6. Bertemu Dengannya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo masih aja betah jadi jomblo, Nis." Rena meledek.

"Mana ada waktu Anis buat pacaran. Dia lagi ngejar target buat kuliah, Ren." Gita angkat suara.

"Nah, itu Gita tau. Waktu adalah uang, Ren." Aku tak mau kalah.

"Waktu adalah uang, tapi sekarang nganggur."

"Lo bukannya bantu gue cariin kerjaan malah ngeledek," dengusku.

Pertemuan yang awalnya untuk mencari info lowongan kerja justru berakhir dengan gosip dan ledekan. Rena dan Gita adalah teman SMA-ku. Rena sudah wisuda dua bulan lalu dan sekarang sedang magang di kantor perusahaan, sedangkan Gita masih kuliah sambil kerja. Lalu aku? Kuliah tak jadi, mengundurkan diri dari kerjaan, taaruf gagal. Nasib.

"Gue cariin deh, Nis. Lo mau yang kayak gimana?" Rena menawarkan.

"Apa?" tanyaku memastikan.

"Jodoh."

"Makasih deh, Ren, gue bisa cari sendiri. Kalau kerjaan mah aku mau."

"Noh, Gita yang sudah jadi karyawan tetap. Gue lagi magang, Nis, jadi belum bisa masukin orang."

"Di kantor gue ada lowongan, tapi OB. Nggak mungkin gue tawarin ke Anis," sambar Gita.

Secara garis tengah mereka tidak bisa membantu. Kak Isna pun sama, tidak bisa membantuku mencari pekerjaan. Ternyata tak semudah itu mencari pekerjaan baru.

"Nis, lo ingat Panji nggak? Kakak kelas kita yang lo taksir?"

Pertanyaan Rena mengalihkan pikiranku. Terutama nama yang dia sebut. Aku bukan hanya menaksir Panji, tapi pernah pacaran dengannya. Kenapa Rena jadi sebut dia?

"Dia kan sekelas sama kakak gue. Kata kakak gue, dia sekarang di Thailand dan sukses. Kemarin dia ngadain reuni dan kakak gue datang. Nggak main-main dia ngadain reuni, mewah. Tapi nggak ada yang tau dia bisnis apa di sana. Setau gue, Thailand terkenal dengan bisnis judi, prostitusi dan narkoba. Lo mikir ke arah sana nggak?"

"Iya, ya. Bisa jadi salah satunya itu." Gita angkat suara.

Semenjak putus sama dia, aku memang hilang kontak dengannya, karena nomor telepon dia sudah aku hapus. Perkara dia sukses dari mana sudah tidak ada urusannya denganku. Saat ini yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana bisa mendapat pekerjaan.

"Terus kalian mau ngapain kalau dia bisnis salah satu dari tiga itu? Bukannya tiga bisnis itu memang pusatnya di sana? Apa kalian mau join sama dia?" tanyaku meledek.

"Ih, nggak. Sorry. Masih banyak kerjaan halal di Jakarta."

Aku hanya tersenyum melihat ekspresi dua temanku yang memasang wajah masam. Setidaknya pertemuan dengan teman-teman mengalihkan kerumitan dalam pikiranku. Terutama candaan mereka. Aku mendadak rindu saat di bangku SMA.

***

Muhamamd Umar Abdillah. Kenapa wajahnya tak bisa hilang dari ingatanku? Semakin aku berusaha untuk melupakan justru semakin lekat bayang wajahnya dalam pikiran. Apa karena rasa kecewaku? Tapi dia pun merasakan hal yang sama, walaupun bukan aku yang membuatnya kecewa. Atau ini karma untuk keluargaku karena sudah membuat dia dan keluarganya kecewa? Kenapa harus aku yang menanggungnya? Tidak. Mungkin aku terlalu berharap padanya.

Pandanganku masih tertuju pada awan di atas sana. Terlihat biru walaupun tak lama lagi akan berubah malam. Berbeda dengan keadaan hatiku yang diselimuti rasa tak menentu. Baru kali ini memikirkan laki-laki sampai berlarut-larut.

"Mama cari-cari ternyata di sini. Sudah mau Magrib, ayo masuk." Suara Mama mengalihkan perhatianku.

Aku beranjak duduk, menatap ke arah Mama. Beliau sudah kembali masuk. Sejenak, aku menghela napas, lalu beranjak dari gazebo untuk masuk ke dalam rumah. Suara obrolan terdengar dari arah ruang keluarga. Rupanya semua orang berkumpul di sana. Aku memilih masuk ke dalam kamar untuk mandi. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, aku menyempatkan untuk membuka ponsel, memastikan benda itu. Terlihat beberapa telepon tak terjawab dari Om Arif sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku langsung menghubungi balik. Tersambung. Kalimat salam menyapaku.

"Wa alaikum salam. Kenapa, Om?" tanyaku memastikan.

"Besok pagi bisa ke sini nggak? Ada yang mau Om omongin sama kamu. CV Umar masih kamu simpan, kan?" tanya Om Arif.

"Masih Anis simpan. Emang nggak bisa diomongin lewat telepon?"

"Om mau ngomong langsung sama kamu. Penting."

"Ya udah, besok Anis ke sana sekalian mau balikin CV."

"Iya. Om tunggu."

Sambungan telepon berakhir setelah aku menjawab salam beliau. Masalah penting? Masalah apa? Ah, mungkin masalah keluarga. Kenapa aku jadi berharap mengenai Umar. Lebih baik aku segera mandi.

Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku keluar kamar untuk menyampaikan jika akan ke rumah Om Arif besok pagi. Barangkali Mama ingin ikut agar bisa bersiap dari sekarang. Pas sekali momentnya. Semua orang masih ada di ruang tengah. Aku menghampiri sofa tunggal, lalu bergabung dengan mereka.

"Masih belum dapat panggilan kerja, Nis?" tanya Kak Isna membuka obrolan bersamaku.

"Belum," balasku singkat. "Ma, besok Anis mau ke rumah Om Arif. Mama mau ikut nggak?" lanjutku bertanya pada Mama.

"Besok Mama mau ke sekolahku buat ambil raport, Kak." Kanaya menyambar.

"Memang mau ngapain ke sana? Bukannya kemarin kamu sudah ke sana?" tanya Mama tak mau kalah.

"Sudah dua Minggu kali, Ma. Om Arif yang nyuruh Anis datang ke sana. Nggak tau mau ngomongin apa."

"Mungkin mau kasih Anis kerjaan," timpal Kak Isna.

"Bisa jadi." Aku sependapat.

Eh, tapi aku belum bilang sama Om Arif kalau udah nggak kerja. Apa Mama yang bilang? Bisa jadi, sih.

Keadaan rumah ini sudah membaik. Mama sudah mulai komunikasi dengan Kak Isna. Masalah itu pun telah selesai. Tapi entah kenapa dalam hatiku seperti ada bekas. Mungkin aku butuh waktu untuk belajar agar terbiasa seperti Mama dan Kak Isna. Anggap saja Umar bukan jodohku.

***

Waktu menunjukkan pukul 10.20 dan aku sudah tiba di rumah Om Arif. Setelah melepas sepatu, aku langsung masuk karena Tante Fia sudah lebih dulu masuk setelah membukakan pintu untukku. Beliau masuk terlebih dulu karena meninggalkan masakan di atas kompor, sedangkan Om Arif belum pulang dari minimarket.

"Anis bantuin apa nih, Te?" Aku menawarkan bantuan saat tiba di ruang makan, meletakkan tas di salah satu kursi, lalu menggulung lengan kemeja.

"Udah, nggak usah  Nis. Ini udah mau selesai. Kamu duduk saja di sana, biar nggak kotor," tolaknya tanpa menatapku, sibuk mengaduk masakan.

Aku menuruti perintah beliau, duduk di salah satu kursi. Rumah ini terlihat rapi, berbeda dengan hari sebelumnya saat aku ke sini. Apa hanya perasaan aku saja?

"Kamu mau minum apa?" tanya Tante Fia menawarkan.

"Apa saja, Te."

"Mama kamu tau kalau kamu mau ke sini?"

"Tau. Tadinya mau ikut, tapi hari ini harus ke sekolahnya Kanaya buat ambil raport."

Tante Fia berjalan menghampiriku, meletakkan gelas berisi es sirup. Suara bel menggema sampai ruangan ini, membuat tatapanku terlempar ke arah ruang utama.

"Bisa minta tolong lihat siapa yang datang nggak, Nis? Ada sayur yang belum mateng," pinta Tante Fia.

"Iya." Aku beranjak dari kursi, mengayun langkah untuk memastikan seseorang di luar pagar.

Saat pintu utama terbuka, pandanganku langsung tertuju pada tujuan. Sosok laki-laki mengenakan sweter abu-abu terlihat berdiri di depan pintu gerbang. Aku segera menghampiri pintu gerbang untuk memastikan karena posisinya balik badan. Dia sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon.

"Kamu siapa?" tanyaku memastikan.

Dia membalikkan tubuh. Tatapan kami bertemu. Seketika aku terpaku. Dia membuang wajah, membuatku ikut melakukan hal yang sama. Malu. Aku bergegas membuka pintu gerbang agar dia masuk ke dalam. Lebih tepatnya dia bersama kendaraan yang dinaikinya.

Dia ke sini? Mau ngapain? Kenapa barengan saat aku ke sini juga?

"Biar saya saja yang tutup."

Gerakanku terhenti saat akan menutup pintu gerbang. "Nggak apa-apa, biar aku saja yang tutup," tolakku halus.

Kenapa aku jadi malu kayak gini? Duh, kenapa dia harus datang sekarang, sih? Kenapa nggak nanti saja kalau memang ada urusan penting sama Om Arif.

***

Bersambung ...

Siapa hayo yang datang? Tujuannya mau apa?

Jangan lupa tap bintang dan follow biar uptudate.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro