BAB 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

          

“Mesra apanya? Lagian dia bukan mantan gue,” bantah Hazel cepat.

“Lo emang suka gitu ya? Ketawa jaim, bergenit-genit sama cowok yang lo ajak ngobrol?” Marvin berucap sinis.

Hazel menatap Marvin dengan kilatan marah. “Apa? Bergenit-genit? Bisa-bisanya lo bilang gue bergenit-genit sama Kak Erga!”

“Fasih ya lo nyebut nama cowok lain di depan gue? Kak Erga, Kak Erga…haah…manner talks.”

Hazel tertawa miris. “Kenapa juga lo marah-marah gue nyebut nama Kak Erga?”

“Gue nggak marah. Gue cuma nggak suka.” 

Hazel menggeleng-geleng. “Lo jealous?”

“Ha?”

Hazel mengulangi ucapannya lebih jelas. “Lo jealous? Cemburu?”

“Noooo waay. I’m not.” Marvin membantah.

“YES YOU ARE!” Hazel benar-benar berteriak.   

Marvin menekan rem dan memukul setir dengan ke dua tangannya. Dia benci jika harus mengakui kecemburuannya. Tidak dia bahkan tidak mencintai Hazel, jadi bagaimana mungkin dia bisa cemburu?

“I said no. Gue cuma mau memastikan lo nggak tebar pesona di depan gue.” Marvin merasa tidak adil dengan Hazel yang begitu bahagia tertawa dengan Erga sementara dia harus menahan diri untuk tidak menyeret salah satu cewek di pesta itu dan mengatur janji untuk date. Keadaan mereka harus adil. Lagipula seharusnya Hazel menghargainya dengan tidak mengabaikannya di pesta dan malah memilih bergabung dengan teman-temannya.

“I don’t wanna push for your jealousy again. Now i’m done.” Hazel langsung merapatkan mulutnya dengan kekesalan yang masih bercokol di kepalanya. Dia masih sadar untuk tidak memukulkan clutchnya ke kepala Marvin untuk balasan ketidak sopanannya kepada Erga.

Hazel menaruh rasa hormat kepada senior terbaiknya sewaktu kuliah dulu. Dia angkatan 2004 dan Erga angkatan 2002. Erga adalah senior yang paling dikagumi di angkatannya. Ganteng, ramah, jenius, asisten dosen, aktif pula di kegiatan kemahasiswaan jurusan, dan yang pasti bukan tipe player seperti cowok yang duduk kurang semeter dari tempatnya duduk. Hazel tidak melihat cela dalam kepribadian Erga. Dan kalaupun dulu Erga cukup berani untuk mendekatinya, dia sudah pasti akan lebih memilih Erga ketimbang Rendi. Apalagi Marvin.

Haah kepalanya langsung pening.

Hazel tidak ingin membandingkan Marvin dan Erga, tapi mau tidak mau dia harus membandingkan mereka. Oke, mungkin Marvin memang sedikit lebih menarik (hanya sedikiiiiit sekali) dari segi penampilan dan daya tarik maskulin yang jadi modal utamanya menjadi player. Tapi dari segi kesopanan, he’s nothing. Nool besar untuk Marvin. Berbeda dengan Erga yang ramah, sopan luar dalam. Dan Erga juga tidak suka tebar pesona. Sepanjang mengobrol, Erga tampak tenang dan tidak jelalatan dengan cewek-cewek cantik yang berseliweran di sekitar mereka. Kalau Marvin jangan ditanya. Dia pasti sudah sibuk mengagumi cewek-cewek cantik dan seksi yang tertangkap radar matanya yang super mata keranjang itu.

That’s it! Marvin yang suka tebar pesona, bukan dia!

                                                            ***

“Bye.” Hazel yang sepanjang sisa perjalanan tidak mengeluarkan satupun kata, menutup pintu dan bergegas berjalan memasuki halaman rumahnya.

Dengan bantuan penerangan di teras, Hazel melihat jam tangan. Kurang 20 menit jam 9. Matanya mulai diserang kantuk.

Hazel tidak mendengar deru mesin Lexus milik Marvin, dan sebaliknya dia mendengar bunyi bip setelah Marvin keluar dari mobilnya. Hei, bukannya dia seharusnya langsung pulang? Mau ngapain lagi sih?

“I need coffee.”

Hazel menahan diri untuk tidak mengentakkan high heelsnya ke teras rumahnya.

“Lo bisa minum kopi di rumah lo sendiri.” Hazel yang masih kesal tentu saja tidak akan sudi membiarkan Marvin berlama-lama di teras rumah, apalagi masuk ke dalam rumahnya. Dia bisa hipertensi hanya dalam hitungan detik.

“Tapi gue mau minumnya di sini. So gue mesti gimana?” Marvin melonggarkan dasi pinknya dan langsung duduk di salah satu kursi rotan di teras.

“Marvin, gue lagi nggak pengen ngeliat lo beredar di sekeliling gue. Just go home, now!”

Pintu depan terbuka dengan wajah mama Hazel yang langsung menunjukkan ekspresi tidak suka dengan pengusiran yang dilakukan Hazel. “Hazel? Kenapa nggak nyuruh Marvin masuk? Malah kamu suruh pulang segala lagi?”

“Tanya aja sendiri sama dia, Ma.” Hazel menggenggam erat clutchnya dan melepaskan ke dua sepatunya, dan menjinjingnya masuk.

Di belakangnya, mama terdengar mengajak Marvin masuk. Dan Marvin tentu saja menerima ajakan itu dengan sok ramah dan sopan.

Arrghh…

                                                            ***

Dengan wajah masam, Hazel langsung naik menuju kamarnya dan menutup pintu. Mama menyusul dengan cepat di belakangnya.

“Hazel. Nggak boleh gitu sama Marvin.”

“Tapi dia nyebelin banget, Maa! Dia udah nggak sopan sama temen Hazel.”

“Mama nggak mau dengar alasan kamu. Sekarang cepat kamu turun, temenin Marvin.”

“Tapi Maa…”

“Mama nggak terima komplain. Cepetan, nanti Marvin kelamaan nunggu.”

Hazel mengumpulkan semua stok kesabaran yang sudah menguap entah ke mana.

“Ayo, tunggu apalagi?”

“Iya, Ma. Hazel ganti baju dulu.” Tapi Hazel masih duduk dengan malas-malasan di tempat tidur.

“Hazel, dengar mama. Kalo kamu…”

Hazel mengelus dadanya. Sabaaaarrrrr…

                                                ***

Setelah mendapat ancaman bahwa kalau Hazel tidak segera turun mama akan mendiamkannya selama seminggu, Hazel mengalah. Kini dia berada di dapur menyiapkan kopi untuk calon suaminya yang ingin dikutuknya menjadi ganjelan pintu kalau saja dia punya kekuatan secanggih itu. Atau sekalian saja kopinya diberi racun tikus biar mampus sekalian.

Mama tidak berpesan sampai jam berapa Marvin boleh tetap tinggal untuk bertamu. Untuk Marvin tidak ada jam malam, dalih sang mama. Dan demi seluruh bakti dan sayangnya kepada sang mama, Hazel harus meladeni tamu tidak diundang itu dengan sebaik-baiknya. Sementara yang ingin dilakukannya saat itu adalah menendang Marvin seeejauuh-jauhnya dari rumahnya.

“Good. Gue kira nih kopi bakal lo racunin atau lo kasih garam banyak-banyak. Atau lo kasih garam Inggris.” Marvin menyesap kopi dan mengakui rasanya tidak begitu buruk.

Hazel mencibir. “Oh, lo mau? Semuanya ada kok di dapur.”

Marvin tertawa. “Gue tebak. Lo nunggu dengan nggak sabar kapan gue pamit pulang. Haah…jam 11 bisa kali ya?”

“Gue cuma nemenin lo sampai jam 9. Artinya, lo masih punya waktu lima menit untuk minum kopi. Dan nggak ada yang namanya nambah. Gue males balik ke dapur.”

“Wow, lo ramah sekali.” Marvin tertawa semakin panjang.

Hazel melemparkan bantal kursi yang tadi dipakainya untuk menutupi paha di bawah pants yang dipakainya. TV disetelnya dengan volume sedang, dan kini dia duduk di sofa depan TV, menghentikan jarinya di remote ketika melihat salah satu channel TV khusus film yang sedang memutar film The Devil Wears Prada. Oh, kebetulan. The devil is here. Lagi minum kopi.

“Good movie. Film yang paling banyak menggunakan brand terkenal sepanjang sejarah perfilman Hollywood. Correct me if I’m wrong.” Tau-tau Marvin ikut duduk di sofa yang tadinya dipikir Hazel akan dikuasainya sendiri.

“Udah jam 9. Pulang sana,” usir Hazel.

“Thanks. Tapi gue akan tinggal sampai jam 11.”

Hazel tidak punya argumen apa-apa lagi. Matanya terasa berat, jadi terserah Marvin. Mau nonton sendiri atau syukur kalau dia mau pulang. Hazel merebahkan kepalanya di sandaran sofa untuk mengistirahatkan tubuhnya yang capek karena himpitan pekerjaan selama beberapa bulan belakangan. Dia merasa cepat ngantuk ketika malam tiba.

“Terserah lo deh. Gue mau tidur. Bangunin gue kalo lo udah mau pulang.”

Marvin ikut menyandarkan punggungnya di sofa sementara Hazel tidur dengan posisi kepala disangga boneka Sponge Bob. Menonton film sambil menguap-nguap lebar. Dia ingin menunggu sampai jam 10. Duduk di sofa yang nyaman membuatnya malas harus kembali menyetir mobil.

Satu jam. Dan hanya suara TV yang mengisi keheningan di dalam ruang tengah rumah Hazel. Marvin menggunakan waktu sejam itu untuk mensurvey keadaan di sekitarnya. Untuk ukuran ruang tengah yang digunakan untuk tempat berkumpul, menerima tamu secara tidak resmi, sekaligus ruang nonton TV, ruangan tersebut cukup luas. Satu set kursi dan sofa berwarna krem, sebuah lemari berisi pajangan miniatur kristal dan keramik, sebuah meja panjang tempat meletakkan foto-foto keluarga Hazel dalam bingkai-bingkai kecil, dan tiga buah lukisan abstrak yang diletakkan di dinding. Untuk ukuran sebuah ruang tengah sebagai center dari sebuah rumah, ruangan itu lumayan juga.

“Woi, Zel. Gue mau pulang.” Marvin menepuk-nepuk lengan Hazel yang langsung dibalas Hazel dengan gumaman yang tidak kedengaran jelas.

Hazel tidur masih dengan posisi yang sama tapi dengan bagian kepala yang merosot di sandaran sofa. Ke dua tangannya menjulur melewati sofa sementara ke dua kakinya menekuk ke sebelah kiri tubuhnya.

Marvin menepuk-nepuk ke dua pipi Hazel, berharap Hazel akan bangun.

“Nghh…” Hazel mengigau.

“Wake up.”

Marvin membungkukkan sedikit badannya untuk mengembalikan posisi kepala Hazel hingga tersangga bantal, tapi baru beberapa detik, posisinya kembali lagi ke posisi yang sudah pasti bisa bikin pegal lehernya.

“Udah nanti Tante yang nutup pintu. Hazel memang gitu kalo udah ngantuk. Bisa molor di mana aja. Susah juga kalo dibangunin.”

Marvin memandangi wajah Hazel yang tengah tertidur dengan pulas. Kepala Hazel mungkin akan sakit dengan posisi tidur seperti itu. Dia terpikir untuk memindahkan Hazel ke dalam kamarnya.

“Tante, Hazelnya aku gendong ke kamarnya aja nggak pa-pa? kasihan dia tidur di sofa.”

Mama Hazel awalnya terlihat ragu, tapi dia kemudian menunjukkan jalan ke arah kamar Hazel. “Lewat sini, Marvin.”

                                                            ***

            Marvin memindahkan tubuh Hazel dari sofa ke dalam gendongannya dan Hazel yang memang tidak sadar sedang dalam gendongan Marvin malah tidak terbangun sama sekali. Kalau iya, sudah pasti dia akan menjerit histeris.

            Marvin menurunkan Hazel dengan hati-hati di atas tempat tidurnya yang berukuran Queen Size. Menarik satu bantal lagi untuk menyangga kepala Hazel agar lebih nyaman.

            “Ng…panas,” Hazel mengigau lagi.

            Marvin beralih dari tempat tidur untuk mengambil remote AC yang diletakkan di nakas kemudian menyetel suhu AC kamar Hazel ke suhu yang dirasanya cukup sejuk untuk tidur. Selimut dirapatkan sampai ke bawah dagu Hazel yang masih juga belum membuka ke dua matanya.

            “Night,” ucap Marvin setelah menyelipkan poni Hazel yang menutupi pipinya ke belakang telinganya. Dipastikannya sekali lagi keadaan suhu kamar dan posisi tidur Hazel sudah benar-benar nyaman. Dia lalu menyalakan lampu tidur di salah satu nakas dan merapikan selimut Hazel sekali lagi.

            “Ng…” Hazel menggaruk-garuk pipi kirinya dan kembali tidur dengan tenang.

            Marvin hanya bisa tersenyum sebelum menutup pintu kamar Hazel.

            Ketika berpapasan dengan Violet di depan kamar Hazel, calon adik iparnya itu meledeknya.

            “Cie..cie…Mas Marvin ternyata romantis juga ya? Aku juga mau digendong kayak tadi.”

            Marvin menatap Violet sekilas. “Kayaknya badan kamu lebih berat, nggak bisa digendong.”

            “iih..Mas Marvin kok gitu?” Violet langsung memonyongkan bibirnya. Tubuhnya memang cukup gemuk tapi kalau digendong rasa-rasanya masih bisa kok. Dia langsung merasa iri dengan tubuh kakaknya Hazel yang langsing itu.

            “Nanti kamu minta gendong sama Tante Helena aja ya?” Marvin mengacak-acak rambut Violet.

            “Yeee…yang ada malah Vio dibilangin kayak anak kecil.” Violet merapikan poninya yang diberantakkan Marvin.

            “Ya udah. Mas pulang dulu. Dan jangan bilang sama kakak kamu soal yang tadi. Oke?”

            “Kenapa?”

            Marvin menurunkan nada suaranya. “Ntar dia ngamuk kayak Baboon.”

            Violet langsung mengerti. “Oouh.”

                                                                        ***

                                               

 “Here’s your coffee.”

Suara Riana menyentakkan Marvin yang sedang duduk di ruang tamu apartemennya.

“Thanks, Baby.” Tapi Marvin enggan mengangkat cangkir kopinya.

Riana sudah hapal betul kopi kesukaannya. Kopi tubruk kental hitam pekat dengan satu sendok gula. Bukan jenis kopi yang bercampur krim, susu, mocca apalagi white coffee yang kini banyak beredar di pasaran, di iklan-iklan tv. Menurutnya kopi terbaik adalah kopi dengan rasa natural. Kalaupun ditambahkan gula, itu hanya sekedar memberi sedikit rasa manis tapi tetap tidak meninggalkan kekhasan aroma dan rasa kopinya.

Meminum kopi yang dibuatkan Hazel semalam jelas-jelas melanggar aturannya soal kopi. Kopi buatan Hazel seperti kopi yang ditambahkan krim dan mocca. Mungkin Hazel memang hanya menyuguhkan kopi instant ya, karena cewek itu terlalu marah padanya untuk repot-repot meracik kopi untuknya  tadi malam.

“Terlalu pekat, Sayang.” Itu komentar Marvin pertamakali.

“Apanya?”

“Kopi buatan kamu.” Marvin kembali mengetik di laptop.

“Excuse me? Itu kopi yang sama yang aku buatin hampir setiap hari buat kamu.”

“Mungkin akan lebih enak kalau ditambahkan krim dan cokelat.”

Riana yang berdiri di ambang pintu ruang tengah langsung dibuat kaget. “Are you okay, Marv? Kepala kamu nggak abis terbentur atau gimana kan? You hate cream and chocolate in your coffee. Remember?”

Marvin menggeleng. “Sesekali gue juga butuh variasi kopi. Not only in sex.”

“Wait a minute. Aku yakin masih ada krim sama cokelat di dapur.”

Marvin menolak. “Nggak usah, Ri. Ini juga udah cukup kok.”

Riana yang mengenakan kemeja putih Marvin dan hot pants duduk dengan cemas di sofa dekat kursi yang diduduki Marvin. Menatap Marvin yang serius di depan laptop.

Dia merasa ada sesuatu yang berubah dari Marvin selama seminggu belakangan ini. Marvin memang masih seperti biasa. Memperlakukannya seperti permaisuri. Memberikannya kehangatan dan kepuasan. Tapi ada yang berbeda dari cara Marvin menatapnya. Marvin yang selalu menatapnya dengan tatapan memuja dan mengagumi, kini berubah menjadi Marvin yang menatapnya dengan tatapan….entahlah. Mungkin malas dan bosan. Bahkan selesai bergumul semalam, Marvin langsung meninggalkannya dengan alasan Aaron mengajaknya ketemuan di Arsen. Ketika balik dinihari tadi, Marvin langsung tidur dan mengatakan kalau dia sedang capek.

“Baby.” Riana duduk di pegangan kursi dan menelusuri lengan atas Marvin yang masih mengenakan polo shirt. Biasanya sepagi itu Marvin belum berpakaian sama sekali.

“Gue lagi kerja, Riana.” Marvin tetap fokus menatap layar laptop.

“Sampai jam berapa?” Riana beralih mengelus jari-jari Marvin yang bergerak lincah di atas keyboard.

“Entahlah.”

Riana menghembuskan napas kecewa karena gagal mendapatkan perhatian Marvin, lalu beranjak menuju dapur. “Aku siapin sandwich buat kamu.”    

                                                            ***

Ponsel Marvin yang diletakkan di dalam kamar berdering. Riana berhenti, memasuki kamar dan mengambil ponsel yang masih berdering dengan volume kecil. Marvin biasanya menghidupkan nada getarnya saja.

Hazel is calling…

Riana langsung mematikan ponsel Marvin dan melemparkannya ke atas ranjang. Dia bahkan tidak peduli Marvin akan menanyainya setelah ini.

                                                            ***

Hazel menggelengkan kepala setelah panggilannya direject oleh Marvin. Dia sudah mengirimkan SMS kalau mereka tidak jadi pergi makan siang bersama. Hazel ingat kalau dia harus menemui klien di kafe jadi tidak mungkin Marvin akan ada di sana duduk satu meja dengan kliennya. Perwakilan The Royal Apartment mendadak minta bertemu hari Minggu itu jadi mau tidak mau, Hazel harus siap.

                                                            ***

“Mau ke mana, Marv?” tanya Riana yang melihat Marvin sedang mengenakan celana jins favoritnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro