Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

                                                                                        Bab 16

                Hazel masih berdiri di halaman dengan kekaguman yang besar kepada villa itu. Rancangan arsitektur bangunannya benar-benar indah jika dipandang dari segala sisi. Dia jadi bertanya-tanya siapa yang merancang villa bergaya klasik tersebut.

                “Lo mau masuk ke dalam, atau mau tetap tinggal bengong di sini?”

                Marvin sudah berdiri di belakangnya, begitu dekat hingga Hazel bisa merasakan hembusan napas hangat Marvin di pipi kanannya. Marvin hendak mengecup bahu kanannya, tapi Hazel cepat-cepat menjauhkan badan dan melirik Marvin dengan tajam. Marvin hanya tersenyum, menikmati penolakan Hazel dengan mengangkat ke dua bahunya.

                “Gue suka villa ini.” Hazel menyilangkan tangan di depan dada dan menggosok-gosokkan telapak tangan di ke dua sikunya, mencoba memberi kehangatan dari dinginnya terpaan angin.

Dengan kardigan yang putih dan tipis, memang cukup sulit menangkis udara pegunungan yang sejuk dan perlahan menembus pori-pori kulit sebelum masuk hingga ke tulang. Tapi Hazel tetap berdiri di halaman itu, menikmati sajian pemandangan villa dan sekitarnya yang semakin diperhatikan terlihat semakin indah. Matanya tidak pernah bosan memandang, begitu juga mulutnya yang tidak berhenti mengungkapkan kekaguman.

Harus diakui bahwa berlibur di villa ini adalah hadiah bulan madu terindah yang tidak akan pernah dilupakannya.

                Hazel berpikir-pikir, jika memungkinkan, dia ingin tinggal lebih lama di sana. Jangankan seminggu, sebulan pun dia tidak keberatan.

                “So…?” Marvin juga mengakui hal yang sama. Tapi rasa kantuk membuatnya tidak ingin berlama-lama di sana, apalagi terkagum-kagum sampai kehabisan napas seperti yang dilakukan Hazel sekarang.

Dengan udara sedingin ini, tidur adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya. Dia masih bisa mengagumi villa itu sebentar sore atau sebentar malam. Atau besok pagi. Masih begitu banyak waktu yang tersisa sebelum diserang kebosanan berada di tempat yang sunyi dan jauh dari rumah-rumah penduduk. Karena sejauh mata memandang, hanya villa itu satu-satunya bangunan yang terlihat di sana. Entah kalau ada bangunan lain yang gaib dan tidak tertangkap mata.

Haah pikirannya mulai mengada-ada. Dia memang benar-benar butuh tidur.

                                                                ***

Ketika memasuki ruang tamu, Marvin melakukan survei kilat dan harus diakuinya kalau penataan ruangan villa itu cukup baik. Ruangannya luas, kemungkinan karena ruang tamu tidak banyak furnitur dan perabotan. Hanya ada dua buah sofa bermotif bunga Carnation serta sebuah meja kayu bertaplak rajut berukuran sekitar satu meter. Taplak rajut mengingatkan Marvin pada kerajinan tangan buatan neneknya yang memang gemar merajut. Selain itu, hanya ada sebuah lemari kayu dengan kaca bening di bagian depan, setinggi satu meter, kosong dari benda apapun, entah itu buku atau hiasan keramik. Lantainya dari bahan kayu yang ditutupi karpet warna gading, membuat pijakan terasa hangat meskipun tanpa alas kaki.

Ruang tengah tidak kalah minimalis.  Ruangan itu hanya diisi sebuah sofa, meja berukuran lebih kecil, tiga buah kursi, dan sebuah lemari kosong namun berukuran sedikit lebih besar dari lemari yang ada di ruang tamu. Sebuah TV flat 32 inci diletakkan di atas rak rendah dan lebar, menempel di dinding yang berhadapan dengan pintu penghubung dengan ruang tamu. Sebuah lukisan pemandangan tergantung di dinding dekat pintu menuju ruang makan.

Hanya sampai di situ penjelajahan Marvin. Pikirannya hanya bagaimana secepatnya menemukan kasur  untuk merebahkan badan.

Hmm, seingatnya tadi kata pak Banda ada Nunung yang tinggal di villa itu. Tapi kenapa sejak masuk, Marvin tidak juga pernah ketemu sama Nunung?

“Pak Banda. Nunung ada di mana ya?” tanya Marvin kepada Pak Banda yang tengah asyik menikmati kopinya di teras depan.

Pak Banda lekas-lekas berdiri dari kursi dan menjawab singkat. “Oh, itu Den. Lagi di dapur.”

Baru beberapa detik selepas bertanya, Nunung langsung muncul di pintu depan.

“Eh, Den Marvin. Maaf tadi langsung bikinin kopi buat Pak Banda. Jadi lupa salamin Den.” Nunung mengucapkannya sambil tersenyum-senyum.

Marvin hanya tersenyum ketika menyalami Nunung yang tengah tersipu malu. Usia Nunung 32 tahun, tidak jauh berbeda dengan usianya. Posturnya yang pendek kecil, berbalut kemeja lengan pendek warna kuning cerah dan celana panjang ketat warna putih. Rambutnya yang pendek sebahu diikat karet. Dan, ini yang ajaib. Sebuah kacamata hitam yang dikaitkan di kepalanya.

Wiih gaul juga nih pembokat.

Nunung berbisik kepada Pak Banda. “Ganteng pisan euy.”

“Eta jangan digodain atuh.”

“Nuhun.” Nunung masih tersenyum-senyum. “Teteh Hazel geulis nyak.”

“Sok, kamu masuk atuh di dalam.”

Marvin meninggalkan teras yang masih menyisakan perbincangan dialek sunda antara Nunung dan pak Banda. Setelah menemukan Nunung, dia mencari Hazel dan kamar yang akan mereka tempati selama bulan madu.

Ihiiiy

                                                                                ***

“Hazeeel,” Marvin berteriak di depan kamar tamu karena dia tidak menemukan Hazel di kamar tidur utama.

“Gue di sini,” jawab Hazel.

Mendengar suara Hazel, Marvin membuka pintu kamar tamu.

She’s there.

Di situ semua furniturnya nampak baru, sama seperti di ruangan-ruangan yang sudah sempat dilihat Marvin sebelumnya. Ada sebuah tempat tidur, sebuah lemari pakaian dan sebuah meja rias.  

“Lo mau tidur di mana?” tanya Marvin setelah merebahkan badan di atas ranjang lebar. Dia bisa mencium aroma pewangi pakaian dari seprai bermotif batik.

“Di sini.”

Marvin langsung membuka ke dua matanya. “Di sini?”

Hazel hanya berbalik sekilas, tersenyum tipis lalu kembali melanjutkan pekerjaannya menyusun pakaian di dalam lemari.

“Dan gue tidur di kamar utama.” Marvin menatap langit-langit kamar sambil mulai mengacak-acak rambutnya. “Nanti apa kata Nunung, Zel?”

Hazel hanya diam, tapi memperlambat gerakannya mengatur pakaiannya. Kini dia beralih ke bagian gantungan pakaian. “Gue lagi pengen sendiri.”

“Apa gue udah bikin lo kesal jadi lo nggak mau tidur bareng gue lagi?” tanya Marvin menduga-duga.

Hazel menggeleng. “Nggak. Gue cuma lagi pengen tidur sendiri aja.”

Kasih gue alasan,” desak Marvin. Dia sudah terduduk di tepi ranjang, mendadak tidak merasa ngantuk.

Alih-alih menjawab, Hazel melarikan diri dari situ dengan mengatakan akan membuatkan teh hangat untuk Marvin. Marvin hanya bisa menatap Hazel menghilang dari balik pintu sebelum membanting bantal dengan kesal dan mengumpat sejadi-jadinya.

                                                                                ***

“Hazel, lo tidur bareng gue ya?”

Sekali lagi, Marvin yang menyusul Hazel ke dapur mencoba membujuk Hazel untuk tidur bersamanya di kamar utama. Tapi Hazel menolak tanpa menatap wajahnya. Marvin bahkan mencoba menanyakan melalui Nunung yang hanya bisa memberikan jawaban polos.

“Nyonya teh pengennya tidur di kamar sebelah, Den. Nggak mau bilang alasannya.”

Marvin menatap Hazel yang sedang menuruni tangga kayu. Dia tidak mengerti dengan keputusan Hazel untuk tidur di kamar yang terpisah. Ini bulan madu, dan for God’s sake. Istrinya minta tidur di kamar yang terpisah dengan kamarnya?

Why?

“Nunung nggak nginap di sini?” tanya Marvin ketika Hazel menyendokkan nasi ke piringnya.

“Nggak,” jawab Hazel singkat. Tangannya memegang sendok nasi dengan erat seolah hal itu bisa membantunya melewati tekanan yang diperlihatkan Marvin dari tatapan matanya.

Marvin menunggu Hazel selesai menuangkan nasi dan lauk yang diminta diletakkan di piringnya. Untuk urusan di meja makan, Hazel selalu melayaninya dengan baik. Hazel adalah tipe perempuan yang memiliki tata krama yang cukup, sampai begitu baiknya mengambilkan makanan untuk Marvin langsung ke piringnya. Walau Hazel tidak sering tersenyum seperti seorang isteri yang mencintai suaminya, buat Marvin hal itu sudah lebih dari cukup. Dia menyukai cara Hazel bersikap padanya. Jinak-jinak merpati. Menarik ulur sikapnya kepadanya yang tentu saja membuat Marvin makin penasaran.  

Mereka pun memulai makan malam yang dimeriahkan dengan menu semur ayam, kering tempe, dan rendang telur masakan mama Marvin. Semua masakan yang tersaji benar-benar enak.

“Kita cuma berdua,” Marvin mengunyah nasi sambil menatap Hazel yang sedang memotong rendang telur dengan sendok dan garpu.

“So…?”

“Abis makan bisa langsung ehem dong,” Marvin menggoda Hazel.

                “Gue nggak ada rencana tuh.” Hazel menjawab dengan tenang dan sedikit cuek.

                Hati Marvin langsung tertohok. “Lho kok bisa nggak ada rencana?”

                “Ya bisa aja dong.” Hazel mengunyah kering tempe bercampur nasi di dalam mulutnya dengan gugup.

                “Nggak…gue komplain. Ini acara bulan madu, dan lo seharusnya punya rencana…itu.”

                “No.”

                “No? what do you mean no?” Marvin mengerut-ngerutkan keningnya.

                “Yeee…kan gue nggak mau. Gue nggak siap.” Hazel memberi alasan.

                “Gue nggak terima alasan.”

                Hazel mengingatkan. “Ingat janji lo, kalo lo bakal nunggu dengan sabar.”

                Marvin yang sudah merencanakan seminggu itu full ayang-ayangan harus puas dengan penolakan Hazel. Dia bahkan belum mengeluarkan jurus rayuan mautnya, dan Hazel langsung mengatakan kalau dia nggak mau? Astaga. Keterlaluan.

                *gigitgarpu

Marvin yang sudah ingin mendengus kuda, berusaha mengeluarkan ekspresi se-cool mungkin. “Cuma tidur sama-sama nggak ada salahnya kan?”

“Memang nggak. Tapi, untuk sementara ini gue lebih nyaman tidur sendiri.” Hazel menunduk, menghindari tatapan Marvin.

“Tapi dua malam setelah nikah lo nggak pernah nolak tidur sama-sama. Dan gue nggak pernah ngelakuin hal-hal yang lo nggak suka. Gue nggak ngorok kan?”

“Bukan karena itu.”

“Trus?”

“I’m sorry, Marvin.” Hazel menatapnya dengan tatapan menghiba. “Sorry banget.”

Marvin memilih melanjutkan makannya, walau perasaannya sudah bisa disamakan dengan potongan-potongan telur yang acak-acakan di atas piringnya yang dilakukan dengan sedikit emosional untuk ukuran orang yang sedang makan.  

“Ya sudah,” balas Marvin kemudian, berusaha untuk tidak membanting garpu dan sendoknya.

                                                                ***

Selesai makan malam, dengan agak sedikit memaksa, Marvin menawarkan diri untuk mencuci piring dan menyuruh Hazel merapikan meja makan dan dapur.

“Biar aku aja. Kamu nonton TV sana.” Hazel berusaha merebut spons dan botol cairan pencuci piring dari tangan Marvin.

“Lo kenapa sih? Dibantuin nggak mau?” Marvin berbalik menghadap bak cuci piring setelah memastikan semua piring, gelas dan peralatan masak sudah terkumpul semua di dekat bak yang terbuat dari bahan stainless steel.

“Kamu kenapa mau bantu?” tanya Hazel yang masih mencoba merebut spons dari tangan Marvin.

“Ya, karena gue lagi rajin.” Marvin mulai menuangkan cairan pencuci piring ke dalam wadah kaca berisi air, dan membusakannya dengan spons.

“Pasti ada maunya,” tuduh Hazel sambil memasang celemek. Akhirnya dia pun mengalah dengan mengambil lap untuk membersihkan daerah kompor dan sekitarnya yang terkena cipratan minyak dan kotoran lainnya.

Marvin harus mengakui kalau radar curiga Hazel itu selalu tepat sasaran. Tentu saja, dia sedang bermanis-manis, memuluskan jalannya untuk bermesraan dengan Hazel. Mungkin Hazel adalah tipe perempuan yang senang diambil hatinya dengan perhatian-perhatian kecil? Mencoba membantu mencuci piring, misalnya. Kan tidak ada salahnya mencoba. Kalau berhasil disyukuri. Kalau gagal, ya hitung-hitung Marvin sudah berusaha menyenangkan hatinya.

“Berarti lo udah berburuk sangka. Gue kan cuma mau bantu? Niat baik harus didukung dong.” Marvin membilas gelas sambil melirik Hazel yang sedang merapikan letak wadah bumbu-bumbu di rak kitchen set.

 “Ya, ya. Thanks deh kalo gitu.” Hazel yang masih curiga lebih memilih mengiyakan saja. Marvin itu selalu jago sama argumentasi yang kadang bagi Hazel nggak penting.

“Tapi kalo bentuk terimakasihnya dengan cium, gue…”

“Nggak deh,” potong Hazel cepat.

“Oke. Nggak harus di bibir. Di mana saja, gue terima.” Marvin masih juga bertahan dengan niatnya.

“Kamu tuh ya? Bela-belain nyuci piring cuma buat dapet cium?” Hazel menggeleng-geleng. Pikiran Marvin kalau bisa dibedah, sudah pasti penuh dengan misi-misi mesum yang hanya dia dan Tuhan yang tahu seberapa joroknya.

“Daripada ngomel, mendingan lo cium gue deh.” Marvin menyorongkan pipinya. “Selain berpahala, juga nggak nguras energi.”

Hazel menggeleng. “No.”

“Lo pelitnya udah bukan tingkat dewa lagi ya. Nggak ngerti gue.” Marvin mendesah pasrah.

God. Segitu sulitnya ya ngedapetin perhatian dari isteri gue sendiri? Mau cium aja harus ngemis-ngemis?ckck..

“Oke, oke. Kamu tuuuuh.” Hazel mendekatkan bibirnya ke pipi kanan Marvin. “Tapi di pipi aja ya?”

Marvin menyeringai. Huh, lo pikir gue oke cuma di pipi? Nggak bisa nawar, ya gue main curang!

“Oke, oke. Udah gue bilang di mana aja, gue terima dengan ikhlas.” Marvin tersenyum jail.

Hazel menahan napas. Ya sudah. Sekali ini aja, pikirnya. Lagian kalo cuma di pipi, harusnya nggak ada masalah.

“Ayo, kok belum?” desak Marvin yang sedang mengatur siasat.

“Iya, sabar dong,” jawab Hazel sambil mendekatkan bibirnya ke pipi Marvin yang sebelah kanan.

Ketika jarak bibir Hazel tinggal beberapa centimeter dari pipinya, Marvin menelengkan wajahnya, hingga bibir Hazel mendarat tepat di bibirnya. Hazel yang kaget dengan pendaratan yang salah itu mencoba menarik wajahnya, namun Marvin yang sudah mengantisipasi, menahan wajah Hazel dengan kedua telapak tangannya hingga dia bisa leluasa melakukan serangan.

Marvin menggeram ketika Hazel berusaha melakukan perlawanan. Dia terpaksa mendorong tubuh Hazel hingga bokong isterinya itu menempel di keramik dekat bak cuci piring. Hazel berusaha mendorongnya menjauh, namun gagal. Marvin malah semakin memperdalam ciumannya, menggunakan waktu yang ada seefektif mungkin sampai dia benar-benar puas mencium Hazel.

Kalau Riana pernah mengatakan tidak bisa done dengan bibirnya, Marvin juga harus mengakui hal yang sama kepada Hazel. Bibir Hazel adalah magnet yang manis dan memabukkan. Dan melepaskannya bisa membuatnya gila.  Marvin berharap Tuhan untuk memberinya kesempatan mencium Hazel lebih lama. Marvin bahkan tidak peduli jika dia harus kekurangan oksigen karena dia  membutuhkan Hazel lebih dari oksigen untuk bernapas.

Marvin bisa merasakan Hazel tidak lagi melakukan perlawanan. Hazel menurunkan ke dua tangannya sehingga Marvin memiliki akses lebih ke bibir Hazel. Setelah yakin Hazel sudah benar-benar tenggelam dalam ciumannya, Marvin menurunkan ke dua tangannya ke pinggang Hazel. Mengelusnya dengan gerakan lembut.

Tanpa melepaskan bibirnya, Marvin melarikan ke dua tangannya hingga jatuh ke ujung dress yang dikenakan Hazel. Diselipkan ke dua tangannya ke dalam dress untuk mengelus ke dua paha Hazel dengan kulit mulus dan hangatnya yang membuat gairah Marvin langsung turn on. Goshh…unbelievable.

“No, Marvin. No.”

Marvin mulai melepaskan sabuk kulitnya dengan tergesa-gesa. Satu-satunya hal yang terpikirkan saat itu adalah seks. Dia bahkan tidak butuh space yang lebih luas untuk melakukannya. Gairahnya sudah sampai di ubun-ubun dan tidak ada yang bisa menghalanginya untuk memuaskan hasratnya. Dia bahkan tidak peduli sekalipun harus memaksa Hazel untuk melayaninya. Sekarang, atau tidak sama sekali.

 Ke dua tangan Marvin kembali berusaha meraba ke dua paha Hazel dengan semakin sporadis, hingga ujung dress biru langit itu tersingkap sampai ke panggul Hazel. Dia bisa merasakan kulit paha Hazel yang lembab di telapak tangannya. Dia ingin memiliki Hazel. Tubuhnya, hatinya, semuanya.

“I want you right here,” bisik Marvin.

“No. Marvin.” Hazel berusaha menjauhkan tangan Marvin dari tubuhnya. Ya Tuhan. Apa yang sedang dilakukan Marvin padanya?

“Stop it!” Hazel yang benar-benar marah mendorong tubuh Marvin dengan sekuat-kuatnya hingga bokong Marvin menabrak meja pantry. “Kamu udah gila ya?!”

Marvin yang masih dikuasai nafsu, kembali mendekati Hazel mencoba memeluknya. “Hazel, gue cuma …”

“Jangan dekat-dekat!” Hazel berteriak semakin keras.

Marvin berhenti. Gairahnya yang masih meletup-letup membuatnya menggeram. Dia ingin menyerang Hazel lagi, tapi Hazel yang nampak ketakutan memilih mundur beberapa langkah.  

“Aku…aku…” Hazel menyeka bibirnya yang masih menyisakan rasa hangat dan lembab bibir Marvin.       

“Hazel, gue nggak berniat nyakitin lo. Gue janji bakal memperlakukan lo dengan…hati-hati. Gue…” Marvin mencoba mendekati Hazel.

Hazel menggeleng kuat. “Nggak, Marvin. Nggak! Jangan mendekat!!!”

“Tapi kenapa?? Gue suami lo, dan gue berhak meminta hak gue!!” teriak Marvin frustrasi.

“Aku tahu, Marvin. Aku cuma butuh waktu untuk semua ini.” Hazel tidak bisa menyembunyikan bulir airmata di ke dua sudut matanya. Dia tahu Marvin tidak salah. Dialah yang menyebabkan sikap Marvin menjadi seperti itu. Dia dan ketidaksiapannya untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang isteri yang baik. 

“I’m sorry. I didn’t mean to make you cry.”

Hazel melepaskan celemek dengan tangan gemetar dan menghempaskannya ke meja pantry. “Aku… mau… ke kamar,” ucapnya sambil terisak.

“Hazel, tunggu! Gue nggak bermaksud maksa lo.” Marvin mencekal pergelangan tangan Hazel. “Maafin gue.”

Hazel menarik tangannya dari cekalan Marvin dengan sekali tepisan. “Aku yang harusnya minta maaf, Marvin. Now, let me go.”

“Tapi lo maafin gue?” Marvin kembali menarik tangan Hazel dengan paksa.

Hazel hanya menggeleng tidak tentu arah, “Aku yang minta maaf,”

Sesaat kemudian Hazel berlari secepatnya meninggalkan dapur. Tidak berapa lama, suara-suara kakinya terdengar menjejak anak tangga kayu menuju ke lantai atas.

“Apa yang gue lakuin?”

Marvin menopangkan ke dua tangannya di dekat bak cuci piring. Menyesali sikapnya. Dia memang sudah keterlaluan. Seharusnya dia bisa menahan diri.

“Lo bego, Marvin!”

Marvin menendang bagian bawah kitchen set dan meninju pinggir bak cuci piring, namun karena terlalu keras, rasa sakit berdenyut mulai terasa di buku-buku tangannya. Dia menundukkan kepala, menatap ke arah pintu dapur sambil mengusap wajahnya.

Dia tahu bahwa dia baru saja menghancurkan bulan madunya.

                                                                                                ****

Marvin menutup pintu di belakangnya dan meninju bantal. Frustrasi karena dia baru saja menunjukkan kebodohannya di depan Hazel. Shit! Bagaimana mungkin dia bisa melakukan tindakan bejat tadi. Memaksa Hazel bahkan berniat untuk memperkosanya?

Apa yang dia pikirkan? Bagaimana mungkin dia bisa setolol ini?

Hazel akan membencinya. Di mata Hazel, dia hanya akan dianggap sebagai laki-laki biadab yang mencoba melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Laki-laki yang tidak mampu bersabar dan tidak mampu memahami keadaan isterinya sendiri. Dia sudah hampir 30 tahun. Dan for God’s sake. Dia baru saja bersikap seperti ABG labil yang tidak mampu mengendalikan nafsu libidonya karena baru mengenal seks di usia awal pubertas.

Tapi dia menginginkan Hazel. Dia ingin mengecap tubuh Hazel, memberinya cinta dan kehangatan yang bisa diberikan seorang suami kepada isterinya, memilikinya, bahkan menghambakan diri untuknya. Dia hanya ingin menyempurnakan status mereka sebagai suami isteri. Dan dengan bercinta, dia bisa mengesahkan status pernikahan mereka sekaligus status Hazel sebagai miliknya. Dia bersedia memberikan apapun untuk Hazel, karena dia tahu hanya Hazel yang dia butuhkan dan inginkan untuk saat ini.

Tapi. Dia harus berhenti. Sekalipun dia begitu menginginkan memeluk dan mencium Hazel saat itu, dia harus berhenti. Dia harus bisa mengendalikan diri. Dia tidak bisa maju dan memaksakan keadaan sementara dia tahu Hazel belum siap.

Ya, bukan tidak mau. Hazel hanya belum siap.

Marvin melepaskan pakaiannya. Menyalakan shower dan mandi air dingin. Berharap semua gairahnya malam itu dipadamkan oleh guyuran air yang membasahi sekujur tubuhnya.

Dia tidak bisa membayangkan akan melakukan hal seperti ini setiap malam untuk waktu yang tidak terbatas.

                                                                                ***

Hazel mengetuk pintu kamar Marvin dengan ragu. Walau jantungnya berdebar tidak karuan, dia tidak bisa melalaikan kewajibannya yang lain seperti menyiapkan sarapan untuk Marvin. Dia  harus tetap menghadapi Marvin karena dia tahu dia tidak bisa menghindari Marvin seterusnya. Mereka sedang berbulan madu. Alangkah lucunya jika seminggu bulan madu itu mereka habiskan dengan diam-diaman.

“Marvin. Kamu udah bangun?”

Hazel mengetuk pintu lagi ketika belum ada sahutan. Mungkin Marvin belum bangun. ini memang masih cukup pagi. Baru pukul 07.10.

Tidak lama terdengar suara Marvin.

“Wait a minute!”

Ketika pintu terbuka, Marvin menatapnya dengan ragu dan canggung. “Iya?”

  “Time for breakfast,” ucap Hazel dengan tidak kalah canggungnya.

Hazel mendapati Marvin sudah berpakaian rapi dan wangi. Dia terkesan dengan Marvin yang sudah rapi sepagi itu sementara dia sendiri baru selesai menyiapkan sarapan dan belum sempat mandi.

“Oke.”

                                                                                ***

“Sorry.”

Marvin tahu tidak ada kata yang paling ingin diucapkannya selain kata itu. Dia menghabiskan semalaman dengan tidak tidur. Memikirkan bagaimana meminta maaf, sedangkan dia tidak cukup yakin kata maaf akan membuat hubungan mereka menjadi baik kembali. Dia tidak mungkin berlutut di hadapan Hazel untuk mendapatkan maaf. Hanya saja…entahlah. Dia bingung.

“Aku juga minta maaf, Marvin.” Hazel membalas dengan permintaan maaf.

Semalaman itu pula, Hazel merefleksikan hubungan mereka dengan berbagai kemungkinan. Dua kemungkinan. Dia mencintai Marvin dan bersedia menjalani pernikahan ini selamanya atau dia mencintai Marvin untuk melepaskannya jika suatu saat Marvin ingin menyudahi pernikahan mereka. Hazel tiba-tiba diserang keharuan yang dalam. Dia mencintai Marvin, tapi belum apa-apa, dia merasa akan kehilangan Marvin. Dia tidak bisa menyerahkan dirinya untuk laki-laki yang belum tentu akan sungguh-sungguh mencintainya. Dia harus memberikan waktu untuk melihat kesungguhan Marvin terhadap pernikahan mereka.

“Nggak. Gue yang harusnya minta maaf.”

Hazel menunggu apa yang akan dikatakan Marvin selanjutnya. Tiba-tiba dia merasa ketakutan sendiri.

“Gue mungkin nggak cukup baik buat lo.” Marvin kembali menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

“Mmm…maksudnya?” Hazel menggenggam gagang sendok di tangannya lebih keras.

“Gue udah ngelanggar janji gue sendiri. Dan gue bahkan mencoba…memaksa lo untuk melayani gue. Gue memang bukan suami yang baik. Dan, lo…berhak menghukum gue.”

Hazel menggeleng. “Nggak. Seharusnya aku nggak pernah nolak kamu.”

“Baiklah. Mungkin sebaiknya kita nggak mempermasalahkan soal ini. Gue sama lo sama-sama butuh waktu untuk berpikir. Mungkin kenal lo selama 3 bulan, belum cukup untuk membuat kita saling memahami satu sama lain.”

Ucapan Marvin ada benarnya juga. mereka baru mengenal selama 3 bulan. Masih butuh banyak waktu penyesuaian. Mungkin yang benar-benar mereka butuhkan saat ini hanyalah waktu.

“We can live without sex, right?” Marvin mengajak mereka kembali makan. “Yuk, dilanjutkan makannya.”

Hazel hanya tersenyum salah tingkah. Perlahan kekakuan di antara mereka kembali mencair. Dia berdiri dari kursinya dan menuju lemari es. “Kamu mau jus jeruk?”

Marvin mengangguk. “Boleh.”

                                                                                ***

 Marvin menatap Hazel yang sedang menaiki tangga menuju kamarnya. Dia tahu tidak ada yang bisa dilakukannya saat itu. Pandangannya kembali menghadap TV, berusaha kembali menikmati tayangan yang menyajikan berita wisata di sebuah negara Eropa.

Mungkin dia tidak bisa berharap banyak dari pernikahannya. Kalaupun memang bisa bertahan, dia hanya akan memberikan toleransi 1 tahun.

Marvin menggeleng. Tidak. Belum. Ini masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa dia tidak bisa bertahan. Tidak pernah ada perceraian di dalam keluarganya. Semua orang awet dan berbahagia atas pilihannya masing-masing.

Dan dia sudah memilih Hazel. Tidak ada penyesalan atas pilihannya itu. Tidak sama sekali.

                                                                                ***

Ditunggu tanggapannya yaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro