2. Rumit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepi kembali menyapaku saat keluar dari kamar. Tentu semua penghuni rumah sudah sibuk dengan tugas masing-masing. Kak Isna sudah berangkat kerja, lalu Kanaya sudah berangkat ke sekolah, sedangkan Mama sepertinya ke tukang sayur. Tinggal aku sendiri di dalam rumah, menikmati masa libur karena akan pindah tempat kerja. Niat untuk menyampaikan kabar itu terpaksa ditunda karena kemarin keadaan hati semua orang di rumah ini sedang tidak baik.

Sepertinya dugaanku salah. Suara perkakas dapur menyapaku saat memasuki ruang tengah. Mama ada di rumah. Aku mengayun langkah menuju ruang makan untuk memastikan. Benar. Mama ada di sana sedang berkutat dengan alat dapur. Langkah kembali terayun mendekati meja makan, menatap setiap sajian di atasnya. Parsel buah itu sudah tidak ada. Ke mana?

"Kamu sudah bangun?"

Pertanyaan Mama membuatku mengalihkan pandangan. "Udah dari tadi, tapi males keluar," balasku santai sambil duduk di salah satu kursi. "Parsel buahnya ke mana?" lanjutku dengan pertanyaan.

"Sudah Mama buka dan masukin ke kulkas. Kalau mau makan tinggal ambil saja. Sayang kalau busuk," terang Mama.

"Lagian Mama ini kenapa main jodoh-jodohin Kak Isna sama orang lain padahal Mama tau kalau dia lagi pacaran sama Kak Bekti." Topik serius aku buka.

"Bukan Mama yang minta, tapi Om Arif yang nawarin. Kamu pasti tau kalau Om Arif ngajar di pondok. Nah, pondoknya itu milik orang tua Nak Umar. Dulu, Papa kamu yang ngajuin Om Arif masuk ke sana dan langsung diterima karena pemiliknya teman dekat papa kamu. Mama merasa kalau Bekti nggak serius dengan kakakmu karena sampai sekarang dia belum datang ke aini buat melamar Isna, makanya Mama setuju sama perjodohan itu. Lagian Umar juga nggak kalah dari Bekti. Dia dosen, lulusan Kairo, anak orang terpandang, sholeh, Papa dan Mama kenal baik orang tuanya."

"Terus kenapa kalau Kak Isna nolak? Dia juga punya hak buat terima atau nggak, Ma. Kenapa jadi masalah? Mama nggak bisa maksa gitu aja, dong." Aku masih penasaran.

Akhirnya Mama menjelaskan kronologis yang terjadi dari awal. Jadi, awalnya Kak Isna mengiyakan karena hanya taaruf. Tapi satu hari sebelum Umar datang ke sini, dia justru membatalkan taaruf itu dengan alasan ingin fokus pada Kak Bekti. Dan yang bikin Mama kecewa adalah penolakan Kak Isna tanpa basa-basi di depan Umar saat dia datang ke sini. Menurutku, Mama tidak salah jika marah pada Kakak, tapi aku pun tidak berhak langsung menuduk Kak Isna karena hanya mendengar penjelasan sepihak. Bukan berarti aku tidak percaya dengan cerita Mama, tapi aku juga butuh penjelasan dari Kak Isna.

"Maunya Mama, Kak Isna harus gimana?" Aku meminta pendapat.

"Minta maaf dengan Nak Umar. Minta maaf saja kayaknya nggak cukup karena Mama sudah malu banget sama orang tua Nak Umar. Bukan hanya Mama, tapi Om kamu juga. Mungkin papa kamu juga akan malu kalau masih ada." Mama terdengar sedih.

"Emang dia sudah cerita sama orang tuanya?"

"Dia berpendidikan dan ilmu agamanya tinggi, pasti sudah minta izin sebelum mengajukan taaruf."

Jika Kak Isna terbukti salah, sudah tentu dia harus minta maaf. Tapi apa dia mau minta maaf dengan Umar? Kak Isna pasti gengsi. Ah, masalah mereka membuatku pusing.

"Kamu cuti lama?"

Pikiranku buyar, menoleh ke arah Mama. "Anis mau pindah ke tempat cabang di Bekasi. Sengaja minta dipindah ke cabang biar bisa pulang ke rumah setiap hari. Sekalian mau bilang ke Mama kalau Anis mau lanjutin kuliah lagi," terangku.

"Apa nggak sayang duitnya, Nis? Mending duitnya ditabung saja daripada buat kuliah. Kamu juga sudah kerja, pasti nanti capek karena harus bagi waktu."

Sudah aku duga jika Mama tidak akan setuju. Mungkin Kak Isna juga akan sama dan ditambah lagi agar uangnya untuk membantu Kanaya sekolah. Aku harus mengalah lagi? Sudah cukup aku mengajah selama tiga tahun ini. Uang yang aku kumpulkan adalah jerih payahku sendiri agar bisa kembali kuliah.

"Anis sengaja kerja dan nabung buat lanjutin kuliah. Mama nggak usah khawatir, Anis nggak akan minta bantuan biaya dari Mama atau Kak Isna. Semua sudah Anis persiapkan." Aku kukuh.

Mama tak memberi jawaban, membuat aku menoleh ke arah beliau. Raut Mama terlihat sedang memikirkan sesuatu. Apa beliau tersinggung dengan ucapanku? Tapi apa yang aku katakan tidak salah. Entahlah. Mungkin saja Mama sedang memikirkan masalah perjodohan itu. Aku fokus untuk menyantap sarapan.

"Nis," panggil Mama kemudian.

Hanya gumaman yang aku berikan. Hening kembali terasa karena Mama belum melanjutkan, membuat aktivitasku terjeda, menoleh ke arah beliau. Pandangan kami bertemu. Tatapan Mama terlihat susah untuk ditebak.

"Kalau Isna nggak mau sama Nak Umar, kamu mau nggak?"

Mataku melotot seketika. Makanan yang aku telan terasa seperti duri. Ekspresiku berubah. Marah.

"Anis juga nggak mau dijodoh-jodohin, apalagi sama orang yang nggak Anis kenal. Mama mau Anis jadi korban lagi karena ke-egoisan kalian? Anis sudah ngalah nggak kuliah biar beban Mama ringan, sekarang Mama mau korbanin Anis juga buat dijodohin sama laki-laki itu? Anis anak Mama atau bukan, sih?" tanyaku dengan nada marah.

"Kok kamu ngomongnya gitu? Mama cuma nawarin kamu."

Aku beranjak dari kursi. "Sama saja. Anis nggak mau jadi kambing hitam lagi." Meninggalkan ruang makan setelah menolak keras.

Untuk kali ini aku bertekad untuk tidak kalah. Apa pun caranya aku tetap menolak. Cukup waktu itu aku mengalah demi Mama. Jika sekarang aku mengalah lagi, maka ke depannya aku akan terus mengalah. Cukup. Aku bukan kambing hitam.

***

Sejak putus dari cinta pertama saat di bangku SMA, aku memilih untuk menjadi jomlo, dan sampai sekarang belum ada keinginan untuk kembali pacaran. Putus pun karena kelulusan dan tak memakan waktu banyak, hanya lima bulan. Lagi pula hubungan kami tak ada yang tahu, termasuk teman sekolah. Iya. Kami pacaran secara diam-diam. Di sekolah pun seperti biasa saat bertemu, seperti teman sekolah pada biasanya. Apalagi Papa sudah memberi nasihat agar anak-anaknya tidak menjalin asmara saat masih sekolah. Maka dari itu aku meminta untuk pacaran diam-diam. Jalan berdua pun hampir tidak pernah. Kami komunikasi hanya melalui SMS. Sekarang, aku justru ingin fokus kerja dan memikirkan bagaimana bisa kembali kuliah.

Sebenarnya aku malas makan bersama, apalagi masalah perjodohan itu belum selesai. Semua orang sudah ada di ruang makan, hanya aku yang belum ada di sana. Aku duduk di kursi kosong diapit Kanaya dan Kak Isna. Suasana masih tanpa obrolan. Bola api itu belum padam.

"Mas Bekti mau ke sini nanti malam." Kak Isna bersuara.

Hening. Aku melirik ke arah Mama. Beliau masih melanjutkan aktivitas makan. Seperti tak terkesan dengan ucapan Kak Isna.

"Dia mau bicara sama Mama mengenai keseriusan dia buat ngelamar Isna," lanjut Kak Isna.

"Kakak sudah minta maaf sama yang ditolak?" tanyaku membuka suara.

"Kakak nggak wajib minta maaf sama dia, karena kemarin sudah jelas kalau aku menolak taaruf itu. Apa alasan aku buat minta maaf?"

Sesuai dugaanku. Kak Isna gengsi untuk minta maaf. Aku mengenal sifatnya sejak kecil.

"Naya berangkat ya, Ma." Kanaya beranjak dari kursi.

Memang lebih baik Kanaya tidak mendengar masalah ini. Dia pasti pusing dan bingung melihat masalah yang terjadi di rumah ini. Setelah kepergian Kanaya, suasana ruangan ini masih tegang. Jujur saja, sebenarnya aku masih penasaran cara Kak Isna menolak laki-laki itu. Atau Mama yang terbawa perasaan karena laki-laki yang diharapkan berjodoh dengan Kak Isna justru ditolak?

"Isna berangkat." Kak Isna beranjak dari kursi, lalu menghampiri Mama, mencium punggung tangan beliau.

Setelah kepergian Kak Isna, kini hanya tinggal aku dan Mama. Suasana kembali hening dan cukup tenang. Walaupun tawaran Mama masih terngiang, tapi aku merasa khawatir dengan keadaan Mama mengenai ucapan Kak Isna yang menolak untuk minta maaf. Aku memberanikan diri untuk menatap Mama. Seperti yang aku duga, Mama terlihat tidak baik-baik saja. Saat ini beliau sedang melamun dan tatapannya seperti sedih.

Seberapa hebat laki-laki bernama Umar itu sampai Mama ingin menjodohkannya dengan Kak Isna? Kenapa Mama berambisi seperti itu? Apa karena laki-laki itu anak orang kayak? Atau karena rasa tak enak Mama pada keluarganya? Kenapa Mama tidak memikirkan perasaan anak-anaknya yang ingin memilih jodoh sendiri?

☆☆☆

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro