BAB 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Mm, mama minta gue makan siang di rumah.” Marvin berbohong.

“Oh.” Riana tersenyum karena dia baru saja menghapus SMS dari Hazel dan mereject teleponnya. Riana sudah tahu watak Marvin yang akan sangat marah bila ada seseorang yang membatalkan janji tanpa konfirmasi kepadanya.

Setelah menyemprotkan parfum, Marvin menyambar kunci mobil di nakas.

“Bye, Riana.”

                                                            ***

“The Royal Apartment II.”

Hazel harus memukul dan mencubit Erga yang ternyata bekerja untuk proyek apartemen itu. Pantas saja Erga bilang kalau pekerjaan Hazel bagus padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya.

“Tapi bukannya Kak Erga juga bisa bikin rancangan buat apartemen itu? kenapa harus ngasih ke kantorku?”

“Spesialisasiku bukan di properti. Sebenarnya aku cuma fokus di disain rumah. Perorangan bukan untuk umum.” Erga melanjutkan ceritanya. “Lebih bikin puas.”

Hazel mengiyakan. “Iya. Kerjanya juga nggak stressful kayak nanganin perumahan sama apartemen.”

“Iya, tapi kan uangnya lebih gede?”

“Hmm. Sebandinglah kalo itu.” Hazel menyeruput latte dinginnya, teringat belum menanyakan sesuatu. “Oh iya, Kak. Ngomong-ngomong Kak Rendi di mana sekarang?”

Erga totally unmood ketika Hazel menanyakan tentang sahabatnya, sekaligus mantan pacar Hazel. “Di Belanda. Kuliah lagi, katanya.”

“Ooo gitu ya. Udah lama lost contact jadi nggak tau.”

                                                            ***

Entah sudah semerah apa wajah Marvin sewaktu Hazel turun dari sebuah Nissan Terrano yang diikuti cowok yang diajak mengobrol semalam di pesta. Marvin menunggu di ruang tamu sampai Hazel masuk ke dalam rumah.

                                                            ***

Mobilnya Marvin. Katanya mau keluar kota, tapi kok di sini? Batin Hazel yang belum menyadari kemarahan besar sedang menunggunya.

“Hei, Marv. Lo nggak jadi…”

“Lo batalin makan siang sama gue dan lo malah pergi sama cowok lain??”

Dari nada suara Marvin, pasti cowok itu berusaha mengontrol emosinya.

“Lho, bukannya lo bilang, lo mau…”

“Gue datang ke sini dan nyokap lo bilang lo keluar. Haah, jadi juga ya janjian makan siang kalian?”

Hazel merasa tersudut, sekaligus bingung. Marvin marah-marah seperti ini padahal dia sendiri yang bilang kalau dia mau keluar kota dan baru akan balik lusa.

 “Marvin, gue udah ngirim SMS ke lo, dan lo balas kalo lo mau keluar kota. Gue udah coba telepon lo dan lo reject.” Hazel berusaha menjelaskan dengan tenang. Ini pasti hanya salah paham.

“Nggak mungkin. Gue nggak ada terima SMS dan telepon lo.”

Hazel ngotot. “I swear, aku udah ngirim SMS tadi. Dan lo ngebales.”

Untung Hazel belum menghapus SMS dari nomer Marvin.

Gw lg mw keluar kota. Lusa gue balik.

Marvin mengembalikan ponsel Hazel yang dipegangnya.

Ini pasti kerjaan Riana.

Ketika kemarahannya sudah mereda, Marvin kembali duduk di sofa. “Gue belum makan siang.”

Hazel setengah membelalakkan mata. “Kok belum?”

“Ya nunggu lo lah.” Marvin memilih mengitari sofa dan menyalakan TV.

“Masak mama nggak nawarin kamu makan siang?” Hazel melirik ke arah ruang makan yang terlihat dari tempatnya berdiri sekarang.

“Udah, tapi gue tolak. Gue nunggu lo makan siang bareng.”

Hazel menatap jam dinding di ruangan tersebut. Jam bulat berwarna perak itu menunjukkan pukul 14.35. Dia mendesah gusar.

“Ya sudah. Lo tunggu situ. Gue siapin makan siang buat lo. Nanti gue panggil kalo udah selesai.”

                                                            ***

Di atas meja makan tersaji makanan sederhana hasil karya mama Hazel yang sekarang sedang mengintip Marvin dan Hazel yang sedang duduk di meja makan melalui pintu dapur.

Hidangan untuk makan siang itu terdiri dari nasi panas, sayur asem Jakarta, gurame goreng, tahu tempe, oseng-oseng buncis dan lalapan serta sambel terasi.

Hazel memandangi Marvin yang sedang makan dengan lahap. Dia sempat berpikir akan membuatkan pasta untuk Marvin, tapi dia teringat kata Tante Gwen kalau Marvin itu tidak begitu rewel soal makanan. Apa saja dimakannya. Kecuali paku atau beling kayak kuda lumping ya hihi…

Soal kenapa tadi Marvin tidak ikut bergabung makan siang dengan orangtua Hazel dan adiknya, Violet, itu karena Marvin beralasan dia akan menunggu Hazel. Dan ketika Violet disuruh mama menghubungi Hazel, Hazel tidak mengangkat telepon karena hapenya memang disilent sewaktu bertemu Erga di kafe. Sewaktu Hazel menghubungi Violet kembali, malah Violet yang tidak mengangkat telepon.

“Lo bisa masak semua masakan ini?” tanya Marvin yang sudah mengkonfirmasi kalau semua makanan yang dihidangkan Hazel adalah masakan tante Helena. Hazel mana sempat masak pagi-pagi?

“Bisa dong,” jawab Hazel yang memilih tidak makan dan hanya menemani Marvin. Di kafe tadi dia sudah makan steak ayam dan taco. “Tapi nggak bisa seenak masakan mama.”

“Tapi minimal nggak bikin sakit perut kan?” Marvin menyendok kan lagi oseng-oseng buncis mercon yang membuatnya kepedesan tapi tetap nambah.

“Lo ngeledekin gue? Gini-gini gue juga bisa masak.”

Marvin mulai mengetes. “Bisa masak sup?”

“Bisa.”

Marvin mencoba mengingat makanan yang teknik pembuatannya lebih sulit.

“Kalo…kari ayam?”

“Bisa sih, tapi gue nggak begitu yakin sama hasilnya.”

“Kapan-kapan lo masakin gue.” Marvin menggigit emping melinjo. Benar-benar lahap makannya.

Kasihan juga ya Marvin, kelaparan sampe nungguin gue pulang.

Astaga, sudah berapa kali nambah nasi? Nasi sebakul udah hampir habis. sayur asemnya tinggal mangkok sama ampas jagungnya.

                                                            ***

“Sumpah, masakan Tante Helena enak banget.” Marvin duduk berselonjor sambil mengelus perutnya yang kekenyangan.

“Gimana nggak kenyang, semua yang gue sajikan lo habisin.” Hazel tersenyum-senyum. Ternyata untuk urusan makan, dia punya saingan.

“Kayaknya setelah ini gue bakal sering makan di sini.” Marvin menegakkan duduknya.

“Yee…trus lo mau ngerepotin mama, gitu?” Hazel yang sudah mengganti pakaiannya dengan celana pendek dan t-shirt katun warna biru langit dari bahan yang super tipis. Menyesuaikan dengan cuaca siang itu yang cukup panas.

“Kenapa? Kecuali kalau masakan lo lebih enak.” Marvin meletakkan ke dua lengannya di sandaran sofa.

Hazel menggeser duduknya ketika tanpa sengaja telapak tangan Marvin menyentuh pundaknya.

Marvin teringat sewaktu menggendong Hazel ke kamarnya kemarin malam. Dia sungguh tidak keberatan kalau harus melakukannya lagi.

“Lo nggak pulang?” tanya Hazel yang mengalihkan perhatiannya ke TV.

“Sepuluh menit lagi.” Marvin menghitung-hitung setelah melihat jam dinding. Ketika pandangannya kembali ke Hazel, ternyata Hazel juga sedang memandangnya.

“Kenapa?”

Marvin menggeleng. “Nggak kenapa-napa.”

“…”

“…”

                                                            ***

“Kaaak Hazeeeel….Mas Marviiiin.”

Baik Marvin maupun Hazel tersentak dan langsung saling menjauhkan satu sama lain. Tidak ada apa-apa sebenarnya, hanya saja suara Violet yang baru memasuki rumah membuat mereka sama terkejut dan refleks saling menjauhkan badan.

“Cieee…yang lagi pacaran siang-siang.” Violet berdiri di belakang sofa dan mencium pipi kiri Hazel yang mendongak kepadanya.

“Apaan sih, Vio? Nggaklah.” Hazel langsung membantah.

“Iya juga nggak pa-pa. Ya kan Mas?” Violet meminta persetujuan Marvin yang hanya melemparkan senyum tipis.

“Ya udah. Sini kamu duduk di tengah. Kita sama-sama nonton TV.” Hazel mengajak Violet duduk bersama mereka.

“Nggak deh. Nggak mau ganggu.” Violet menolak. “Vio mau langsung ke kamar aja. Ada tugas yang mau dikumpulin besok. Daah…”

“Daah..” Hazel menatap Violet sampai hilang dari pandangan. Dia lalu menutup mulut.

“Kenapa ketawa?” tanya Marvin yang tahu maksud bahasa tubuh Hazel.

“Nggak. Nggak kenapa-napa.” Hazel mendorong pelan bahu Marvin. “Pulang gih. See you next week.”

Ah Marvin ingat. Ternyata sebentar malam sudah mulai berlaku waktu pingitan Hazel. Which is, dia baru akan ketemu calon isterinya itu pada saat akad nikah. Sebenarnya pingitan di jaman modern seperti ini sudah tidak sekaku jaman dulu. Kalau mau ketemu seharusnya setiap saat pun bisa.

“Tapi cium dulu.”

Hazel menggeleng dibarengi tawa. Rupanya tadi Marvin bermaksud mencium pipinya tapi keburu diganggu dengan kemunculan Violet.

“Ihh..nggak.” Hazel menolak, tapi Marvin kelihatannya belum mau beranjak dari sofa.

“Ayolah. Sekali ini.” Marvin menatap Hazel penuh hasrat.

“Nggak. Mulut kamu bau ikan.” Hazel tetap menggeleng. “Pu…lang.”

“Yang waktu di pinggir kolam juga kamu nggak keberatan. Waktu itu gue kan habis makan daging.” Marvin mengingatkan.

“Nggak mau.” Hazel tetap menolak.

Marvin menyerah. Sebelum beranjak dia mengajukan permintaan yang langsung membuat Hazel panas dingin.

“Fine. Tapi lo utang satu ciuman. Dan pasti bakal gue tagih.” Marvin tersenyum dan mengatakan dia akan pulang sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro