Bab 27 : Only Trust

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sori kalo kependekan. Moodnya lagi pendek juga soalnya.. huhu…

                                                            BAB 27

                                               

Setelah menunggu lebih dari sejam yang membuatnya harus menghabiskan dua gelas jus jeruk buatan Bik Nah, asisten rumahtangga di rumahnya. Katrin harus puas menunggu sampai bosan sementara Marvin belum juga menampakkan batang hidungnya. Bersama Aaron, Katrin menunggu kedatangan Marvin di kediaman orangtuanya. Dia dan Aaron sengaja memilih patio yang sering digunakan mamanya untuk melukis. Kebetulan, ke dua orangtuanya tidak sedang berada di rumah. Sebagai anak tunggal, Katrin seringkali hanya berdua saja di rumah itu dengan Bik Nah, sementara ke dua orangtuanya sibuk bekerja.

“Kenapa nggak sekalian lo samperin ke kantornya?” tanya Aaron yang cukup kesal karena sejak kemarin malam Katrin terus saja menyalahkannya karena merahasiakan hubungan Marvin dengan Riana.

“Menurut lo?” Katrin menaikkan satu alisnya sebelum kembali menatap Aaron dengan sinis.

“Oke. Gue tau, gue ada salahnya juga. Tapi kapasitas gue di sini cuma sebagai saksi. Lagian gue juga udah berulangkali nasehatin Marvin, tapi lo tau kan gimana Marvin. Sama keras kepalanya dengan lo. Nggak mau dengar kalau dikasih tau.” Aaron berusaha membela diri. Dan memang benar kalau dia sudah cukup menasehati Marvin untuk tidak bermain api. Apalagi Hazel adalah perempuan baik-baik yang tidak pantas dipermainkan perasaannya.

“Hei, gue bedalah sama Marvin. Gue nggak murahan kayak dia. Catet!” Katrin tidak terima disama-samakan dengan Marvin.

“Iya, Iya. Kenapa juga gue sama lo harus berantem? Yang jadi fokus masalahnya kan Marvin, bukan gue?”

“Iya, tapi gara-gara lo nggak ngasih tau gue, Marvin malah keenakan selingkuh sama tuh cewek gatel. Lo juga sih, pake acara ngelarang gue ngelabrak dia. Kalo iya, udah abis kali tuh cewek gue cakar-cakar mukanya.” Katrin masih cukup terbawa emosi.

Di tengah-tengah perdebatan sengit mereka, Marvin muncul. Masih dengan jas dan kemeja yang dipakainya bekerja. Marvin mengambil duduk di dekat Aaron.

“Jadi, ada urusan apa tiba-tiba lo nyuruh gue ke sini?”

Katrin berdehem, langsung ke tujuannya memanggil Marvin ke rumahnya.

“Semalam gue liat lo jalan sama cewek. Dan gue bisa pastikan kalo tuh cewek bukan Hazel.” Katrin melipat tangan di depan dada. “So, gimana lo ngejelasin ke gue siapa cewek itu?”

Ke dua mata Marvin berkilat, dia terkejut, tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan didengarnya dari Katrin. Tapi, bagaimana Katrin bisa tahu?

Jika pertanyaan seperti ini datang dari Hazel, akan sangat mudah baginya mengatakan bahwa cewek yang dimaksud Katrin itu adalah Riana. Tapi yang dihadapinya kali ini adalah Katrin. Sepupunya yang paling interogatif, persis detektif.

“Aaron udah tau kok,” Marvin menjawab, berusaha terdengar santai. Jujur, pertanyaan Katrin masih menyisakan kejutan di dalam batinnya.

“Oh. Trus, lo bakal terus sama tuh cewek sekalipun lo udah nikah sama Hazel?” Katrin menggeleng-geleng. “Gue nggak nyangka lo seperti ini, Marvin. Lo tega ngelakuin ini ke Hazel? Apa salah Hazel ke lo sampai lo tega ngekhianatin dia?”

Ketika Marvin hanya bisa diam, Katrin bergerak maju. “Dengerin gue. Lo harus tinggalin tuh cewek.”

“Gue nggak bisa,” jawab Marvin pelan.

“Harus bisa! Lo harus tinggalin dia!”

Marvin balik menatap Katrin dengan tajam. “Lo nggak tau apa-apa, Kat. Biarin gue mutusin apa yang terbaik buat hidup gue. Thanks buat perhatian lo ke gue. Tapi gue nggak butuh dengerin apapun yang lo mau omongin soal ini.”

“Tapi lo cuma bakal nyakitin Hazel!!!” teriak Katrin.

“Gue nyakitin dia atau nggak, itu bukan urusan lo,” Marvin menegaskan ucapannya. “Jangan pernah ikut campur urusan rumahtangga gue.”

Tanpa bisa ditahan Katrin mendorong tubuh Marvin. “Lo keterlaluan!!”

Aaron memegang lengan Katrin sebelum Katrin sempat melayangkan tamparan di pipi Marvin. “Udah, Kat. Udah. Mungkin Marvin benar. Kita nggak berhak ikut campur urusan dia.”

“Tapi lo liat dia, Ron. Dia tuh laki-laki brengsek! Gue nggak sudi punya sepupu sebrengsek lo, Marvin! Lo liat aja. Kalau sampai Hazel nangis karena lo, gue bisa pastikan Hazel menggugat cerai lo secepatnya!!”

“Katrin, udah. Calm down.” Aaron menenangkan Katrin. Bagaimanapun, selama beberapa bulan ini, Katrin memiliki keterikatan emosional dengan Hazel. Hazel sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri. Dan jika ada yang mencoba menyakitinya, tentu saja Katrin tidak bisa tinggal diam.

Marvin menggeram, membanting pintu mobilnya. Menancap gas meninggalkan halaman rumah Katrin.

Jika Hazel membencinya, seharusnya yang ditunggunya hanya segera mengurus gugatan cerai. Kecuali jika memang masih ada secuil harapan. Jauh dalam hati kecilnya dia masih berharap Hazel tetap bersamanya. Sekalipun Hazel sudah tersakiti olehnya, dia belum siap melepaskan Hazel.

                                                            ***

Ketika memasuki rumah, Marvin segera mencari keberadaan Hazel. Ada gelegak dalam dirinya yang sulit dibahasakan. Dia hanya butuh melihat Hazel. Meyakinkan dirinya bahwa Hazel masih ada di sana dan tidak ke mana-mana.

Langkah Marvin terhenti di depan pintu kamar. Dari celah kecil, dia bisa menangkap bayangan Hazel yang tengah memunggunginya.

Dengan sekali sentakan dibukanya pintu kamar hingga terkuak lebar. Hazel membalikkan badan, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

“Kapan kamu ingin aku menggugat cerai?”

                                                ***

            Hazel yang tengah membenahi pakaian kotor yang tadi dikenakannya di kantor, dikejutkan oleh kedatangan Marvin. Dan tidak ada angin, tidak ada hujan, Marvin langsung membahas soal perceraian.

Ada apalagi dengan Marvin?

            “Kamu lagi mabuk ya?” tanya Hazel yang walaupun tidak mencium aroma alkohol tapi cukup yakin bahwa otak Marvin sedang tidak stabil ketika mengatakannya.

            “Maksud kamu?” Marvin balik bertanya.

            “Iya. Aku tanya kamu lagi mabuk atau nggak. Datang-datang langsung ngomongin soal cerai,” jawab Hazel dengan ekspresi dan nada suara yang cukup terkendali.

            Marvin mengusap wajahnya lalu terdiam. Sikap Hazel yang begitu tenang, membuat dirinya merasa pertanyaan tadi tidak tepat untuk dikatakan saat itu. Tapi dia hanya ingin memastikan apakah Hazel akan segera memintanya untuk mengurus surat gugatan cerai supaya Hazel tidak perlu menderita karenanya.

            “Aku nggak lagi mabuk,”

Marvin membalikkan badannya. Lelah dengan semuanya. Hubungan gelapnya dengan Riana, kemarahan Katrin, dan sikap antipati yang ditunjukkan Hazel selama nyaris dua bulan belakangan ini.

            “Ya sudah. Lebih baik kamu mandi. Aku mau siapkan makan malam.”

            Hazel memasukkan pakaian kotornya ke dalam keranjang dengan berusaha fokus untuk tetap tenang. Dia bisa saja berterimakasih kepada Marvin atas penawaran itu dan segera meminta Marvin untuk mengajukan gugatan cerai.

            Tapi tidak. Dia yakin masih bisa menghadapi Marvin sekalipun kini kondisi rumahtangga mereka tidak sehat dan sewaktu-waktu bisa hancur karena sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Walau mungkin hatinya  sudah didominasi dengan perasaan benci dan muak kepada Marvin, tapi dia harus tetap bertahan. Setidaknya untuk beberapa bulan.

            Setelah itu, Hazel akan memikirkan lagi apakah memang perceraian adalah pilihan terbaik untuk mereka.

            “Bahkan ketika aku memberi kesempatan bagi kamu untuk pisah, kamu masih berbaik hati untuk menyiapkan makan malam untukku?”

            Hazel mengangguk. “Itu memang sudah kewajibanku.”

            “Kewajiban atau keinginan?” tanya Marvin.

            “Aku pikir sepanjang aku masih jadi isteri kamu, salah satu hal yang harus kulakukan adalah menyiapkan makanan untuk kamu. Tidak penting apakah aku melakukannya karena kewajiban atau karena aku memang menginginkannya.”

            Marvin menggeleng. “Tidak perlu repot-repot kalau begitu.”

Hazel menatap Marvin dengan tajam. “Kenapa? Masakanku nggak enak? Atau kamu mau makan di luar?”

“Memasaklah untukku karena kamu memang menginginkannya. Jika tidak, aku masih bisa mengusahakan makanan untukku.”

Hazel merasakan dadanya bergemuruh. “Bagaimana aku bisa melakukannya, memasak untukmu dengan perasaan bahagia, sementara kamu nggak pernah bisa menghargai aku? Selama ini aku berusaha menjadi isteri yang baik. Tapi ternyata menjadi isteri yang baik saja tidak cukup untuk membuat kamu jadi suami yang bertanggungjawab!”

Marvin menarik napas terdalam, mundur selangkah.

“Tapi itu bukan masalah besar buat aku. Paling nggak aku sudah tau siapa kamu sebenarnya.”

Dia memang tidak bisa menjadi suami yang baik dan bertanggungjawab. Semua salahnya. Hazel pantas membencinya.

                                                            ***

Hazel cepat-cepat memacu langkahnya menuju pintu. Sampai di pantry, tangannya sigap mengeluarkan bahan-bahan yang akan dimasaknya untuk menu makan malam. Tapi ketika memegang pisau, tangannya langsung gemetar.

Tidak. Dia tidak akan bisa memasak dalam keadaan seperti ini. Bisa-bisa pisau itu tidak hanya memotong sayuran, tapi juga memotong jarinya. 

Hazel menghentikan kegiatan memilah-milah bahan untuk masakan. Diambilnya gelas dan diisinya dengan air putih. Sambil duduk meminum air putih, Hazel mencoba menormalkan aliran napasnya.

Untuk saat ini, hal yang paling dibutuhkannya adalah menenangkan diri. Sekali lagi, walau Marvin sudah menyakitinya, Marvin tidak akan pernah bisa menghancurkan hidupnya.

                                                            ***

 Setelah menghabiskan waktu lebih dari sejam untuk memasak dan menghidangkan makan malam di atas meja makan, Hazel melepaskan celemeknya. Durasi memasak yang diperkirakannya hanya memakan waktu lebih kurang 30 menit, karena yang dimasaknya hanya tumis ayam jamur dan ayam goreng crispy. Tapi waktunya terbuang untuk menstabilkan pikiran dan perasaannya. Bukan hal yang mudah, karena sepanjang memasak, Hazel berjuang untuk tidak meneteskan airmatanya. Sepuluh menit pertama terasa begitu sulit, tangannya masih cukup gemetar untuk memegang pisau. Sepuluh menit berikutnya, dia sudah mampu menguasai keadaan. Dan sepuluh menit terakhir dia merasa sudah jauh lebih baik.

Marvin sedang duduk di depan TV. Tadinya Hazel mengira setelah mandi, Marvin akan langsung menghilang dan keluar untuk mencari makan atau menginap lagi di luar. Tapi ternyata dugaannya salah. Marvin mengangguk pelan setelah Hazel memberitahunya bahwa makan malam sudah siap. Marvin berjalan menuju ruang makan, sementara Hazel menggantikan posisinya duduk di depan TV. Walau perasaannya sudah lebih tenang, tapi Hazel berpikir akan jauh lebih baik jika dia membiarkan Marvin makan malam sendiri. Lebih baik mereka saling menjaga jarak jika tidak ingin ada pertumpahan darah.

 Hazel teringat pesan mamanya. Semarah-marahnya kepada suami, seorang isteri tidak boleh sampai melalaikan kewajibannya, apalagi sampai tidak menyiapkan makanan untuk suaminya. Ketika hati sedang dalam suasana buruk, perut yang lapar bisa menjadi malapetaka.

Hazel selalu mengingatnya. Semarah dan sebencinya kepada Marvin, dia tidak pernah lalai menyiapkan makanan. Tidak hanya itu. Karena setiap hari dia begitu telaten menyiapkan pakaian bersih untuk Marvin, mencucikan pakaiannya yang kotor. Memastikan rumah selalu dalam keadaan rapi, bersih, dan nyaman.

Hazel teringat pesan mama sehari sebelum hari pernikahannya.

“Sekalipun pekerjaan di kantor kamu cukup banyak dan melelahkan, tapi melayani suami adalah hal yang menjadi prioritas utama. Kamu lihat kan bagaimana pernikahan papa sama mama yang selalu terlihat rukun. Karena Mama berusaha selalu melakukan yang terbaik untuk papa kamu dan keluarga kita. Ingat, Hazel. Surga seorang isteri ada pada keridhoan seorang suami. Jadi perlakukan Marvin dengan sebaik-baiknya demi mendapatkan ridhonya. Itulah sebabnya, walau mama begitu berat melepaskan kamu, tapi mama yakin kamu bisa menjalankan kewajiban kamu sebagai seorang isteri. Mama percaya sama kamu, karena kamu selalu membuat Mama sama Papa bahagia. Jangan lupa pesan Mama ya?”

Waktu itu dengan sepenuh hati Hazel mengiyakan. Dia begitu yakin bahwa dia akan sanggup memenuhi pesan sang mama dengan baik. Dia begitu yakin Marvin akan menjadi suami yang baik dan bertanggungjawab.

Tapi keyakinan itu mulai tergoyahkan oleh kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa Marvin tidak sebaik seperti yang diyakininya sebelum mereka menikah. Kenyataan bahwa ternyata Marvin hanya ingin melukai perasaannya dengan menikahinya namun tetap berhubungan dengan perempuan lain. Kenyataan bahwa Marvin tidak pernah sungguh-sungguh mencintainya.

Jika cinta mengapa harus menyakiti?

Jadi sekarang, biarlah hatinya yang sakit, terluka, merana. Paling tidak, dia tetap berusaha menjadi isteri yang baik. Paling tidak, Hazel tidak mengecewakan sang mama karena tetap menjalankan pesannya dengan baik. Dan paling tidak, dia  akan mengingat bahwa jika suatu saat rumahtangganya hancur, bukan dirinya pihak yang patut disalahkan.

Marvin mungkin belum menyadarinya untuk saat ini. Tapi Hazel yakin suatu saat nanti Marvin akan menyadari kesalahannya. Dan ketika saat itu tiba, Hazel pun yakin sudah menutup pintu hatinya untuk Marvin.

                                                            ***

“Waaah….senior consultant yang dari Amerika itu keren juga ya?”

Hazel tengah berjalan menuju lift ketika mendengar percakapan dua orang karyawan perempuan di depan lift.

“He eh. Gue mesti touch up deh. Kali aja ketemu di mana gitu.”

“Lagian emangnya kenapa kalo ketemu sama lo? Mau lo gebet gitu?”

“Ya iyalah. Gue lagi jomblo gini. Boleh doong?”

Ketika pintu lift terbuka dan beberapa orang menyerbu keluar, Hazel bergegas masuk bersama beberapa orang yang menunggu.

Pak Danar pernah mengatakan bahwa kantor mereka kedatangan seorang senior consultant dari Massachusettes. Tapi Hazel belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Dia terlalu sibuk mengecek proyek Royal Apartment sehingga tidak punya banyak waktu untuk mengetahui siapa saja yang masuk ke kantor Prima Architecture. Lagipula setiap consultant yang datang, interaksinya akan lebih banyak kepada Pak Danar, dibandingkan dirinya dan karyawan lain.

Pintu lift hampir tertutup ketika sesosok tubuh tinggi tegap menerobos masuk ke dalam lift. Hazel menyingkir dengan cepat, khawatir laki-laki yang baru masuk ke dalam lift itu akan menyambar tubuhnya.

“Maaf.” Laki-laki yang memakai kemeja putih dan dasi cokelat bermotif abstrak itu menoleh kepada Hazel. Walau tidak sempat bersentuhan, tapi laki-laki itu dengan sopan meminta maaf.

No problem.” Hazel tersenyum dan kembali menghadapkan wajahnya ke pintu lift.

Samar didengarnya suara persis di belakangnya.

“O Em Ji. Here he is.”

“Wow, gue nggak tau dia seyummy ini.”

“Too hot, babe.”

Hazel tersenyum mendengar percakapan di belakangnya. Kinda vulgar conversation. Dan dia yakin, lelaki yang berdiri di sampingnya kini juga bisa mendengarnya dengan jelas.

Tunggu sebentar.

Jadi, laki-laki ini yang dimaksud sebagai senior consultant baru di Prima Architecture?

                                                            ***

“Hazel… Andriana Triatomo?”

“Ya?”

Hayoo… siapa yang udah nunggu2 cast cowok yg baruuu???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro