulkan posisi duduk saat mendengar langkah kaki. Siapa lagi jika bukan Kak Isna, karena Mama sudah pergi ke pasar, sedangkan Naya sudah berangkat sekolah. Tinggal kami berdua yang ada di rumah. Sejak kedatangan dia, aku dan Kak Isna masih saling diam, bahkan saat makan malam pun Kak Isna hanya diam mendengar cerita mama mengenai kedatangan keluarga Pak Aji ke rumah ini.

"Mama mana?" tanyanya saat tiba di dekatku.

"Ke pasar," balasku singkat.

Dia melanjutkan langkah menuju dapur, sedangkan aku sibuk mengisi piring dengan nasi goreng yang sebelumnya tertunda.

"Gimana rasanya mau nikah dadakan?"

Nasi goreng yang sedang aku kunyah terasa sulit untuk ditelan saat mendengar pertanyaan Kak Isna. Itu bukan pertanyaan, lebih ke arah sindiran atau ejekan.

"Nggak dadakan juga. Masih ada waktu sebulan lebih. Lagian Om Arif sudah kasih tahu aku masalah ini, jadi aku sudah nggak kaget," balasku santai.

"Kamu beneran sudah yakin mau nikah sama dia? Jangan sampai nanti nyesel."

"Aku bakal lebih nyesel kalau bikin Mama kecewa."

Obrolan kami terjeda saat deringan ponsel menggema di ruangan ini. Suara bersumber dari ponselku yang tergeletak di atas meja makan. Aku menatap layar ponsel, mengedipkan mata saat melihat nama yang tertera. Ponsel segera kuraih, lalu menempelkannya pada telinga. Suara salam langsung menyapaku.

Kenapa harus aku ancam dulu biar mau telepon?

"Wa- alaikum salam," ucapku ragu.

"Ukhti sedang bersama siapa di situ?"

Aku menatap ke arah Kak Isna dan mendapatinya sudah berdiri di dekat meja, lalu duduk di salah satu kursi. "Lagi sama Kak Isna. Ini aku mau ke kamar." Aku beranjak dari kursi.

"Ukhti di situ saja."

Gerakanku seketika terhenti. "Kenapa?" Kembali duduk di kursi.

"Nggak apa-apa. Apa yang mau Ukhti sampaikan?"

Apa aku harus ngomong masalah ini di depan Kak Isna? Aku menatap Kak Isna. Dia seakan tahu dengan siapa aku telepon, beranjak dari kursi untuk pergi dari ruangan ini.

"Ukhti?"

"I-iya," balasku gagap karena kaget.

"Gimana?"

Aku mengembuskan napas, menyiapkan kalimat untuk disampaikan.

"Kalau misalnya setelah menikah, lalu aku mau kuliah lagi gimana? Pakai uang aku sendiri, kok." Aku mengungkapkan.

"Ya nggak apa-apa. Pendidikan juga penting untuk wanita. Saya dukung kalau Ukhti mau kuliah lagi. Insyaallah, nanti saya bantu."

Ternyata dugaanku salah. Aku kira dia akan keberatan mengenai hal ini, tetapi dia justru mendukung, bahkan akan membantuku.

"Apa ada lagi yang ingin Ukhti tanyakan selain yang tertera di CV? Mungkin mengenai saya? Atau mengenai mahar?"

"Kenapa baru sekarang telepon? Kenapa SMS aku nggak pernah dibales? Kamu curang. Kamu banyak tahu tentang aku lewat Om Arif, tapi aku nggak tahu banyak tentang kamu."

"Karena baru dapat izin sekarang dari Umi. Makanya ini saya nanya, barangkali Ukhti mau nanya-nanya atau ada keinginan mengenai ijab qobul dan walimah nanti."

"Aku nggak ada keinginan apa-apa di pernikahan nanti, cuma mau nanya beberapa pertanyaan saja."

"Silakan. Insyaallah, saya akan jawab."

"Sebenarnya, aku ingin tahu alasan kamu mau menikah sama aku. Kamu dosen, orang terpandang, soleh, sedangkan aku sebaliknya sama kamu. Bukan karena permintaan Mama atau karena papa aku, kan?"

Kekehan terdengar dari seberang sana. Apa pertanyaan aku salah?

"Kok malah ketawa?" gerutuku kesal.

"Saya memilih ukhti karena yang hadir dalam Istikharah saya adalah ukhti, bukan karena apa pun, jadi semua yang ukhti ucapkan tadi nggak ada hubungannya. Insyaallah, saya yakin jika ukhti wanita baik yang dipilih Allah untuk menjadi tulang rusuk saya, yang akan menyempurnakan separuh dari ibadah saya, yang akan menjadi ibu teladan bagi anak-anak saya. Saya yakin."

Baru kali ini aku mendengar kata-kata seperti ini terucap dari seorang laki-laki. Dia sangat yakin untuk menikah denganku, sedangkan aku justru ragu dengannya. Wanita manapun akan tersipu saat disanjung seperti itu. Terlebih dia mapan dan matang. Selanjutnya, obrolan kami berlanjut mengenai pernikahan. Satu sisinya mulai aku ketahui. Ramah. Dia begitu leluasa berbicara mengenai konsep pernikahan kita, sedangkan aku hanya bisa mengiyakan dan menyerahkan semua urusan pernikahan dengannya.

***

Waktu seakan cepat berlalu. Aku merasa baru kemarin kedatangan dia bersama keluarganya, lalu sekarang sudah dua pekan kejadian itu berlalu. Jika wanita lain merasa bahagia akan menikah, berbeda dengan aku saat ini. Walaupun ucapannya sudah meyakinkan, tetap saja aku masih belum percaya sepenuhnya karena kita belum lama kenal, lalu akan menjalani kehidupan bersama.

"Ya ampun, Anis! Bukannya Mama sudah suruh kamu mandi? Sebentar lagi calon mertua kamu datang, loh."

Aku membuka mata, memastikan jika tidak salah dengar. Beberapa menit lalu Mama tidak bilang jika orang tuanya akan datang. Beliau hanya menyuruhku untuk mandi. Apa Mama sengaja menyebut beliau agar aku segera mandi?

"Jangan bawa-bawa calon besan kalau mau bangunin Anis, Ma." Aku kembali memejamkan mata.

"Mama nggak bercanda. Kemarin beliau telepon Mama, katanya mau ke sini, mau ajak kamu sama Mama buat nyari gaun pengantin kamu."

Selimut kusibak, lalu beranjak duduk. "Mama kok nggak bilang sama Anis?" tanyaku kesal.

"Sengaja. Buruan mandi. Mereka lagi di jalan, bentar lagi sampai." Mama meninggalkan kamarku.

Tanpa pikir panjang, aku beranjak dari tempat tidur. Dia pun tak memberi kabar jika mereka akan ke rumah. Mengesalkan. Aku membuka lemari, memilih baju yang cocok untuk aku kenakan. Namun, semua terasa tak cocok. Aku bingung. Pilihanku jatuh pada gamis warna coklat. Setelah memilih baju, aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Waktuku tak banyak.

Rasa tak percaya diri muncul dalam hati, membuat aku ragu untuk keluar dari kamar. Gamis pilihanku sudah menghiasi tubuh. Jilbab warna abu pun sudah melilit kepalaku. Make up tipis tak luput melengkapi. Tinggal hati yang belum siap.

Aku terkesiap saat pintu kamar terbuka. Sudah pasti itu Mama. Dari pantulan cermin, Mama terlihat menghampiriku. Aku berusaha menenangkan hati untuk keluar dari kamar, lalu beranjak dari kursi.

"Udah siap, kan? Ayo keluar. Calon mertua kamu sudah nunggu dari tadi."

Hanya mengangguk yang aku berikan. Mama membalikkan tubuh, berjalan di depanku untuk kembali keluar, sedangkan aku hanya mengikuti. Aku mengedarkan pandangan karena hanya mendapati satu orang yang sudah menunggu di ruang keluarga, yaitu calon ibu mertuaku. Apa dia tak ikut?

Yang mau nikah sebenarnya siapa, sih? Dia kayak nggak peduli sama pernikahan kita. Percuma kemarin nanya-nanya kalau akhirnya diserahin urusan pernikahan sama uminya. Mana nggak bilang kalau uminya mau ke sini.

Pikiran langsung buyar saat mama menyenggol lenganku. Beliau terlihat mengulurkan tangan, membuat aku segera menjabat tangan beliau, lalu mencium punggung tangannya. Senyum malu menghiasi wajahku. Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian kami, lalu disusul suara salam. Suaranya tak asing.

"Langsung saja, ya, Jeng. Sudah siang, takut macet."

"Iya. Saya terserang njenengan." Mama menimpali ajakan calon besannya.

"Anis ke kamar bentar, Ma. Ada yang lupa," kataku pada Mama.

"Jangan lama-lama."

Aku bergegas menuju kamar, mencari barang yang harus kubawa. Setelah memasukkan beberapa barang ke dalam tas, aku beranjak meninggalkan kamar. Jangan sampai membuat orang tuanya menunggu lama. Langkahku terhenti saat tiba di teras rumah, memastikan jika tidak salah lihat. Aku memang tidak salah lihat. Dia ada di sini. Langkah kembali terayun untuk mendekatinya, lalu segera masuk saat dia membukakan pintu mobil.  Ada rasa bahagia menyergap hati ketika melihatnya ada di sini. Penampilannya sederhana, hanya kemeja lengan pendek warna coklat, lalu dipadu celana panjang warna hitam, tetapi selalu menjadi perhatianku.

Ya Allah, aku baru sadar kalau baju kita warnanya sama, padahal kita nggak janjian. Apa ini yang dinamakan jodoh?

***

Tempat tujuan pertama kami adalah butik, sesuai dengan musyawah Mama dan calon besannya. Tanpa sepengetahuanku, Mama sering menghubungi calon besannya untuk membahas pernikahan aku dan dia. Aku merasa ini tidak adil karena dilarang menghubungi dia tanpa sepengatuan keluarga kami, padahal yang akan menikah kami, seharusnya kami butuh pendekatan untuk mengetahui karakter satu sama lain. Dia pun sama menyebalkan, patuh pada aturan yang diberikan. Setiap kami telepon harus ada yang mengawasi seperti saat itu, dan dia tidak bilang jika uminya mengawasi saat kita bicara melalui telepon.

"Gimana dengan model yang ini, Nak Anis?" tanya Umi Salamah sambil menyodorkan gaun pengantin warna putih padaku.

Gaun itu terlihat simpel, sederhana, dan tertutup. Sebelumnya, pilihan aku justru ditolak sama Mama dan beliau. Dia justru tak ikut campur mengenai gaun yang akan aku kenakan di hari pernikahan kami, memberi kritik pun tidak, justru pilih menunggu di ruang tunggu.

"Dicoba dulu." Mama menimpali.

Aku kembali pasrah, menuruti permintaan dua wanita seumuran itu. Hanya dua gaun yang akan aku kenakan di hari pernikahan, gaun untuk akad dan menerima tamu. Resepsi digelar hanya dalam satu hari setelah akad sesuai perjanjian. Setelah dari butik, kami akan ke percetakan untuk memesan undangan. Konsep undangan pun masih belum ada kepastian dariku karena bingung harus mengundang siapa saja. Teman dekat belum ada yang tahu jika aku akan menikah, karena mereka hanya tahu jika aku sedang mencari pekerjaan dan berkeinginan untuk kembali kuliah. Apa kata mereka jika aku akan menikah dadakan seperti ini?

"Masyaallah." Umi terdengar kagum saat gaun pilihan beliau sudah menghiasi tubuhku.

Gaun yang kukenakan saat ini terasa nyaman dan tidak ketat di badan, tetapi tidak terlihat kebesaran. Senyum kusungging karena gaun ini nyaman dan cocok di tubuhku.

"Gimana?" tanya Mama.

"Anis suka yang ini," balasku sambil menatap bagian bawah gaun.

"Ternyata Bu Besan lebih tau seleran calon mantu."

"Alhamdulillah kalau Anis cocok."

Setelah cocok dengan gaun tersebut dan meminta rombak di bagian tertentu, aku dibantu karyawan melepas gaun itu. Saat keluar dari ruang ganti, Mama dan Umi Salamah sudah tidak ada di ruangan sebelumnya. Mungkin mereka sudah menunggu di ruang tunggu. Aku bergegas ke sana. Dugaanku salah. Mereka tidak ada di sana, melainkan hanya ada dia di ruang tunggu yang sedang menatap manekin berbalut jas khas pengantin. Dia menundukkan kepala, seperti tahu jika aku ada di belakang tubuhnya.

"Mama sama umi kamu ke mana?" tanyaku memberanikan diri setelah menimbang singkat.

"Bukannya sama ukhti?" tanyanya balik tanpa membalikkan tubuh.

"Kenapa kamu nggak bilang mau ajak aku sama Mama buat persiapan pernikahan kita?"

Dia membalikkan tubuh, masih menunduk. "Beberapa hari yang lalu, Umi memang bilang sama aku masalah ini, tapi belum tentu kapan. Niatnya, aku mau kabari ukhti kalau harinya sudah pasti, tapi tetnyata Umi bilang tadi pagi saat aku baru pulang dari pondok. Aku juga nggak sempat kasih tau ukhti karena harus siap-siap. Apa Tante nggak kasih tau?"

Nggak mungkin aku terus terang. Bisa-bisa dia curiga.

"Kamu udah selesai, Nis?"

Pikiranku buyar saat mendengar pertanyaan Mama. Aku membalikkan tubuh, lalu segera mengangguk. Kami pun keluar dari butik untuk menuju tempat selanjutnya yaitu percetakan undangan.

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro