Hawa | BAB 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjadi santriwati dari sebuah pondok besar dengan peraturan yang begitu ketat membuatku terkadang dihantui perasaan muak. Lelah dengan kegiatan yang itu-itu saja dan begitu monoton rasanya.

Teriakan pengurus pondok pada dini hari sudah terlalu akrab dalam telingaku. Ya allahurabbii. Rasanya aku ingin membanting pintu yang diketuk secara keras itu.

Tok tok tok.

"Qumnaaaa! Sur'ah akhwati qumnaa"! ¹

"Berisik banget sih." Aku menyibak selimut yang menghangatkan tubuhku dari dinginnya udara daerah ini. Padahal sudah memasuki dua tahun aku tinggal dan mondok di pondok ini tapi rasanya tubuhku belum bisa beradaptasi secara sempurna. Bagus. Si manja mode on.

"Ngapain kamu masih planga-plongo ngga jelas gitu, cepat ambil wudhu! Telat satu menit, gerbang ditutup dan siap-siap untuk catat poin pelanggaran. Fyuhhh Itu mulu yang jadi alasan. Ngga kece ah, ukhti. Dua tahun selalu diancam seperti itu. Bosen. Kurang inovatif nih.

" Aiwah ukhti. Aiwah." ²

Ada ya, orang sejudes itu. Udah judes, ngomongnya ngga pernah ngalus barang sedikit. Bikin yang dengar jadi sakit hati. "Woy, bangun. Macan betina udah ngamuk tuh. " Lagian anak ini, masa suara gaduh dari pintu yang diketuk dan teriakan-teriakan nyaring itu tidak sama sekali dapat menganggu tidurnya.

Tidur apa mati, sih.

Astagfirullah.

Dari jaman pertama menjadi santriwati di pondok ini, Asha adalah manusia yang palingggggggg susah untuk dibangunkan salat subuh. Bahkan sampai dimana seksi keibadahan tahun lalu, nangis bukan main ngadepin si kebluk satu itu. Ya, kami menyaksikan curhatan ukhti--- hmm, lupa aku namanya--- pokoknya itu nangis yang benar-benar nangis saat _mu'anidah ammah_ diadakan bagi para pelanggar aturan pesantren.

Savageeeee! Gilaaa

Antara mau ngakak sambil guling-guling tapi kasian juga liat dia udah nangis sampai matanya sembab ngga keruan. Dan, cuma Asha seorang yang bisa bikin pengurus belingsatan ngadepin sifat ngga tahu malunya. Cuma Asha Adira, yang bisa bertingkah se-kece itu diawal tahun kita menjadi santriwati.

"Aku ngantuk, bokkk. Ih, ngga pengertian amat." Nggak pengertian, katanya? Kutimpuk juga ya, kau Sha.

"Heh, yang katanya mau jadi calon istri kyai. Jangan mimpi mulu yang digedein, ikhtiar. Banyakin berdo'a. Mau jadi istri kyai tapi kelakuan masih aja gini. Aturan tuh, tahajud. Minta sama Allah, semoga ada ustadz atau kyai yang mau lirik."

Bikin gondok pagi-pagi begini.

Katanya, disepertiga malam Allah akan melihat para hamba-Nya yang bangun dan memohon segala do'a. Bukankah memang keistimewaan tahajud seperti itu? Karena disepertiga malam adalah waktu paling mustajab seluruh do'a untuk dikabulkan. Maka dari itu, pengurus selalu mewajibkan kami untuk bangun sepagi ini agar bisa melaksana salat sunnah satu itu.

"Ngga mau, bangun? Oke. Aku duluan dan jangan lupa catat point di kertas yang sudah disediakan." Bodo amat. Resiko ditanggung sendiri. Bukan tak mau setia kawan, orang kawannya saja sepertinya tidak minat untuk diberi kesetiaan. Dibangunkan sudah, kalo ngga bangun dan berakhir dapat hukuman, ya sudah tinggal diterima dengan lapang dada saja.

Selesai wudhu dengan antre-an yang na'udzubillah panjang bangettt itu aku kembali ke kamar ku--- lebih sering kami sebut kobong sih--- aku mengambil peralatan salat dan mengganti baju yang dikhususkan untuk pergi ke masjid.

Tapi betapa nyenyaknya wahai si kebluk Asha Adira yang masih nyaman memeluk guling dengan mulut setengah terbuka. Iwhh, ngga cantik banget emang tidurnya. Daripada terus-terusan melihat acara tidur si kebluk aku lebih memilih bergegas pergi ke masjid agar jangan sampai macan betina itu ngamuk lagi di gerbang. Lagian kenapa ya, hobi banget liatin santriwati di gerbang dengan tasbih yang ada digenggaman nya dan sajadah yang disampirkan dipundak. Menatapa satu persatu diantara kami dengan tatapan pongah dan judes. Ngga ngenakin deh kalo diliat. Serius.

"Permisi, ukhti. "

"Waalaikumsalam! " Dengan mata mendelik ia menjawab sapaanku dengan salam. Tuh kan, saking takutnya liatin wajah sangar dia jadi lupa dari salam malah nyapa.

"Eh, iya. Maaf ukhti, assalamualaikum."

Dia mengangguk singkat lalu kembali menatap santriwati yang sibuk berlalu lalang dari kobong ke kamar mandi pun sebaliknya. Beri aku kesabaran lebih agar tidak memangsa macan betina itu pagi-pagi begini, yaallah.

Stok istighfar ku memang perlu ditambah, agar jangan sampai mengeluarkan kata umpatan yang pasti akan masuk dalam pelanggaran bahasa. Oke, hidupku ribet-ribet ngga ngenakin.

Sekalipun peraturan pondok ini ribet dengan segala 'ini-itu yang sering membuatku jengah tapi aku sudah jatuh cinta dengan segala hal yang ada dipondok ini. Terutama pesona alam yang ngga bakalan bisa ditolak saat pertama kali jumpa. Kalau ngga percaya boleh datang ke pondokku ini. Udara segar pagi hari sudah menjadi candu ku selama mengemban amanah menjadi santri. Masyaallah, maka nikmat mana lagi yang engkau dustakan.

Persoalan jauh dari orangtua memang berat tapi berjalannya waktu, semua dijalani dengan legowo, lapang dada dan penuh keikhlasan.

Allahuakbar allahuakbar, asyhadu allaailaahaillah

Suara iqomat yang dilantunkan seseorang pertanda bahwa sholat akan segera dimulai. Aku mulai membenahi mukena yang kupakai dan menyimpan al-qur'an yang sedari tadi ku baca.

***

"Masa, nih ya. Tadi si macan betina ngamuk-ngamuk sampai aku disiram air, lho gan." Aku mendelik saat nama belakang ku yang disebut. Kenapa hobby banget panggil aku dengan sebutan 'gan, sih? Itu ngga etis dalam pendengaranku.

"Namaku Mahika Gangika. Bukan 'gan, ya Sha! Kalo mau manggil yang lengkap, GAN-GI-KA! "

"Santai, napa Mahika Gangika. Namamu memang fleksibel tahu. "

Fleksibel darimananya? Aku bahkan baru tahu jika nama ada yang fleksibel seperti kata Asha barusan.

"Tapi namaku udah sekeren itu, kamu buat jadi ngga kece lagi, Sha. " ya, aku memang selalu suka dengan namaku. Karena orang-orang jarang memiliki nama seperti ku. Keren, kan? Haha. Iyalah, jelas. Mahika Gangika gitu, lho. "Dan sekali lagi kamu panggil namaku tidak lengkap, ku bantai nanti malam. "

Manusia seperti Asha Adhira memang kapan menakuti suatu ancaman. Yassalam, aku salah menggunakan taktik bermain. Terakhir kali aku mengancamnya malah aku yang menjadi bulan-bulanan si kebluk satu itu.

"Sorry, ngga deh. Ngga lagi-lagi, serammmm, Sha. Suwerrr dah. " Aku meringis ngeri menatap senyum culas yang terbit di bibirnya. Dan setelahnya ia malah terbahak ngga karuan. Dih, sinting kali ya. "Kamu, lucu loh Mahika." masih dengan sisa tawa yang belum mereda.

Aku itu, ngeri dengan kesadisan mu membully ku, Aha. Pasti yang menjadi incaran adalah lemari. Dan demi apapun aku benci ada orang yang berani mengobrak-abrik lemari ku. Benci setengah mati. Karena itu lah mengapa aku sampai trauma sebegini nya karena si kebluk itu. Ngga mau lagi.

"Diam kamu. Aku mau pergi beli sarapan. Ngga boleh nitip. Ti-ti-k! "

"Yasudah, orang aku udah beli. Ini. " Asha menunjukkan satu bungkus nasi kuning andalan santriwati. Selain murah meriah, rasanya juga mantullllll gengs. Tapi, kapan manusia kebluk itu membeli sarapan?

"Kapan kamu keluar asrama? "

"Setelah acara siram-menyiram itu, mau tak mau aku mandi Mahika. Aku lanjut sholat dan akhirnya beli sarapan deh. Takut keburu keabisan." Licik ya, memang. Dasar kutu kupret. Bukannya membelikanku satu porsi lagi, malah asyik memamerkan kecerdikannya.

Daripada vertigo ngadepin si kebluk mending aku yang enyah dari hadapannya. Pusingggg ngga kuat liat tingkah nya yang semakin hari semakin aneh-aneh saja. Dia memang keren dalam urusan mengelabui pengurus. Sudah ahli, jago banget. Aku saja yang setiap hari bersamanya belum bisa senekat itu, melanggar waktu yang seharusnya digunakan untuk ke masjid malah berbelok arah menjadi jajan di warung.


######

¹ Bangun, cepat semuanya bangun.
² Iya, ukhti. Iya

S

alam, yang sedang berevolusi🖤

dnrhma21

To be continued...
Sabtu, 1 febuari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro