Hawa | BAB 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Memang ya, namanya manusia sombong selalu satu paket komplit dengan segala image menyebalkannya. Ya ampun, aku hilang kesabaran melihat tingkah anak songong penuh kebelaguan itu. Dia baru saja resmi menjadi santriwati dipondok ini tapi tingkah nya sudah menyerupai penguasa semesta.

Tidak mau mengantre mandi lah, tidak mau makan yang disediakan pesantren dan masih banyak ini-itu yang membuatku ingin menendangnya sampai nusa kambangan. Baru nemu anak sebelagu itu.

"Sha, kamu lihat kan gimana tingkah nya tadi saat menyuruhku mandi belakangan. Ya Allah, itu emosiku sudah sampai ubun-ubun." Bagaimana tidak mau mendumel orang objek yang ku bicarakan saja sudah seperti dewi durja ditengah calon penghuni surga.

"Biasa lah, Gan. Dia kan anak kota, wajar aja kalau mau bertingkah kayak gitu. "

"Wajar bagaimana? Mau anak presiden sekalipun kalau udah masuk lingkungan pondok embel-embel itu ngga berpengaruh sama sekali."

Di sini kita tidak mengenal kasta. Semua sama rata tapi anak itu sudah menyalahi aturan yang semestinya. Slogan down to earth yang menjadi kebanggaan kami seketika musnah melihat beberapa tingkahnya yang amit-amit ngga ketulungan bikin emosi jiwa.

Kasak-kusuk di sekitar kantin membuatku tertarik untuk melihat si anak baru dengan beberapa kawan barunya juga. Berkawan itu memang tidak perlu memilih dengan siapa dan bagaimana sifatnya tapi lebih baik kita juga bisa bijak dalam memilah agar tidak memberikan dampak buruk bagi diri sendiri.

Trend toxic friendship itu tidak pernah mengenal tempat dan umur, maka bukankah lebih baik jika kita sendiri yang membentengi diri dengan memberi batasan yang seharusnya? Itu kenapa aku sangat membatasi circle pertemanan ku untuk lebih jauh. Mereka semua memang teman tapi tidak semua bisa diajak untuk menyelami dunia ku sejauh yang mereka mau. Sekedar bertegur sapa dan membalas ramah itu sudah cukup menurutku.

Bukan berarti aku pernah trauma dengan yang namanya toxic friendship, aku hanya sekedar ingin mencegah daripada harus bersusah payah mengobati. Lebih baik bukan?

"Sha, kamu lihat dong betapa angkuh nya si anak baru untuk berkenalan dengan santri lain." Aku masih menatap heran kearahnya yang tampak ogah-ogahan diajak berkenalan oleh santriwati yang lain. Beuhhhh, bukan main angkuhnya. Pengin ku jitak.

"Udah, Gan. Udah, ngapain sih kita urusin mereka. Mending kita makan abid tuh balik ke kelas biar cepat bisa curi-curi pandang juga sama nauval. "

"Hah? Astagfirullah. Dosa, Sha. Mau kena pelanggaran keamanan untuk kasus 'ngeceng santri putera." Kebiasaan buruk Asha yang lain adalah hobi sekali memperhatikan santri putera yang menurutnya keren dalam versinya. Padahal semua santri putera sama saja, ngga ada yang sekeren putera kyai pemilik pondok. "Halah. Kamu juga pasti lagi mikirin gus putera kyai itu kan? Ngaku! "

"Ngga dih, ngga boleh mikirin laki-laki yang bukan mahram kita. Zinah pikiran itu. "

"Munafik, ya ternyata kamu, Gan. Telah dikatakan oleh seorang Mahika Gangika bahwa Gus Fawaz adalah calon imamnya. "Gustiii, tahu saja diam. " Ya, ya. Aku ngaku kalo tingkat kekaguman ku pada Gus Fawaz semakin hari semakin tinggi."

Asha menepuk dada nya bangga. Memandang penuh ejekan kearahku.

"Ayok, katanya mau balik ke kelas."

"Udah bisa mengendalikan situasi ya, gangika ini." Serba salah kalo hidup sama si kebluk ini. Ngga pernah bisa lempeng aja gitu kalo membahas sesuatu. Pasti harus muter sana-sini penuh intimidasi. "Kan emang katanya mau balik ke kelas. Lagian jam istirahat lima menit lagi masuk."

Aku sedikit merapihkan seragamku dan hijab yang ku pakai. Ngeladenin Asha memang tidak pernah ada batasnya. Aku memilih melenggang pergi kearah jalan yang dikhususkan untuk dilewati santriwati menuju sekolah.

"Eh busettt, Mahika Gangika. Tungguin napa."

Kalo butuh nggak akan ke mana, biarin aja. Biarin. Biar tahu rasa sekalian.

***

Dalam seluruh fan ilmu yang diajarkan di pesantren ini tidak ada yang bisa aku kuasai dengan sempurna. Nilai ujian pondokku pun tidak pernah ada yang lulus dari kriteria yang sudah ditentukan. Miris. Apalagi saat bagian ujian lisan, waduh. Itu bencana bagiku.

Tahun lalu aku resmi dinyatakan remedial seluruh pelajaran pesantren dan parahnya nilai pada kategori nahwu shorof paling membuatku senewen bukan kepalang. Jangan tanyakan berapa nilai asha, jika nilai ku tidak lebih baik darinya maka bukan mahika gangika namanya. Itu karena setiap ujian pesantren Asha akan memutar otak agar bisa dapat duduk di belakangku.

Kalian tahu, lah maksudnya untuk apa selain meminta jawaban dari seluruh soal yang kami kerjakan. SELURUH, heyyyy!

"Duh, Gan. Kok aku ngeri ya buat ujian lisan malam besok. Jadwalku dengan ustadz Abu Bakar. Kamu tahu kan, bagaimana pembawaan beliau di hadapan santri." Malangnya nasibmu, Sha. Alhamdulillah untuk tahun ini ujian dibagi sesuai kelas mengaji masing-masing maka dari itu aku terpisah dengan asha karena kelas kami yang berbeda.

Tapi apa yang ditakutkan Asha sama dengan ketakutanku. Ustadz Abu Bakar, beliau adalah sosok ustadz paling disegani dari seluruh jajaran para ustadz. Pembawaannya yang selalu tegas cenderung keras membuat kami selalu takut untuk sekedar berpapasan dengan beliau.

"Aku juga ada kelas ujian lisan dengan beliau, Sha. Jangan bikin aku tambah keder dong."

"Kamu tahu kan sepak terjangku selama mengikuti ujian pondok, semua tidak ada yang sempurna." Aku mengangguk karena kekhawatiran kami sama. Sama-sama takut menjadi santapan lezat soal ujian remedial.

Jika soal ujian biasa bisa membuat kami setakut ini, apalagi soal remedial yang bahkan pertanyaannya saja lebih sering melenceng dari yang selama ini diajarkan. Dijawab ngarang malah didamprat ustadz. Ijtihad katanya. Padahal maksud kami daripada sama sekali tidak menjawab, ya akhirnya dengan segala keberanian terkadang satu-satunya jalan hanya berijtihad dengan pemikiran awam yang kami miliki. Duh, elah. Jangan ditiru yang gengs, itu nggak baik, lho.

Oke, kayaknya untuk ujian tahun ini aku menargetkan nilai 7. Pas KKM juga nggak papa asal jangan jadi buronan remedial.

"Jadwal kelasmu malam besok dengan dengan siapa, gan?" Sejenak aku berpikir. Kok lupa ya. Kebiasaan ngga pernah mau liat jadwal ustadz yang akan menguji, ya kalo ditanya jado begini. "Lupa, hehe."

"Hilih, lipi. Hihihi."

Entah memang karena terlalu takut karena setiap ustadz penguji itu berbeda-beda atau dasarnya memang aku yang terlalu malas.

"Suwerr dah, sha. Lupa, aku cuma liat jadwalnya doang."

"Hapal banget kelakuanmu, Gan. Hapal!" sok tahu nih anak. "Yaudah deh, yang penting kan persiapan otaknya bukan mental ngadepin siapa ustadz yang akan menguji."

"Bukan mainnnnnnn. Mahika Gangika dengan segala spekulasi nya, uyeyeye!"

Ngeledek banget si kebluk ini. Awas aja kalo nilai ujian ku lebih baik daripada dia. Awas! Aku kuras dompetnya untuk mentraktir ku di pasar malam.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada guru-guru dan jajaran ustadz yang pernah mengajar saya sewaktu di pondok. Saya haturkan mohon maaf dan terimakasih banyak atas segala ilmu yang pernah didapat sewaktu saya masih menjadi salah satu santriwati di pondok tersebut,


######

To be continued
Selasa, 04 febuari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro