3. Terungkap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum baca, aku cuma mau minta kalian buat tap bintang dan follow saja, anggap sebagai dukungan biar aku semangat nulis. Terima kasih. ♡

Hanya karena belum lama bekerja di kantor pusat, aku tidak mendapat izin untuk pindah ke kantor cabang. Satu tahun bagi mereka belum lama? Lalu harus berapa tahun baru boleh pindah? Penolakan itu membuatku kesal dan pusing. Rencana yang sudah tersusun rapi jadi berantakan. Rasanya malas untuk kembali bekerja di sana. Hari ini seharusnya aku sudah masuk kerja, tapi karena penolakan itu membuat aku malas masuk dan berasalan. Apa aku harus mengundurkan diri? Tapi bagaimana dengan niatku untuk kembali kuliah? Kacau.

Motor di halaman rumah membuat langkahku terhenti, memastikan jika aku tak salah lihat. Aku melangkah menuju teras setelah yakin jika motor itu benar milik Om Arif. Pasti mengenai laki-laki itu. Aku yakin. Salam tak lupa terucap saat aku masuk ke dalam rumah. Sesuai dugaanku, Om Arif memang ke sini, dia membalas salamku. Di sana sudah ada Ibu dan Kak Isna. Aku segera menghampiri beliau, lalu mencium punggung tangannya.

"Baru pulang, Nis?" sapa beliau dengan pertanyaan.

Aku melepas tangan beliau. "Iya, Om." Memaksa senyum ramah. "Anis langsung masuk, ya," lanjutku.

Masalah ini tidak ada hubungannya denganku, jadi aku tak perlu tahu atau mendengarkan, tapi aku pun penasaran. Semoga masalah ini cepat selesai dan keadaan rumah ini kembali tenang. Semalam, Kak Bekti sudah ke rumah ini dan menyatakan keseriusan hubungannya dengan Kak Isna. Tapi, dia minta waktu untuk melamar Kak Isna, minimal lima bulan. Untuk ke arah pernikahan dia minta waktu satu tahun. Setidaknya kedatangan Kak Bekti melunturkan rencana Mama mengenai perjodohan itu.

Setelah masuk ke dalam kamar, aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Aku kembali memikirkan pekerjaan dan kuliah. Satu tahun bertahan di sana meski terpaksa demi bisa mengumpulkan uang untuk kuliah. Bosan rasanya di sana. Sudah beberapa bulan lalu ingin keluar, tapi masih berusaha bertahan. Pengajuan pindah ke cabang pun ditolak. Semakin membuatku ingin keluar. Jika aku keluar sekarang, bagaimana dengan niat untuk kembali kuliah?

Suara ketukan pintu membubarkan semua yang ada di dalam pikiran. Aku melirik ke arah pintu saat benda itu terbuka. Ternyata Kak Isna. "Jangan curhat, deh, aku lagi pusing." Aku memeluk guling, lalu memejamkan mata.

Kak Isna terdengar duduk di kursi belajarku. "Kata Mama, kamu mau kuliah lagi?" tanyanya.

Hanya gumaman yang aku berikan.

"Emang tabungan kamu udah cukup? Udah mastiin ke depannya gimana? Capek loh, Nis, kerja sambil kuliah, apalagi pekerjaan kamu berat."

Nggak Mama nggak dia, bukannya semangatin atau bantu malah bikin aku down. Mending aku diem aja. Percuma juga kalai dibales, bakal panjang.

"Kenapa nggak terima saja tawaran Mama buat taaruf sama Umar gantiin Kakak? Dia dosen, orang tuanya punya, kamu bisa dijamin kuliah kalau nikah sama dia. Kamu juga nggak punya pacar, kan? Daripada pusing kerja sambil kuliah, mending-"

"Jadi kambing hitam lagi?" tanyaku memotong ucapannya.

"Maksud kamu apa?"

Aku beranjak duduk, menatap Kak Isna yang sama-sama menatapku. "Kakak lupa kalau dulu yang bikin aku putus kuliah karena apa? Aku ngalah putus kuliah supaya nggak jadi beban Mama, supaya Kakak wisuda, supaya Naya bisa masuk SMA. Sekarang aku mau ngalah lagi supaya Mama nggak malu di depan keluarganya Umar? Kalau ada yang harus tanggung jawab itu Kakak, bukan aku."

"Kok kamu ngomongnya gitu sih, Nis."

"Terus aku kudu ngomong gimana? Nurut lagi jadi kambing hitam?"

"Kakak cuma kasih saran saja buat kamu, itu juga kalau kamu mau. Kalau kamu nggak mau ya nggak masalah, lagian Kakak sudah minta maaf sama Umar. Kalau Kakak nggak janji sama Mas Bekti dan nggak dikenalin sama keluarganya waktu itu, mungkin Kakak sudah lanjut taaruf sama dia. Kamu nggak tau gimana rasa utang budinya Mama sama keluarga Umar yang sudah ikut bantu Papa waktu dirawat. Tadi Om Arif juga bilang sebelum Papa meninggal, Papa itu berharap kalau salah satu dari kita bisa jadi menantunya Pak Aji. Kakak nggak bisa karena sudah janji sama Mas Bekti, Kanaya juga nggak bisa karena masih kelas dua SMA. Yang bisa saat ini itu kamu. Tapi Kakak sama Mama nggak maksa, kok, itu kalau kamu mau, kalau nggak juga nggak masalah. Yang penting kamu sudah tau."

Penjelasan Kak Isna membuat lidahku kelu dan pikiran seakan buntu. Pusing. Kak Isna pun berlalu dari kamar ini karena tak mendapat jawaban dariku. Satu masalah belum selesai, lalu masalah lain muncul. Kenapa aku harus selalu dalam posisi ini? Kenapa masalah dalam kehidupanku tak pernah selesai?

***

Keputusan untuk berhenti kerja sudah mantap dan sudah menyerahkan surat pengunduran diri. Sekarang, aku resmi jadi pengangguran. Orang rumah belum tahu jika aku sudah tidak bekerja. Mereka hanya tahu jika aku sedang cuti dan menunggu pindah ke kantor cabang. Entah sampai kapan aku menutupi masalah ini. Mungkin sampai aku mendapat pekerjaan baru. Perihal kuliah, aku akan tetap berusaha agar bisa kembali duduk di bangku universitas. Itu impianku.

"Dia dosen, orang tuanya punya, kamu bisa dijamin kuliah kalau nikah sama dia."

Kata-kata Kak Isna seketika muncul. Tidak. Aku berusaha menepis kata-kata itu. Jangan sampai aku kembali menjadi korban. Cukup saat itu saja. Tapi kata-kata Kak Isna mengandung kebenaran. Apalagi Papa pun menginginkan. Ada keuntungan jika aku menikah dengannya.

Ya Allah, gini amat sih pingin kuliah sampai mau dinikahi dengan laki-laki yang nggak aku kenal? Gimana kalau Umar jelek? Gemuk? Item? Pikirin lagi, Nis. Masih banyaj jalan menuju roma.

"Kak Anis kenapa? Habis lihat setan?"

Pertanyaan Kanaya membuat langkahku terhenti, menatap ke arahnya. Dia berdiri tak jauh dariku saat ini. Aku bahkan baru sadar jika sudah di dalam rumah.

"Nggak. Kata siapa?" tolakku segera.

"Kok geleng-geleng sambil pasang wajah takut?"

"Udah, ah. Kakak capek, mau istirahat." Aku beranjak dari posisi, berlalu melewatinya untuk menuju kamar.

"Nis, kamu sudah pulang?"

Pertanyaan Mama membuat langkahku terhenti, menoleh ke arah beliau yang sedang ada di dapur. "Iya, Ma." Aku membalas santai.

"Mau Mama buatkan teh?" Beliau menawarkan.

Aku menimbang tawaran Mama antara menerima atau menolak. "Boleh, Ma," kataku setelah beberapa detik memilih, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam kamar.

Setelah menyampirkan tas di kursi lain, aku duduk di salah satu kursi. Aku meraih toples berisi rempeyek yang ada di atas meja, lalu membukanya, meraih beberapa untuk dimakan. Mama datang sambil membawa secangkir teh hangat, lalu menyajikannya di hadapanku. Cocok. Beliau duduk di kursi kosong sebelahku.

"Emang Umar jelek, ya, Ma, sampai Kak Isna nolak dia?" Aku membuka obrolan dengan pertanyaan sambil menikmati sajian ringan.

"Kata siapa? Dia ganteng, putih, tinggi. Bekti aja kalah. Kakak kamu saja yang nggak mau, malah pilih nunggu sampai satu tahun buat dinikahi Bekti." Mama tak mau kalah.

"Emang kalau Kak Isna terima Umar bakal langsung dinikahi?"

"Kata Om kamu, Nak Umar maunya langsung serius, sesuai saran dari Pak Aji. Mereka sudah yakin dengan keluarga kita, tapi Isna malah justru bikin semuanya berantakan. Mama jadi nggak enak sama orang tuanya."

"Emang sebaik itu ya, Ma, kebaikan keluarga Umar sama keluarga ini?"

Hening. Aku mengangkat kepala, memastikan raut Mama. Kesedihan tersirat jelas pada raut Mama walau kentara. Kalau saja Kak Isna tidak mengatakan perihal biaya rumah sakit Papa dibantu keluarga Umar, mungkin aku tidak akan pernah tahu. Mama pun sepertinya enggan untuk bicara padaku. Entah karena malu atau sengaja menutupi untuk menjaga kebaikan bersama.

"Dia pasti baik. Buktinya mau memaafkan Kak Isna walaupun sudah dikecewakan," tebakku dengan sengaja.

Senyum paksa terlihat mengembang di bibir Mama. Aku berharap jika beliau akan terbuka, tapi ternyata tidak. Beliau menutupi masalahnya dariku, lalu mengalihkan topik obrolan ke arah lain, bahkan tak lagi memberi tawaran untuk menggantikan Kak Isna taaruf dengan Umar. Apa masalah ini sudah berakhir?

☆☆☆

Bersambung ...

Jadi fiks, ya, yang jadi visualnya Umar - Andi dan yang jadi visualnya Anis - Cut Syifa. Sesuai pilihan kalian. Tapi emang cocokan Andi sih yang jadi Umar. Visual ustadz-nya dapet banget.

Terima kaaih buat kalian yang sudah dukung cerita ini.
Jazaakumullahu khayr.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro