11. Memantapkan Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhir-akhir ini aku merasa jika hari begitu cepat berlalu. Hari yang yang diharapkan semua orang di dekatku akan segera tiba. Tak terasa tinggal menghitung jari, hari itu akan tiba. Gaun, undangan, tempat ijab kabul dan resepsi pun sudah ditentukan. Sejak hari terakhir brrtemu dengannya, aku sedikit tahu mengenainya walaupun lewat sang ibu. Jujur, dia memang tampan, apalagi saat senyum. Masih teringat jelas dalam ingatan saat dia tersenyum karena digoda oleh umi.

Hari itu, kami tak hanya pergi ke butik, percetakan, dan tempat untuk resepsi. Umi mengajak kami ke pusat perbelanjaan untuk membeli sebagian barang seserahan. Aku diminta beliau untuk memilih sendiri apa yang akan menjadi barang seserahan. Sudah tentu aku kaget dan bingung akan membeli apa saja. Akhirnya Mama ikut membantu, memilihkan apa saja yang harus dibawa untuk seserahan.

Undangan yang kami pesan sudah jadi dan sudah diterima oleh masing-masing keluarga untuk disiapkan dan dibagikan pada tamu yang akan kami undang. Jujur, aku merasa tak enak karena semua biaya pernikahan ditanggung oleh keluarga dia. Keluarga kami tak bisa menolak karena itu memang keinginan mereka sejak awal. Aku bahkan tak mengingat masalah ini. Keluarga dia memang baik. Hal ini yang membuatku sedikit yakin untuk menerimanya. Apa aku sudah mulai jatuh cinta dengan dia?

Fokusku terpecah saat mendengar obrolan mama bersama seseorang menggema di ruangan ini, mengalihkan pandanganku dari undangan yang sedang diberi label nama-nama penerima. Ternyata Mama sedang berbicara dengan Pak Rusdi, orang yang selalu dimintai bantuan saat rumah ini mengalami kerusakan. Kali ini beliau akan membantu kami untuk pindahan Kanaya ke kamar atas. Ini permintaan Mama karena akan menyambut menantu pertama. Mama menerapkan peraturan baru setelah aku menikah, karena kami akan menambah anggota baru. Baik aku atau Kak Isna tidak bisa menolak karena keputusan mama tidak bisa diganggu gugat.

"Kak, bantuin Naya, dong!" seru adik bungsuku dari dalam kamar.

"Itu Pak Rusdi sudah datang!" seruku balik.

Mama menginstruksi Pak Rusdi untuk masuk, sedangkan aku masih sibuk dengan undangan. Entah Kak Isna ke mana, satu jam lalu pamit pergi, padahal di rumah sedang repot dan membutuhkan bantuannya. Masalah pernikahanku pun dia tak acuh, hanya Mama dan Kanaya yang antusias membantu. Sejak awal Kak Isna memang tidak setuju dengan keputusanku. Bisa saja karena aku mendahuluinya atau menerima laki-laki yang ditolak olehnya. Biarlah. Apa yang kulakukan demi mama dan demi masa depanku.

"Permisi! Aniiis!"

Akhirnya yang aku tunggu datang. Aku beranjak dari posisi untuk menjamu tamu. Beberapa hari yang lalu aku mengajak mereka bertemu, tapi mereka justru sibuk dengan pekerjaan masing, jadi aku kasih kejutan lewat pesan. Aku sengaja tak menjelaskan pada mereka agar datang ke rumah dan memastikan langsung, karena sejak kemarin mama melarangku untuk keluar rumah. Masih dalam masa pingit sebelum ijab kabul. Gita terlihat berdiri di ambang pintu, membuat aku menyungging senyum. Sedangkan Rena tak bisa ke sini karena ada acara keluarga.

"Ayo masuk," ajakku saat tiba di ruang tamu.

"Lo nggak serius, kan, bilang mau nikah?" tanyanya sambil berjalan memasuki ruang tamu.

Aku membalikkan tubuh, berjalan menuju ruang tengah untuk kembali melanjutkan pekerjaan. "Kapan lo percaya sama gue?" tanyaku balik.

Saat tiba di ruang tengah, aku meraih satu undangan dan memberikan padanya. Gita menerima undangan itu, lalu membacanya dengan seksama, sedangkan aku hanya bisa tersenyum sambil memandangnya. Satu. Dua. Tiga.

"Ini seriusan? Kataknya lo lagi nyari kerjaan? Katanya lo mau kuliah lagi? Kok tiba-tiba lo mau nikah?" cecarnya dengan pertanyaan.

"Mending lo bantuin gue dulu, nanti sambil gue ceritain."

"Sumpah, gue masih nggak percaya."

"Lo mau minum apa?"

"Apa aja."

"Gue bikin minum dulu." Aku bergegas meninggalkan ruang tengah untuk menuju dapur.

Gimana sama Rena, ya? Gita aja kaget kayak gitu. Pasti lebih rame dan heboh.

Mama terlihat sedang berbicara dengan Gita saat aku memasuki ruang tengah sambil membawa nampan berisi segelas minuman dan camilan. Sudah lama sekali teman-temanku tak datang ke rumah ini karena kami sama-sama sibuk bekerja. Terakhir, mungkin saat aku sedang tidak baik-baik saja setelah kepergian Papa dan harus lepas kuliah.

"Tante tinggal dulu, masih repot bantuin Kanaya." Mama pamit pada Gita saat aku tiba di antara mereka.

"Iya, Tante." Gita hanya mengangguk sambil tersenyum kaku.

Setelah meletakkan nampan di atas meja, aku kembali duduk di posisi semula. Gita pun menyusul duduk.

"Lo nggak nyembunyiin sesuatu dari gue, kan?" tanya Gita dengan nada pelan.

"Nggak lah, Git. Kalo gue mau nyembunyiin sesuatu dari lo dan Rena, gue nggak bakal kasih tau kalian kalo gue mau nikah."

"Lo nggak ...."

Aku menoleh ke arah Gita. Satu kata diucap oleh bibirnya. Bagiku bukan kata, melainkan tuduhan. "Nggak lah, Git. Amit-amit gue ngelakuin kayak gitu. Yang ada tambah bikin malu Mama gue," tolakku cepat.

Tidak habis pikir jika Gita akan menuduhku hamil di luar nikah karena akan menikah mendadak. Pernikahan ini tak sepenuhnya dadakaan, hanya aku saja yang terlambat memberi kabar. Selanjutnya, kami membahas perihal calon suamiku. Hanya sewajarnya saja aku mengungkapkan dan sesekali diselingi candaan. Setidaknya aku cukup tenang karena sudah mengungkapkan kabar ini pada Gita. Bahkan dia penasaran akan sosok laki-laki yang akan menikahiku. Tentu saja dia penasaran, karena aku tidak pernah cerita padanya. Jangankan cerita, aku pun belum lama mengenalnya.

***

Hati ini semakin tak keruan karena hari yang ditunggu akan segera tiba. Tinggal lima hari lagi aku akan melepas masa lajang. Undangan pun sudah disebar. Banyak sekali teman-teman yang mengirim pesan dan menanyakan kebenaran undangan yang mereka terima. Aku hanya bisa membalas sesuai kenyataan yang ada. Rumah ini tak kalah untuk bersiap menyambut hari itu. Semua orang di rumah ini sudah mulai sibuk dengan tugas masing-masing.

Aku masih menatap langit kamar yang putih, masih terbaring di atas ranjang setelah merapikan kamar. Sesuai perintah Mama kamar ini dicat ulang agar terlihat bersih. Walaupun aku kesal karena warna kesukaan ditimpa menjadi putih, tapi setelah aku pikir kembali perintah Mama tak salah. Bagaimana jika dia merasa risih dengan dinding kamarku sebelumnya yang penuh dengan stiker?

Suara pintu terbuka membubarkan pikiranku, disusul suara alas kaki menggema, terdengar mendekat ke arahku. Siapa lagi jika bukan Mama?

"Barang seserahan kamu sudah datang. Mau taruh di mana?"

Aku menatap sumber suara. Kak Isna berdiri di sisi ranjang, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

"Nis, itu seserahan dari Nak Umar sudah datang." Suara Mama menyusul masuk ke kamar ini.

"Iya," balasku singkat sambil beranjak duduk.

Mama pun berlalu dari kamar ini, sedangkan Kak Isna masih berdiri di sisi tempat tidur. Dia mengayun langkah untuk mendekatiku, lalu duduk di sampingku. Sepertinya dia akan kembali mengingatkanku seperti hari sebelumnya. Aku hanya bersiap mendengar omongannya yang tak akan berpengaruh pada keadaan saat ini.

Cukup lama di antara kami saling diam. Aku pun enggan mengeluarkan kata karena malas. Tiba-tiba Kak Isna memelukku. Sudah tentu aku kaget dan penasaran akan maksudnya. Apa dia sudah sadar dengan kesalahannya karena telah menjadikan aku kambing hitam untuk ke sekian kali?

"Maafin Kakak, Nis." Akhirnya Kak Isna buka suara. Isakan terdengar dari arahnya.

"Buat apa?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Kamu beruntung dapat laki-laki seperti Umar. Kakak yakin kalau dia laki-laki baik."

Kalau dia baik, kenapa Kakak malah tolak dia? Kenapa justru mengorbankan aku agar menikah dengannya.

Pelukan kami terurai. Kak Isna benar-benar menangis, matanya terlihat sembab. Sudah pasti dia merasa bersalah karena sudah mengorbankan aku.

"Ya udah, sih, lagian aku juga nggak masalah terima dia. Aku pasti bakal bahagia menikah sama dia, jadi Kakak nggak perlu merasa bersalah." Aku meyakinkan.

Kak Anis hanya mengangguk lemah. Setidaknya apa yang dia tahan selama ini sudah diungkapkan. Mungkin alasan dia tidak mendukungku karena takut didahului, padahal Om Arif sudah menasehati bahwa didahului adik menikah itu tidak mempengaruhi jodohnya. Kita tidak akan bisa menang jika Om Arif sudah mengeluarkan ultimatum, terutama mengenai agama.

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro