7. Maksud Kedatangannya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Siapa, Nis?"

Pertanyaan itu terdengar dari dalam saat aku akan memasuki rumah. Aku membalikkan tubuh, mengangguk pada laki-laki yang tak jauh dari posisiku sebagai tanpa pamit untuk masuk ke dalam. Tante Fia terlihat berjalan menghampiriku.

"Tamunya Om Arif." Aku menyampaikan.

Suara pagar terbuka mengalihkan obrolan kami. Sepertinya Om Arif pulang. Aku masuk ke dalam, sedangkan Tante Fia melanjutkan langkah untuk memastikan tamu yang datang. Suara mobil terdengar memasuki garasi. Aku kembali duduk di kursi sebelumnya, meraih gelas berisi sirup, lalu meneguknya. Hati masih diselimuti pertanyaan mengenai kedatangan laki-laki itu. Aku bersyukur karena Mama tak bisa ikut. Bagaimana jadinya jika beliau ikut lalu melihat laki-laki itu di sini?

"Nis, bantuin Ate siapin piring buat makan, ya. Ate mau bikin minuman buat Ustadz Umar." Tante Fia memberi instruksi saat tiba di ruangan ini.

Ah, nama itu akhirnya disebut. Benar. Dia yang datang ke sini. Muhammad Umar Abdillah. Laki-laki yang sudah menolak taaruf denganku. Akhirnya kami bertatap muka. Tak ingin terus memikirkannya, aku fokus membantu Tante Fia menyiapkan peralatan makan. Entah kenapa di dalam hati seperti ada yang mengganjal. Antara penasaran akan maksud kedatangannya sekaligus rasa kecewa telah ditolak. Jika saja kita tak bertemu, mungkin rasa kecewa itu tak kembali timbul.

Aku mengembuskan napas saat Tante Fia berlalu dari dapur sambil membawa nampan berisi jamuan untuk tamu. Berharap Tante Fia menugaskan aku untuk mengantarkan nampan itu, tapi harapan itu pupus karena beliau sendiri yang melakukannya. Kenapa aku menjadi seperti ini?

"Nis, dipanggil om kamu." Tante Fia menyampaikan saat kembali ke ruangan ini.

"Masih ada ...." Aku menggantukan kalimat. Malas menyebut namanya.

"Iya. Ke sana saja."

Maksud Om Arif apa manggil aku saat ada dia? Apa mengenai CV milik dia agar dibalikin langsung sama orangnya? Kenapa nggak Om Arif saja? Aku males ketemu dia.

"Loh, malah ngelamun."

Map segera kuraih dari dalam tas, berlalu dari ruang makan untuk menuju ruang tamu. Berulang kali mengembuskan napas untuk menenangkan hati yang seketika dilanda gugup. Sejenak, aku menghentikan langkah sebelum tiba di ruang tujuan karena di dalam hati masih terasa belum siap. Setelah cukup tenang dan merapikan pakaian, aku masuk ke dalam ruang tamu dengan raut terpaksa tenang.

"Duduk sini, Nis." Om Arif menginstruksiku agar duduk di sampingnya.

Langkahku terayun mendekati beliau, duduk sesuai instruksi, lalu mengulurkan map pada Om Arif. "Ini yang Om minta," kataku.

Om Arif menerima map dariku, lalu meletakkannya di atas meja. Aku hanya bisa menunduk, tak berani menatap laki-laki yang masih duduk di sofa tunggal. Sweter yang dia kenakan sudah dilepas, menyisakan kaus putih yang menghiasi tubuhnya. Dia terlihat sederhana di luar pikiranku.

"Kamu sudah baca semua CV Ustadz Umar?" tanya Om Arif membuka obrolan bersamaku.

"Sudah, Om." Aku mengangguk lemah.

Eh, tunggu. Kenapa Om Arif nanya kayak gitu?

"Ustadz Umar gimana?" Pertanyaan itu beralih pada dia.

"Insyaallah sudah, Ustadz," balasnya ramah.

"Nis, kedatangan Ustadz Umar ke sini adalah untuk berhubungan serius dengan kamu. Beliau nggak ingin taaruf, tapi langsung khitbah kamu kalau kamu mau."

Seketika aku tak bisa berkata. Lidah terasa kelu, hati pun ikut terasa seperti berhenti. Masih tak percaya dengan ucapan yang baru saja terdengar. Aku mengangkat kepala, memastikan ucapan Om Arif. Dia terlihat tenang dan menunduk.

"Insyaallah, saya sudah siap untuk khitbah Ukhti Anis." Dia angkat suara, mengangkat kepala.

Pandangan kami kembali bertemu. Dia langsung memalingkan wajah, menghindari tatapanku. Aku masih menatapnya, mencari kebenaran dari kata-kata yang dilontarkannya.

"Kenapa jadi mendadak seperti ini? Bukannya kemarin kamu nolak aku? Gimana dengan taaruf?" Aku memberanikan diri bertanya. Aku memiliki hak.

"Saya sudah mendengar penjelasan dari Ustadz Arif mengenai Ukhti Anis, lalu saya sudah musyawarah dengan orangtua dan mereka menyarankan agar tidak menunda niat baik. Insyaallah, saya percaya jika Ukhti Anis wanita yang baik," jelasnya.

"Bagaimana dengan aku? Aku tau kamu cuma di CV. Ketemu juga baru sekali ini. Sekarang malah mendadak mau apa tadi namanya? Belum lagi Mama nggak tau masalah ini."

"Khitbah, Ukhti. Melamar."

"Tenang, Nis. Kamu kok malah jadi takut begini?" Om Arif menyela.

"Gimana sih, Om? Kenapa jadi kayak gini?" tanyaku bingung.

Senyum lebar menghiasi wajah beliau. Tatapanku beralih pada laki-laki itu. Dia ikut tersenyum tanpa menatapku. Kenapa mereka jadi tersenyum di atas kebingunganku? Mengesalkan.

"Bi, makanannya sudah siap." Tante Fia menyambar, menjeda obrolan serius kami.

"Iya. Kita lanjutin obrolannya sambil makan biar santai." Om Arif beranjak dari tempat duduk.

Aku masih bergeming, mengabaikan keadaan sekitar. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Masih tidak mengerti.

"Nis."

Panggilan itu membuat pikiranku buyar, segera beranjak dari sofa. Aku mengikuti dua laki-laki itu. Bagaimana mungkin setelah ditolak, lalu sekarang justru berniat melamarku? Bagaimana mungkin aku bisa menerima sedangkan tak tahu banyak tentangnya selain yang tertera di CV? Bagaimana aku menjelaskan semua ini pada Mama?

Aku terkesiap saat menabrak sesuatu karena sibuk memikirkan obrolan tadi. Seketika aku melangkah mundur saat sadar telah melakukan kesalahan. Malu. Malu telah menabrak punggung laki-laki yang berniat melamarku. Namanya masih terasa berat untuk kusebut.

"Silakan, Ustadz." Om Arif menyilakan sang tamu.

"Ayo, Nis." Tante Fia menginstruksiku.

Pandangan kuedarkan, mencari tas yang sebelumnya ada di salah satu kursi. Sepertinya sudah disingkirkan Tante Fia. Aku segera duduk di salah satu kursi kosong, memilih kursi di dekat Om Arif. Saat ini, semua orang sedang fokus dengan hidangan yang tersaji. Sesekali aku mencuri pandangan ke arah laki-laki di samping kiri Om Arif. Dia terlihat welcome dan tenang, sedangkan aku dilanda risau dan bingung.

Suasana masih tanpa obrolan karena semua orang sibuk dengan makanan di piring masing-masing. Berbeda dengan aku yang sibuk dengan pikiran sendiri. Masih menanti kelanjutan obrolan sebelumnya mengenai lamaran.

"Gimana, Nis? Apa yang mau kamu tanyain?" tanya Om Arif membuka obrolan.

Akhirnya yang aku tunggu dimulai.

"Kenapa nggak taaruf dulu? Aku belum kenal banyak mengenai Ustadz Umar, Om." Terasa berat menyebut namanya.

"Makanya Om kasih kamu waktu sekarang buat nanya. Anggap saja ini bagian dari taaruf sampai kasih jawaban kapan siap dikhitbah," sambar Om Arif.

"Kenapa harus buru-buru? Apa Om khawatir kalau Anis bakal bikin kecewa-"

"Kayaknya ukhti salah paham." Dia memotong ucapanku. "Saya perjelas saja. Apa ukhti bersedia untuk saya nikahi?" lanjutnya dengan pertanyaan.

Kenapa sekarang jadi ke arah pernikahan? Duh, ini gimana?

"Om sudah bilang sama kamu, taaruf itu bukan untuk coba-coba, apalagi yang kamu minta itu bukan orang sembarangan," peringat Om Arif.

"Jangan seperti itu, Ustadz. Saya dan keluarga sama seperti keluarga Ustadz, orang biasa." Dia merendah.

Jujur, aku masih bingun dan nggak tau mau kasih jawaban apa.

"Tujuan Ustadz Umar serius, bukan hanya sekedar taaruf. Dia sudah tau banyak mengenai keluarga kita, terutama papa kamu. Kalau kamu ragu, mending nggak usah kalau cuma coba-coba," lanjut Om Arif.

"Mungkin Ukhti Anis butuh waktu buat berpikir dan musyawarah, Ustadz. Saya juga nggak bisa memaksa. Sekarang semuanya saya kembalikan lagi pada Ukhti Anis. Kalaupun dia merasa berat, saya nggak masalah. Hati orang beda-beda, Ustadz."

"Mbak Elvi juga belum tau mengenai ini, jadi bukan berarti Ustadz Umar mau langsung khitbah kamu, Nis. Ustadz Umar pasti kasih kamu waktu, kok. Mungkin kamu saja yang terlalu berlebihan menanggapi dan ngira kalau dia bakal cepat-cepat khitbah kamu." Tante Fia menyambar.

"Mumtaz." Dia menanggapi.

"Sekarang kasih kepastian dulu sama Ustadz Umar. Kamu mau nggak nikah sama dia?" tanya Om Arif padaku.

Aku hanya mengangguk lemah.

"Yakin?"

"Iya, Om," kataku yakin.

"Alhamdulillah. Berarti tinggal nunggu kamu musyawarah dengan mamamu mengenai jawabannya. Semoga cepat kasih jawaban."

"Berapa lama aku dikasih waktu buat kasih jawaban?" tanyaku memastikan.

"Semoga nggak sampai dua minggu. Setelah kasih jawaban, saya dan orangtua akan segera datang ke rumah ukhti buat khitbah." Dia menanggapi pertanyaanku.

"Apa? Nggak sampai dua minggu? Apa nggak terlalu cepat?" Aku memastikan dengan nada serius.

"Ukhti maunya berapa lama?"

Aku juga nggak tau. Tapi kalau disuruh dua minggu lagi kayaknya terlalu cepat. Aku bingung.

"Ustadz Umar nggak main-main, Nis. Waktu yang beliau berikan sudah atas musyawarah." Om Arif kembali mengingatkan.

"Ya udah, aku bilang dulu ke Mama, soalnya beliau belum tau masalah ini."

"Nggak apa-apa. Saya bisa ngerti. Ukhti juga jangan lupa shalat Istikharah."

Aku mengangguk lemah. Jangankan salat Istikharah, salat lima waktu saja bolong-bolong. Baru kemarin mulai rajin salat karena peringatan dari Mama.

Keadaan yang tadinya tegang, sekarang sudah mencair. Kami kembali fokus dengan makanan masing-masing disertai obrolan ringan. Aku hanya menjadi pendengar karena sibuk dengan pikiran sendiri. Memikirkan bagaimana menjelaskan semua ini pada Mama.

***

Rumah ini kembali sepi setelah kepergian tamu istimewa. Setelah membantu Tante Fia membereskan ruang makan dan sisa makan siang tadi, aku memilih duduk di salah satu kursi yang ada di ruang makan. Pikiranku kembali tak tenang.

"Kamu nggak akan nyesel kok kalau nikah sama Ustadz Umar," kata Tante Fia. Tahu saja jika aku sedang memikirkan masalah itu.

"Nggak nyangka saja kalau dia bakal kasih kejutan kayak gini. Awalnya kan dia nolak."

Tante Fia duduk di kursi sebelahku. "Dia nggak nolak, tapi belum bisa karena kemarin memang sibuk. Buktinya sekarang dia justru kasih kejutan sama kamu."

"Ini mah bukan kejutan, tapi bom."

"Tapi kamu seneng, kan?"

"Apaan sih, Te."

"Mama kamu pasti seneng banget kalau tau kamu mau dikhitbah Ustadz Umar. Bukan cuma mama kamu, tapi Ate dan om kamu juga seneng."

Iya lah kalian seneng. Kalian juga yang dapat untung kalau aku nikah sama dia. Aku juga bakal dapat untung, tapi harus rela nikah muda dan nunda buat kuliah lagi.

"Anis pulang sekarang, ya. Nunggu Om kelamaan. Takutnya pulang sore. Nanti bilangin saja. Anis juga mau mampir beli pesanan Mama," pamitku.

"Ya sudah, hati-hati di jalan. Jangan lupa tadi jajannya dibawa."

Aku meraih jinjingan yang sudah disiapkan Tante Fia. Jinjingan berisi jajan pasar yang dibawa oleh dia. Hanya sebagian yang aku bawa karena tidak mungkin akan dibawa semua.

Tas sudah tersampir di pundak dan jinjingan sudah ada di tangan. Aku bergegas meninggalkan rumah itu setelah pamit pada Tante Fia. Butuh waktu sekitar dua jam untuk tiba di rumah jika menggunakan angkutan umum. Kali ini aku menggunakan taksi agar segera sampai rumah.

***

Ini momen yang kalian tunggu, kan?
Gimana kalau posisi ini ada di kamu? Ckckck ...

Jangan lupa tap bintang dan koment. Aku tunggu!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro