12. Semoga Pilihan Terbaik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Barang seserahan terlihat memenuhi kamarku. Baru beberapa hari lalu aku merasa jika kamar ini terlihat luas karena ada beberapa perabot yang digeser, lalu sekarang justru kembali terlihat sesak dengan barang-barang ini. Dia tidak main-main memberikan barang-barang ini sebagai seserahan. Tidak hanya ini, melainkan ada barang lain di luar sana seperti lemari, tempat tidur, dan barang besar lainnya yang tak mungkin muat jika dimasukkan ke dalam kamarku. Sedangkan di dalam kamarku berisi kotak pakaian, make up, alas kaki, dan barang lainnya yang sudah dikemas rapi.

Sekarang, aku justru digelanyuti rasa takut. Takut jika apa yang aku harapkan tidak sesuai kenyataan. Sampai saat ini pun kami sangat jarang berkomunikasi. Terakhir seminggu yang lalu dia memberi kabar jika akan mengirim seserahan keesokan harinya. Walaupun semua orang sudah meyakinkan aku tetap saja nantinya yang akan menjalani kami, sedangkan aku tak tahu karakternya seperti apa.

Rumah ini sudah ramai sejak dua hari lalu. Kerabat dan saudara dekat sudah mulai berdatangan, termasuk adik bungsu papa yang akan menjadi waliku nanti. Aku bahagia karena rumah ini menjadi ramai, tetapi aku pun sedih karena akan melepas masa lajang. Sesuai kesepakatan, ijab kabul akan dilakukan di pondok pesantren milik Pak Aji, sedangkan pesta pernikahan akan dilakukan di hotel yang sudah dipesan saat itu. Aku yang menentukan warna dekorasi dan aksesoris panggung, sedangkan sisanya aku serahkan pada mama dan tante Fia.

"Loh, malah ngelamun. Udah ditungguin ibu-ibu pengajian."

Kalimat itu mengalihkan perhatianku dari barang seserahan. Tante Fia terlihat berdiri di ambang pintu, sedangkan aku hanya bisa membalasnya dengan senyum simpul. "Nggak kok, Te. Cuma lagi mastiin saja barang seserahannya. Ini udah siap." Aku beranjak dari tepi ranjang.

Seperti adat pada umumnya sebelum menikah di rumah mempelai wanita menjalani proses siraman dan pengajian. Ini keinginan mama, padahal Om Arif sudah mengatakan cukup dengan pengajian saja tanpa perlu ada prosesi siraman, tetapi Mama kukuh untuk melakukan keduanya. Aku tak tahu masalah ini, jadi hanya menurut saja apa yang mereka perintahkan. Prosesi siraman sudah dilakukan satu jam yang lalu, kini tinggal acara pengajian.

Ruang tengah terlihat ramai didominasi ibu-ibu untuk mengikuti proses pengajian. Aku duduk di samping Mama, lalu Tante Fia menyusul di sampingku. Prosesi segera dimulai setelah aku sudah berada di tempat ini. Jujur, pikiranku saat ini tak menentu, bahkan tak fokus dengan pengajian. Semua orang juatru tenggelam dengan acara ini.

***

Setelah acara pengajian, aku didampingi Mama dan om bertolak ke pondok pesantren yang akan menjadi tempat ijab kabul. Sudah menjadi keputusan bersama jika kami akan ke sana pada malam ini karena tidak mungkin pada pagi hari, karena dikhawatirkan tidak akan cukup waktu, sedangkan ijab kabul akan dilakukan pukul tujuh pagi.

Raga terlihat tenang, tetapi pikiran dan hatiku justru bertolak. Entah alasan apa yang membuatku seperti ini, mungkin karena gugup atau sebagainya. Keluarga besarku terlihat bahagia dan antusias dengan pernikahan ini. Apalagi ini acara besar pertama bagi Mama karena akan menikahkan putrinya, tentu beliau sangat bahagia. Aku bisa melihat jelas dari wajah dan ucapan beliau. Rasa bahagia yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

Akhirnya rombongan kami tiba di tempat tujuan. Orang-orang sudah menanti kami di luar mobil. Saat mobil ini terbuka, wajah pertama yang aku lihat adalah Umi. Aku langsung dipeluk beliau. Suara rebana disertai shalawat mengalun untuk menyambut kami. Aku beserta keluarga digiring untuk menuju sebuah rumah sambil diiringi shalawat. Pandangan kuedarkan ke sekitar, mencari sosoknya, tetapi apa yang aku harapkan tak sesuai kenyataan. Dia tak ada di sini. Justru kekecewaan yang aku dapat.

Jajaran wanita berhijab menyambut kami saat tiba di halaman sebuah rumah. Mereka menundukkan kepala saat kami melewatinya. Seketika aku merasa bingung. Tak hanya di luar, di dalam rumah pun kami disambut banyak orang.

"Jangan sungkan-sungkan di sini. Kalau kurang sesuatu tinggal bilang saja. Ada ustadzah dan santri putri yang akan membantu." Umi menyampaikan saat kami tiba di dalam rumah.

"Terima kasih karena sudah disambut seperti ini." Mama menimpali.

"Bu Besan bisa saja. Mari saya antar ke kamar, khawatir Nak Anis capek dan butuh istirahat."

Kami kembali digiring masuk ke dalam. Umi Salamah menjelaskan setiap ruangan di rumah itu. Rumah ini cukup luas dan ternyata menyambung ke rumah sebelah. Mama dan yang lain mulai sibuk dengan barang yang kami bawa dari rumah, sedangkan aku harus mengikuti Umi untuk menuju kamar.

"Ini kamar Nak Anis untuk istirahat. Umar sendiri yang minta Nak Anis tidur sendiri." Umi membuka pintu kamar itu, lalu masuk ke dalam.

Aku pun menyusul masuk. Aroma wangi langsung menyeruak hidungku. Khas wangi laki-laki. Pandanganku mengitari kamar ini. Semua terlihat bersih dan rapi.

"Ini kamar yang biasa Umar tempati kalau nggak pulang ke rumah. Hampir setiap hari dia tidur di sini, kecuali kalau kangen sama rumah Abi baru pulang." Umi duduk di tepi ranjang.

Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali tersenyum. Umi menepuk sisi ranjang, menginstruksi agar aku ke sana, lalu duduk di samping beliau. Aku mematuhi perintah beliau, mengayun langkah untuk mendekat, lalu duduk di samping beliau. Umi meraih tanganku, lalu menggenggamnya erat. Sejenak, suasana terasa hening.

"Terima kasih karena sudah mau menerima anak Umi."

Deg. Kalimat itu sukses membuatku tak berkutik. Entah alasan apa Umi meminta maaf perihal ini. Jika ada yang harus meminta maaf adalah keluargaku. Ini justru kebalikan. Apa sebaik ini keluarga mereka?

Suara ketukan pintu menjeda menggema di ruangan ini. Seorang wanita berumur sekitar 30 tahun berdiri di sisi pintu. Suasana yang tadinya tegang berubah mencair. Umi beranjak dari posisi, lalu menghampiri wanita itu. Setidaknya saat ini aku merasa lega. Pandangan kembali kuedarkan untuk memastikan kamar ini sambil menunggu instruksi Umi selanjutnya. Rak buku besar di sisi kamar ini menjadi pusat prrhatianku. Jajaran buku-buku tebal tertata rapi di sana. Bukan buku, melainkan seperti kitab.

Aku menatap ke arah pintu saat mendengar suara Mama. Benar. Mama masuk ke dalam kamar ini bersama Umi. Tinggal menghitung jam, keinginan Mama akan terpenuhi. Semoga Mama bahagia dan senang dengan apa yang aku lakukan.

***

Aku masih termenung menatap bayangan cermin. Bayangan yang menampilkan tubuhku. Masih tak percaya dengan penampilanku saat ini. Gaun putih, make up, dan hiasan di kepala membuatku berbeda. Bukan jelek, melainkan lebih ke arah cantik, membuatku tak percaya diri. Butuh waktu tiga jam untuk membuatku seperti ini. Sejak semalam aku tak bisa tidur karena memikirkan acara yang akan berlangsung tak lama lagi.  Keadaan hatiku masih tak menentu.

Suara alas kaki membuyarkan lamunanku. Mama, Tante Fia, Kak Isna, dan Kanaya terlihat masuk ke dalam ruangan ini. Wajah mereka terlihat susah ditebak. "Sudah selesai kan, Mbak? Anis harus keluar sekarang," ungkap Mama pada perias.

"Selamat ya, Nis. Kamu sudah sah jadi istrinya Ustadz Umar." Tante Fia menyampaikan.

Hah? Aku sudah sah jadi istri dia? Aku nggak salah dengar, kan? Jadi tadi acara ijab kabulnya? Kenapa aku nggak dibolehin menyaksikan langsung? Nggak adil banget, sih?

"Malah bengong." Kak Isna membuyarkan pikiranku.

Jujur, aku masih kesal dengan semua ini. Aku tidak masalah jika acara ijab kabul dilakukan di sini, tapi aku kesal karena tidak dibolehkan menyaksikan pernikahanku sendiri. Dia mengesalkan. Om Arif juga. Ini rencana mereka berdua.

Aku diapit Mama dan Tante Fia berjalan menuju masjid. Suasana terlihat ramai dan sholawat kembali mengalun. Rasa kesal di hati perlahan mencair saat melihat tempat ini. Sudah tentu saat ini aku menjadi pusat perhatian seisi pondok. Aku langsung mencari sosoknya saat tiba di ruangan utama ijab kabul. Dia terlihat sangat berbeda dari sebelumnya. Jubah putih, peci putih, potongan rambut baru, semua sukses membuatku pangling. Tampan.

Hampir saja aku terjatuh jika Mama tidak menopang lenganku. Sibuk memerhatikan dia membuatku tak fokus pada langkah. Mama langsung mengingatkanku agar hati-hati. Aku langsung menundukkan kepala saat tiba di dekatnya. Dia langsung berdiri untuk menyambutku. Pak Aji memberi instruksi agar aku duduk di samping putranya.

"Selamat untuk kalian berdua. Sekarang, Nak Anis dan Nak Umar sudah sah menjadi suami istri. Semoga rumah tangga kalian menajdi rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah." Seseorang mengungkapkan saat aku sudah duduk disamping laki-laki yang sudah sah menjadi suamiku. Aku yakin jika beliau adalah pihak KUA.

Dia mengulurkan tangan padaku. Aku menggerakkan tangan ragu. Pada akhirnya tanganku berlabuh di atas tangannya. Dia menyematkan cincin di jari manisku.

"Cium tangan suaminya, Mbak." Seseorang menginstruksi.

Aku menarik tangannya perlahan, lalu mencium punggung tangannya. Dia pun mencium keningku, cukup lama, bahkan sesekali terdengar seperti suara doa. Setelah selesai, dia menjauhkan wajahnya sambil tersenyum tipis. Entah kenapa aku jadi ikut tersenyum. Selanjutnya, kami diarahkan untuk melakukan proses selanjutnya mengenai dokumen pernikahan.

***

Bersambung ...

Ini kan yang kalian tunggu-tunggu.
Kasih selamat dulu ke Anis dan Umar.
Jangan lupa tap bintang dulu.

Thanks.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro