13. Malam Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku nggak minta apa-apa dari kalian.
Cuma minta tap bintang aja buat penyemangat.

Terima kasih.

♡♡♡

Sampai sekarang dia belum masuk ke dalam kamar hotel ini setelah acara selesai, bahkan sampai aku melepas semua yang melekat di tubuh ini, lalu berlanjut mandi. Sudah hampir dua jam aku di kamar ini, tapi tanda-tanda dia akan ke sini pun tak ada. Sudah berulang kali aku mengecek ponsel, tetapi tak ada telepon atau pesan darinya. Jika tahu akan seperti ini mungkin aku akan menahan Kanaya atau Kak Isna untuk tetap di sini sampai dia datang. Sayangnya mereka semua sudah pulang. Ya sudah, lebih baik aku tidur daripada menunggunya.

Baru akan merebahkan tubuh, suara bel menggema di ruangan ini. Aku beranjak dari tempat tidur, merapikan penampilan, lalu mengayun langkah menuju pintu. Sepertinya dia datang, atau mungkin bisa jadi pramuhotel. Aku membuka pintu, lalu mendapati sosok laki-laki mengenakan kemeja putih berdiri di hadapan pintu. Dugaanku benar. Dia datang. Aku segera membuka pintu lebar, lalu mundur dua langkah. Salam terucap dari bibirnya.

"Wa alaikum salam." Aku memberi jalan untuknya masuk setelah membalas salam.

Dia pun melangkah masuk, lalu aku mengikutinya. Suasana terasa canggung karena hanya ada kita berdua di dalam sini. Pertama kali kita hanya berdua di dalam satu ruangan.   Seketika aku menghentikan langkah sebelum menubruk punggungnya, lalu melangkah mundur. Dia membalikkan tubuh.

"Tadi aku pesan makan malam, nanti terima saja, khawatir aku belum selesai mandi." Dia membuka obrolan.

"Iya," balasku singkat sambil mengangguk lemah.

"Aku mandi dulu," pamitnya.

Aku kembali mengangguk. Dia berlalu menuju kamar mandi. Embusan napas lega keluar dari mulutku. Setidaknya untuk saat ini aku bisa bernapas lega karena tidak berhadapan dengannya. Suara bel kembali menggema di ruangan ini. Aku bergegas menghampiri pintu karena itu pasti yang dimaksud dia. Benar. Makanan yang dia pesan datang. Aku kembali masuk setelah menerima makanan itu, lalu meletakannya di atas meja. Aku mengedarkan pandangan saat mengingat sesuatu. Tidak ada koper atau tas miliknya di kamar ini, hanya ada koper milikku, dan itu pun Kanaya yang membawakannya untukku. Suara bel kembali menggema di ruangan ini. Aku kembali menghampiri pintu untuk memastikan. Sosok laki-laki paruh baya berdiri di depan pintu saat aku membuka benda persegi panjang itu. Wajahnya tak asing dalam ingatanku. Salam pun terucap dari bibirnya.

"Wa alaikum salam," balasku sambil mengangguk ragu.

"Ibu menyuruh saya untuk mengantarkan tas ini buat Mas Umar." Dia mengulurkan tas ransel padaku.

"Oh, iya." Aku menerima tas ransel itu.

"Kalau begitu saya langsung pamit."

Hanya anggukan kepala yang kulakukan, lalu masuk ke dalam setelah beliau berlalu pergi. Ternyata dia baru ingat jika tidak membawa pakaian. Di saat yang sama dia keluar dari kamar mandi. Aku langsung menunduk karena melihatnya hanya mengenakan kaus dalam dan handuk untuk menutupi sebagian tubuhnya.

"Tadi ada yang nganterin ini buat kamu." Aku mengulurkan ransel miliknya.

"Makasih." Dia menerima ransel itu, lalu membukanya.

"Makanannya juga sudah datang," imbuhku.

Tatapannya terlempar ke arahku, lalu beralih pada makanan di atas meja. "Tunggu sebentar, ya, aku mau sholat dulu, nanti kita makan bareng setelah aku sholat."

"Iya."

Dia meletakkan ransel di atas tempat tidur, lalu segera mengenakan sarung. Sedangkan aku hanya duduk di kursi sambil menantinya selesai salat. Rasanya sangat canggung hanya berdua saja. Lebih baik aku menyibukan diri dengan menyiapkan makan malam yang dia pesan agar  selesai salat, kita langsung makan. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya dia selesai salat.

"Ke sini," perintahnya.

Ke situ? Mau ngapain?

"Kenapa?" tanyaku memastikan.

"Ada yang mau aku sampaikan."

Aku beranjak dari kursi, lalu menghampirinya yang masih duduk di atas sajadah. Dia menginstruksi agar aku duduk di hadapannya. Dengan berat hati, aku terpaksa menuruti perintahnya, duduk perlahan di atas sajadah yang ada dihadapannya. Aku hanya bisa menunduk, malu untuk menatapnya.

"Aku mau berdoa untuk rumah tangga kita, semoga rumah tangga kita diridhoi Allah," ungkapnya.

Setelah mendapat anggukan dariku, dia mengangkat tangan, mengarahkan pada kepalaku. Entah kenapa aku merasa takut. Takut jika dia akan berbuat macam-macam. Dia mulai melantunkan doa. Suaranya terdengar merdu dan fasih. Aku lupa jika dia seorang ustaz.

Kepalaku terangkat saat tak lagi mendengar suaranya, memastikan jika sudah selesia. Dia terlihat memejamkan mata dan tangannya masih di atas kepalaku. Tanpa kusadari bibir ini mengembang. Di saat yang sama dia membuka mata, lalu ikut tersenyum. Kepalanya bergerak mendekat, membuat kepalaku bergerak mundur, tetapi sesuatu menahan kepalaku. Jantung terasa berdetak tak menentu saat wajah kami hampir tanpa jarah. Aku hanya bisa memejamkan mata, lalu terasa keningku dicium. Napas lega kuembuskan. Ternyata dia hanya mencium keningku.

Setelah merasa aman, aku membuka mata. Dia kembali tersenyum, lalu mengajakku untuk makan malam bersama. Karena menunggu dia salat dan ditambah doa, makanan yang tadinya masih hangat jadi dingin. Entah ini kebetulan ata memang dia tahu salah satu makanan kesukaanku. Dia pesan masakan padang dan satu paket pizza.

"Kamu tau kalau aku suka pizza?" tanyaku membuka obrolan.

"Kamu lupa kalau sudah nulis pizza di CV taaruf mengenai makanan favorite?" tanyanya balik sambil menikmati makan malam.

Mampus. Aku bahkan lupa makanan favorite dia. Gimana ini? Aku cuma sekilas dong baca CV dia.

"Makasih, Istriku."

Kalimat itu membuatku mengangkat kepala, lalu mengangguk lemah.

"Tanya saja kalau mau ada yang mau ditanyain. Sekarang kita sudah suami istri, jadi kalau ada apa-apa tinggal bilang saja."

"Nanti saja. Lagian kita lagi makan."

"Nggak apa-apa. Emang pertanyaannya serius?"

"Nggak juga."

"Ya sudah kalau maunya nanti saja selesai makan."

Kami fokus pada makanan masing-masing. Aku memilih ikut makan nasi padang karena sudah benar-benar lapar. Kurang mantap jika hanya makan pizza. Dia terlihat sangat menikmati makanannya. Lahap.

"Kamu mau aku panggil apa?" tanyaku pada akhirnya untuk menghilangkan canggung. Lagipula pertanyaan ini penting untuk ke depanya supaya aku tidak bingung.

"Sayang," jawabnya.

"Ih, nggak mau." Aku menolak.

"Kenapa?"

"Ya nggak mau aja."

"Terus istriku maunya manggil apa?"

"Ya terserah asal jangan itu."

"Ya udah, Hubby saja."

"Apa itu."

"Katanya terserah, asal jangan sayang."

Ih, ternyata dia ngeselin juga.

"Kamu mau aku panggil apa?" tanyanya balik.

"Apa aja asal jangan sayang."

"Kan itu panggilan sayang. Kenapa nggak mau?"

"Pokoknya aku nggak mau dipanggil itu."

Kekehan terdengar dari arahnya. Aku menyesal karena membahas masalah ini. Satu sifat jelek darinya mulai terlihat, suka membuat orang kesal.

"Terima kasih karena sudah mau menerima Abang," ungkapnya.

"Jadinya dipanggil Hubby atau Abang?" Aku memastikan.

"Senyamannya Anis saja yang mau manggil. Abang suka dua-duanya."

"Abang saja."

Dia mengangguk tanda setuju. Kami kembali fokus pada makan malam. Makanan di piringku masih banyak, sedangkan dia sudah habis tanpa sisa. Entah dia lapar atau memang cepat saat makan, atau karena aku yang kurang fokus. Setelah makan malam selesai, kami bersiap untuk menunaikan salat Isya. Dia sudah lebih dulu masuk ke kamar mandi untuk wudhu, sedangkan aku menyiapkan sajadah dan mukena. Biar dia salat lebih dulu, aku akan salat setelah dia selesai. Jujur, rasanya sangat canggung. Aku dibuat terkesima saat dia keluar dari kamar mandi dalam keadaan wajah dan rambut basah akan air wudhu.

Ya Allah, kenapa dia harus setampan ini?

Aku bergegas menuju kamar mandi saat dia melangkah untuk mendekat. Jika seperti ini terus aku khawatir dengan kondisi jantung. Setiap di dekatnya atau menatap wajahnya jantungku berdetak lebih cepat. Dahiku berkerut saat melihatnya masih duduk di tepi ranjang. Apa dia sudah selesai salat?

"Sudah selesai?" tanyaku memastikan.

"Nunggu istri biar shalat berjamaah." Dia beranjak dari ranjang.

"Sendiri-sendiri saja."

"Lebih baik berjamaah, biar pahalanya lebih banyak." Ultimatum mulai keluar.

Lebih baik aku menurutinya agar urusan tidak panjang. Kali pertama salat berjamaah hanya dua orang dan imamnya suami. Pasangan bucin pasti akan bahagia dengan momen ini, tapi tidak untukku. Aku segera mengenakan mukena karena dia sudah menghamparkan sajadah dihadapanku, sedangkan dia menggunakan kain lain sebagai sajadah. Semoga aku tetap fokus. Dia pun memulai salat berjamaah setelah memastikan aku siap.

Baru kali ini aku mendengar suara imam salat yang bacaannya merdu. Awal rakaat pertama aku merasa tak tenang, tapi di rakaat kedua aku justru tenggelam dalam ketenangan. Setelah selesai, aku justru termenung, entah apa yang renungkan.

"Kenapa? Apa ada bacaan Abang yang salah? Atau rakaat shalatnya kurang?"

Pertanyaan itu membuatku terkesiap, lalu menegakkan kepala. Aku segera meraih uluran tangannya, lalu mencium punggung tangannya.

"Capek, ya. Nggak apa-apa kalau tidur duluan, Abang masih ada amalan yang harus dikerjakan." Dia mengusap kepalaku.

"Beneran?"

Dia mengangguk sambil tersenyum. Aku bergegas melepas mukena, melipatnya dan sajadah, lalu merebahkan tubuh di atas tempat tidur setelah meletakkan dua benda itu. Tak lupa menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuh, lalu memejamkan mata. Dia masih di bawah sana, melanjutkan apa yang dia sebutkan sebelumnya. Suasana hening, udara dingin, ranjang empuk, tapi aku masih saja belum bisa tertidur. Biasanya, aku bisa tidur dalamkeadaan apa pun jika sudah capek, tapi kenapa sekarang justru susah padahal di posisi nyaman.

"Belum tidur?" tanyanya. Mungkin melihat aku bolak-balik ubah posisi.

Aku membuka mata, lalu menatap ke arahnya. Di terlihat mendekat sisi ranjang, lalu merebahkan tubuh di sebelahku. Hanya bantal guling yang menghalangi kami.

"Nggak tau kenapa nggak bisa tidur padahal udah ngantuk," balasku lesu.

"Gimana kalau dengerin Abang murojaah?"

"Murojaah?"

"Baca Al-Qur'an tanpa melihat mushaf."

Ini nggak salah? Tapi bisa saja karena dia ustadz. Kenapa aku nggak yakin?

Dia mulai melantunkan ayat suci setelah mendapat anggukan kepala dariku. Suaranya merdunya kembali kudengar. Benar-benar khas. Walaupun aku tak tahu artinya, tapi suaranya membuatku kagum dan merasa tenang. Tak salah jika dia menjadi ustaz. Beberapa kali aku menguap karena kantuk kembali menguasai. Pada akhirnya aku memejamkan mata karena terbuai akan suara merdu yang dilantukan oleh suami.

☆☆☆

Bersambung ...

Ngarepnya kalian apa, hayoo? Wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro